10
Senin malam, Jourell dikejutkan dengan kehadiran Alvaro, Yanuar, Wirya dan Zulfi, serta beberapa pengawal muda ke apartemen. Jourell mempersilakan para tamu duduk, kemudian dia meminta Dedi memesankan makanan dari restoran terdekat.
Sang ajudan menyajikan beberapa kaleng minuman dingin. Kemudian dia mengajak rekan-rekannya keluar. Dedi sengaja melakukan itu untuk memberikan kesempatan para bos melakukan rapat rahasia.
Alvaro meminta Jourell menjelaskan secara rinci, awal mula kisahnya dengan Vlorin. Dia mencatat beberapa hal penting, kemudian merenungi buku ajaibnya yang bak kitab Mpu Tantular.
"Sebelumnya aku mau minta maaf, Jo. Aku terpaksa menceritakan hal ini pada Mas Tio," ungkap Alvaro.
"Ya, Bang, nggak apa-apa," sahut Jourell.
"Kami berdiskusi kemarin malam di rumahnya. Dan Mas Tio meminta agar masalah ini segera diselesaikan," tutur Alvaro. "Karena itu, aku dan teman-teman turun langsung untuk mendampingimu ke Brisbane," lanjutnya.
"Aku juga sudah menelepon Risbani, dia temannya Mas Ben dan Falea yang tinggal di Canberra. Risbani adalah dokter, dia berjanji akan menghubungi rekan sejawatnya di Brisbane, yang nantinya akan membantu proses tes DNA-mu."
"Seingatku, dulu, waktu kasus Mas Bas, nggak nyampe tiga hari sudah ada laporan hasil tesnya. Kalau sekarang, mungkin bisa lebih cepat," pungkas Alvaro.
"Ya, aku juga udah nanya ke Mas Hansel," terang Jourell.
"Hmm, aku lupa kalau dia juga dokter. Apa ada kenalannya di Brisbane?"
"Ada, tapi orangnya lagi simposium. Nggak tahu kapan pulangnya."
"Besok pagi aku telepon Risbani. Siang, kita berangkat."
"Sore, Bang. Aku ada meeting jam sepuluh."
Alvaro mengangguk mengiakan. "Satu lagi, Jo. Ini tentang PG."
"Apa aku bakal disidang dan dikeluarkan?"
"Disidang, iya. Sama ketua semua tim dan pendiri PG. Dikeluarkan, nggak. Tapi kamu akan dihukum."
"Aku siap, Bang."
"Aku belum tahu bentuk hukumannya seperti apa. Karena sedang dipikirkan Mas Tio."
"Apa Mas Bas dan yang lainnya sudah tahu?"
Alvaro menggeleng. "Hanya kami berempat, Mas Tio, Mas Ben, Mas Keven, Mas Bryan dan Mas Hansel yang tahu. Lainnya mungkin akan diberitahu setelah rapat intern selesai."
"Apa kamu sudah cerita ke Mas Tristan dan orang tua, Jo?" tanya Yanuar.
"Belum, Bang. Menunggu hasil tes DNA. Baru aku pulang dan menjelaskan semuanya," papar Jourell.
Pintu unit diketuk dengan diiringi suara Dedi. Kemudian dia memasuki ruangan bersama Chairil dan Qadry. Mereka membawa bungkusan berisi kotak-kotak makanan, lalu menyajikannya di meja.
Percakapan berubah menjadi lebih santai. Wirya menanyai Dedi tentang beberapa unit kerja lainnya yang dikomandani Mukti. Ajudan Jourell menerangkan dengan rinci apa yang didengarnya dari ketua pengawal area Australia dan New Zealand.
"Di, pulang dari sini, kamu ikut diklat level dua. Persiapan buat menggantikan posisi Mukti," tukas Wirya yang menyebabkan lelaki yang lebih muda terkejut.
"Duh! Masih belum mampu, Komandan." Dedi mengatupkan kedua tangan di depan d**a.
"Aku mau kamu juga maju kayak teman-teman seangkatan. Apalagi kamu sudah cukup memahami cara kerja di sini."
"Ehm, aku ...."
"Berani nolak, SP satu keluar!"
Dedi meringis. "Ampun, Bang."
"Nurut, Di. Wirya jangan dibantah," cakap Zulfi.
"Dia makin galak sekarang," seloroh Yanuar.
"Kalah-kalah aku," kelakar Alvaro.
"Mana ada. Aku kalau lagi emosi, mending diam sambil ngunyah di pojokan," balas Wirya. "Memangnya kamu, Bule. Langsung cari samsak," ledeknya.
"Itu kalau udah nggak kekontrol lagi marahku. Terutama kalau berurusan dengan Kaisar Ming Sipitih," cetus Alvaro.
"Bang, elu benar-benar cinta sama gue ternyata," goda Yanuar.
"Sebenarnya gue udah bosan, Yan. Tapi, kalau gue ngebanting elu, bakal ditendang Yuna lagi, kayak waktu itu."
"Dia nurun beringasnya Mala."
"Nyalahin Adik gue. Elu juga sama."
"Gue kalem dan sangat dewasa."
"Kalau elu kalem, gue sujud syukur dan ngadain kenduri."
"Asyik! Jangan lupa sisingaan, ya, Bang."
"Elu mau disunat ulang?"
"Bukan gue, tapi Juna dan Krisna."
"Dasar pikun! Dua bocah itu udah sunat!"
Yanuar menepuk dahinya. "Lupa aku."
"Bosan!" seru Alvaro, Wirya dan Zulfi secara bersamaan. Sementara yang lainnya terbahak.
***
Vlorin memijat dahinya yang berdenyut sejak tadi pagi. Dia terpaksa mengonsumsi obat pereda nyeri, ketika harus menggantikan posisi Russel dalam rapat dengan klien siang itu.
Sedapat mungkin Vlorin berusaha fokus saat menghadiri pertemuan di Hamilton Grup. Perempuan bersetelan blazer abu-abu tidak banyak bicara, agar kepalanya tidak makin sakit.
Seusai rapat, Vlorin hendak segera pergi. Namun, langkahnya tertahan panggilan seorang perempuan yang merupakan direktur marketing perusahaan tersebut, sekaligus putri bungsu Donovan Hamilton.
"Vlo, aku ingin bicara berdua denganmu," pinta Debora Hamilton.
"Tentang apa?" tanya Vlorin.
"Aku yakin kamu sudah tahu maksudku."
"Kalau ini tentang bosku, mohon maaf, aku tidak bisa meladenimu."
"Kenapa?"
"Kamu pasti sudah tahu jawabannya. Permisi."
Vlorin berbalik dan jalan tergesa-gesa keluar ruangan Dia enggan meladeni Debora yang akan kembali mencecarnya tentang Russel. Padahal Vlorin sudah berulang kali menjelaskan, jika dirinya dan sang bos hanya bersahabat, bukan pasangan.
Vlorin menggertakkan gigi. Dia kesal pada Russel yang telah sempat mengobral janji pada Debora, tetapi kemudian pria bercambang justru menjauh dengan alasan tidak mau dikekang.
Hal itu merupakan alasan kedua terkuat Vlorin untuk menolak pinangan bosnya. Dia tahu jika Russel merupakan playboy. Sebab itulah Vlorin bersikeras hanya menganggap lelaki tersebut sebagai Kakak dan sahabatnya. Sekaligus Daddy baptis Mackynzie.
Setibanya di kantor, Vlorin langsung memasuki ruang kerja Russel tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia mendatangi lelaki berkemeja biru muda yang sedang berbaring di sofa, dan menepuk lengan Russel yang seketika terkejut.
"Pacarmu mencari," tukas Vlorin sembari duduk di kursi tunggal.
"Siapa?" tanya Russel sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
"Debora."
Russel berdecih. "Dia bukan pacarku."
"Gara-gara kamu, aku dicecar terus."
"Maksudnya?"
"Dia selalu menanyakan hal yang sama."
"Hmm. Iyakan saja."
"Nope."
"Dengan begitu dia akan berhenti meneleponku."
"Kenapa aku selalu dijadikan tamengmu saat dikejar para wanita?"
"Karena aku selalu mengatakan pada mereka, jika kamulah cintaku."
Vlorin berpura-pura hendak muntah yang menyebabkan Russel terkekeh. Pria bermata biru bangkit duduk sembari menghentikan tawa. Dia memijat pelan belakang leher yang terasa sedikit sakit.
"Vlo, besok sore aku mau ke Gold Coast. Apa kamu mau ikut?" tanya Russel sembari memandangi asistennya yang sedang merapikan rambut.
"Berapa hari?" tanya Vlorin.
"Sekitar empat hari. Kita kembali ke sini hari Minggu siang."
"Hmm, lalu, siapa yang stand by?"
"Daniel dan Cheryl."
Vlorin manggut-manggut. "Oke."
"Besok pagi, langsung bawa kopermu."
"Ya."
"Bibi Nora akan ikut dengan kita. Supaya kamu bisa mendampingiku menemui rekan bisnis."
"Kukira bisa libur."
"Kamu sudah cuti minggu lalu."
"Hanya tiga hari. Padahal aku minta izin seminggu."
"Aku tidak bisa membiarkanmu berlama-lama dengan si rambut aneh."
"Dasar, over protektif!"
"Itu caraku untuk melindungimu dari orang-orang yang pernah melukaimu. Hal yang lebih ekstrim lagi akan kulakukan, jika berjumpa dengan Ayah biologis Mack."
***
Jourell menempati kursinya di dekat kaca. Dia mengenakan topi raut hingga batas telinga, kemudian memasang sabuk pengaman. Pria berhidung bangir mengamati sekeliling yang tampak ramai, lalu mengalihkan pandangan ke rekan di sebelah kirinya yang sedang memvideokan sekitar.
Jourell mengulum senyuman menyaksikan sahabatnya yang duduk di ujung kiri. Alvaro terlihat kesulitan mengatur kakinya yang panjang agar lututnya tidak tersangkut kursi di depan.
Tawa Jourell meledak saat Yanuar meledeki Alvaro sebagai tiang listrik, dan dibalas jitakan serta gerutuan sang ipar. Perdebatan keduanya baru usai setelah Zulfi berdiri dan menyatukan kepala Alvaro serta Yanuar yang kompak mengaduh.
"Akhirnya, Bang Zulfi marah juga," cakap Chairil yang menempati kursi deretan kiri bersama Qadry dan Dedi.
"Aku bosan lihat mereka berantem. Dari berangkat dua hari lalu, berdebat mulu!" desis Zulfi sembari duduk kembali di kursi belakang Alvaro.
"Lanjut, Bang," kelakar Qadry.
"Heh! Jangan manas-manasin. Aku batalin nikahanmu sama adikku entar!" ancam Yanuar.
"Jangan takut, Ry. Mana Yanuar berani begitu," ledek Wirya yang duduk berdampingan dengan Zulfi.
"Yoih. Belum sempat dia macam-macam, pasti dikemplang Babeh dan Emak Elis," cibir Alvaro.
"Ditambahkan tinjuan maut Yuli," imbuh Zulfi.
"Plus tendangan putar Mala. Yakin, Yanuar langsung pingsan," balas Wirya.
"Dan aku akan berdiri paling depan, lalu bersorak dengan kencang," cakap Alvaro.
"Elu tega amat ke gue, Bang," rengek Yanuar.
"Sekali-sekali gue kudu tega lihat elu disiksa banyak orang," timpal Alvaro.
"Stop!" Zulfi kembali berdiri dan menjitak kepala kedua sahabatnya. "Sok! Arek dilanjut deui berantemna. Urang patahkeun eta leher!" geramnya, sebelum ditarik dan ditenangkan Wirya agar tidak menambah kericuhan.
Jourell dan ketiga ajudan muda kompak tertawa. Tidak peduli mereka menjadi pusat perhatian penumpang lainnya, mereka meneruskan gelakak hingga bibir letih dan perut sakit.
Sekian menit berlalu, burung besi bergerak pelan menuju landasan pacu. Para awak kabin memulai ritual penjelasan tentang keselamatan di lorong pesawat. Kemudian mereka memasuki ruangan khusus dan memasang sabuk pengaman.
Roda pesawat berputar makin cepat. Benda besi bersayap melaju menuju ujung landasan. Jourell mengamati luar kaca sembari berdoa agar dirinya dan seluruh penumpang bisa selamat tiba di kota tujuan.
Jourell menambahkan doanya dengan harapan agar bisa menemui Vlorin dan Mackynzie tanpa insiden apa pun. Dia akan menerapkan semua wejangan Alvaro agar bisa meluluhkan hati Vlorin dan bersedia mengizinkan Jourell melakukan tes DNA pada Mackynzie.