08
"Tolong bantu aku, Mas-mas," pinta Jourell sambil memandangi ketiga sahabatnya dengan sorot mata penuh harap.
"Katakan padaku, siapa yang kamu cintai sebenarnya?" tanya Keven.
"Aku ... sayang Cornelia. Tapi, jika anak Vlorin benar-benar anakku, maka aku harus mendapatkannya dengan menikahi Vlorin."
"Apa kamu sudah menjelaskan tentang anak itu pada Cornelia?"
Jourell menggeleng. "Aku ingin menerangkannya setelah mendapatkan kepastian dari hasil tes DNA."
Keven manggut-manggut. "Sekarang sudah canggih. Tidak perlu menunggu berhari-hati untuk mendapatkan hasilnya."
"Jo, apa sudah ada kabar dari Clay?" tanya Bryan.
"Tadi sore dia telepon. Katanya, sedang membuntuti mobil pengasuh Mackynzie," terang Jourell.
"Ah, ya! Memang itu nama anaknya Vlorin," sela Hansel.
"Bukannya kamu bilang, nggak tahu?" desak Keven.
"Lupa, Brother," kilah Hansel.
Keven melengos. "Kamu makin pelupa."
"Ini gara-gara Mas Bas dan Yanuar."
"Apa hubungannya dengan mereka?"
"Enam bulan terakhir, kami sering bertemu karena proyek kita di Maluku. Jadinya aku kecipratan pikun mereka."
"Alibimu lemah."
Hansel tersenyum. "Merajuk gitu, aku jadi ingin mencubit pipi Mas."
"Kan! Dasar, Yanuar kedua!"
Bryan tiba-tiba menepuk bahu Jourell yang spontan menjengit. "Coba telepon dia, Jo," ucapnya.
"Siapa?" tanya Jourell.
"Yanuar, atau Varo. Mereka bisa mengerahkan anggota PBK di Queensland untuk mencari tahu lebih detail tentang Vlorin. Maksudku, banyak orang yang bergerak, pasti akan cepat tuntas," jelas Bryan.
"Lebih baik langsung telepon Wirya dan Zulfi. Mereka dedengkot Australia," timpal Keven.
"Yups, itu betul. Aku aja belum nyampe ke pelosok, tapi dua orang itu sudah menjelajah ke mana-mana," tambah Hansel.
Jourell mengangguk. Dia meraih ponsel dari meja, lalu berdiri. Pria berkemeja merah pas badan mencari nomor kontak direktur utama PBK dan menelepon pria tersebut.
Sementara itu di tempat berbeda, Vlorin baru selesai mandi. Dia mengenakan baju dengan cepat, lalu menyambangi lelaki kecil yang tengah berbaring di sofa.
Hati Vlorin meleleh ketika menyaksikan Mackynzie telah terlelap. Dia berjongkok di lantai, lalu mengusap rambut cokelat gelap sang putra yang merupakan warisan darinya.
Bentuk wajah, mata dan hidung Mackynzie mengadopsi paras Jourell. Sementara bibirnya serupa bibir Vlorin, tetapi tidak terlalu tebal, seperti ayahnya. Kulit Mackynzie yang lebih terang dari warna kulit sang mommy, menegaskan jika anak itu mewarisi gen Jourell.
Vlorin menunduk dan menumpangkan dahinya ke sofa. Terbayang kembali pertemuannya dengan Jourell pekan silam. Vlorin sangat terkejut karena tidak menduga akan kembali berjumpa dengan pria tersebut.
Vlorin membuka mata dan menengadah untuk mengamati putranya. Sebetulnya dia tidak tega untuk menyembunyikan identitas sang ayah dari Mackynzie. Namun, Vlorin tidak punya pilihan lain.
Perempuan berambut ikal cokelat khawatir jika Jourell akan menolak Mackynzie dan tidak mengakuinya sebagai anak. Hal itu akan menambah dalam kekecewaannya, dan mungkin akan berimbas pula pada Mackynzie.
Selain itu, Vlorin juga takut jika Jourell mengetahui identitas Mackynzie, kemungkinan pria tersebut akan berusaha mengambil anaknya.
Vlorin bergidik saat pikiran itu melintas dalam benaknya. Perempuan bermata besar tidak akan rela jika putranya direbut, dan dia akan berjuang sekuat tenaga untuk mencegah hal itu terjadi.
Malam bergerak kian larut. Vlorin telah memindahkan Mackynzie ke tempat tidur di kamar. Dia berbaring di sebelah kiri lelaki kecil, lalu mengambil ponsel dari meja samping kasur untuk berselancar ke dunia maya.
Notifikasi pesan masuk di akun IG membuat Vlorin penasaran. Dia mengecek pesan itu yang ternyata berasal dari akun Hansel Arvasathya.
Vlorin membulatkan mata, ketika membaca pesan dari dokter spesialis penyakit dalam yang juga merupakan pengusaha sukses. Vlorin menggeleng ketika Hansel menjelaskan jika Jourell mengajak bertemu.
Vlorin memutuskan untuk mengabaikan pesan itu dan menghapusnya. Dia hendak memblokir Hansel, tetapi Vlorin tidak enak hati untuk melakukan itu. Dia akan berpura-pura untuk melupakan pesan tersebut.
***
Hari berganti. Clay kembali menelepon Jourell dan menjelaskan jika dirinya sempat diinterogasi petugas keamanan kantor Knight Grup, hingga Clay kehilangan jejak Vlorin.
Jourell mengucapkan terima kasih dan meminta agar Clay tetap berhati-hati. Setelah sambungan telepon diputus sang detektif, Jourell beralih menghubungi Wirya kembali.
Percakapan tersebut berlangsung cukup lama, karena Alvaro ikut mendengarkan dan memberikan ide. Setelah komisaris PBK menjanjikan untuk membantu, Jourell mengusap d**a sambil menarik napas lega.
"Gimana, Mas?" tanya Dedi yang sejak tadi memperhatikan bosnya.
"Varo dan Wirya sedang berunding. Nanti mereka nelepon lagi," jelas Jourell sambil meletakkan ponsel ke sofa.
"Kemaren Mukti mengusulkan untuk meminta bantuan teman-teman di Brisbane."
"Jangan bergerak tanpa perintah Wirya atau Varo. Aku tidak mau mereka tersinggung karena aku seolah-olah melangkahi."
"Ya, nanti kedua Abang itu akan ngambek."
"Aku sebenarnya lebih mengkhawatirkan Cornelia."
"Apa Mas sudah cerita ke dia?"
"Belum. Aku ingin memastikan apakah Mackynzie itu anakku atau bukan. Baru kemudian aku pulang dan menjelaskan semuanya ke Cornelia dan keluargaku."
"Aku khawatir reaksi orang tua Mas."
Jourell menyugar rambutnya. "Papa dan Mama pasti akan marah. Begitu pula dengan Mas Tristan."
"Hmm, ya."
"Yang paling berat, mungkin aku akan disidang teman-teman PG. Bisa juga akan di-kick dari grup."
"Aku rasa nggak gitu, Mas. Pak Trevor yang kasusnya sudah termasuk kriminal saja tidak dikeluarkan dari grup. Walaupun disidang dan sempat kena sanksi, tapi beliau tetap dimaafkan."
Jourell mendengkus pelan. "Semoga aku juga seberuntung Mas Trevor. Kalau nggak, aku benar-benar nggak punya muka untuk terus bergabung di PG. Mas Tristan juga mungkin akan mundur."
"Jangan, Mas. Sayang banget kalau harus berhenti dari sana. Akan banyak proyek yang batal. Imbasnya ke kinerja perusahaan."
Jourell manggut-manggut. "Ya, kamu benar." Dia mengamati ajudan kepercayaan yang telah sangat setia mendampinginya selama tiga tahun terakhir. "Kamu harus siap-siap jadi asistenku di kantor, Ded. Nggak mungkin selamanya kamu jadi pengawalku," ungkapnya.
"Duh! Enggak, deh, Mas. Aku nggak sanggup belasan jam melototin laptop atau harus ikut rapat. Mending tetap kayak sekarang, ngawal Mas ke mana-mana."
"Memangnya kamu nggak mau naik jabatan? Gajinya juga lebih gede daripada jadi ajudanku."
"Enggak usah. Aku nanti akan berhenti ngawal dan jadi pengawas aja, kayak abang-abang senior."
Jourell mengerutkan keningnya. "Aku nggak mungkin membiarkanmu cuma jadi pengawas. Walaupun uangnya lumayan, tapi mungkin nggak cukup kalau kamu sudah berkeluarga."
Dedi meringis. "Tapi aku beneran nggak bisa kerja kantoran, Mas. Bakal bosan ngadap dinding kantor tiap hari."
Jourell berdecih. "Kamu benar-benar aneh. Mau diajak maju, nolak terus. Kapan bisa jadi orang suksesnya?"
Dedi tersenyum lebar. "Aku memang nggak ambisius. Bisa tetap kerja di PBK sampai tua, aku sudah senang."
"Apa kamu nggak pengen kayak Wirya atau Zulfi?"
"Jauh banget perbandingannya, Mas."
"Lalu, siapa yang pas?"
"Ehm, senior di atasku itu, Bang Lazuardi dan teman-temannya."
"Nah! Lazuardi aja sudah keluyuran ke London. Kamu cuma beda dua angkatan dari dia, malah sudah merasa puas jadi pengawal biasa."
Dedi terkekeh, sedangkan Jourell mencibir untuk meledek lelaki yang lebih muda. Setelah sang ajudan berhenti tertawa, mereka kembali melanjutkan percakapan mengenai hal lainnya.
Malam kian larut. Keduanya memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat. Jourell memasang kabel pengisi daya pada ponselnya. Pada awalnya dia ingin meletakkan ponsel ke meja, tetapi puluhan notifikasi pesan muncul di grup beranggotakan 50 orang, membuatnya penasaran untuk ikut mengintip percakapan.
***
Duda, Bujangan dan Bapak-bapak Club
Giandra : Gaes, dapat undangan dari Chakra.
David : Acara apaan, Gian?
Giandra : Akikahan anak keduanya.
Yasuo : Loh, kapan Chakra melahirkan?
Linggha : Istrinya, @Yasuo. Chakra nggak punya rahim.
Ivan : Yasuo lagi kacau otaknya.
Benigno : Dia stres, karena akan dilewati Adik tirinya yang mau nikah.
Tristan : Makanya, @Yasuo, dijodohin itu diterima. Jangan ditolak. Akhirnya kamu sulit nemu jodoh.
Heru : @Tristan, aku tersungging!
Tristan : Ups!
Baskara : Heru jangan disentuh. Lagi sensi.
Endaru : Para duda kayaknya lagi PMS.
Dante : Yang bujangan juga sama.
Hadrian : Aku nggak. Tetap kalem dan bersahaja.
Rahagi : Ian, kamu sudah nikah.
Hadrian : Lupa aku.
Adelard : Aku patah hati Kang Ian nikah.
Myron : Aku sampai nggak nafsu makan.
Satria : Aku sulit tidur.
Reinar : Aku justru kecewa karena Zaara milih Kang Ian.
Endaru : Harusnya Zaara nikah sama aku!
Harry : Ian, pagar makan daun.
Mikail : Ian tukang tikung.
Chandra : Ian pencuri hati.
Theo : Ian tukang comot.
Samudra : Ian kuwalat! Ngelangkahin aku!
Fairel : Nungguin Bang Sam nikah, Kang Ian beneran jadi bujang lapuk.
Xander : Bang Sam bingung, mau nyerahin predikat itu ke siapa, kalau Kang Ian nikah.
Trevor : Padahal bisa dikasih ke Ethan.
Arman : Atau Tohpati.
Hideyoshi : Levin juga bisa.
Elang : Jourell.
Tio : Paling pas, ke Endaru.
Anto : Aku ngikik baca chat, sampai dilihatin bayi.
Januar : Apa kabar keponakanku, Anto?
Anto : Alhamdulillah, baik. Sedang belajar tengkurap.
Keven : Calon menantuku, itu.
Terren : Mas Keven, jadi kayak Mas Ivan. Sibuk ngejodohin, padahal anaknya belum muncul.
Keven : Aku sama Aruna lagi semangat bikin bayi kedua.
Atalaric : Aku iri!
Argan : Aku jadi pengen bikin bayi.
Marley : Heh! Nikah dulu, woi!
Tohpati : Mereka mau jalur instan.
Prabu : Janganlah. Kalau dalam Islam, nasabnya jadi ikut ibunya.
Calvin : Aku tetap penganut punya anak setelah menikah.
Andra : Cari dulu calon istrinya, @Calvin.
Calvin : Sedang dikerjakan, @Mas Andra.
Panglima : Aku baru manjat. Mas @Giandra, acaranya kapan, di mana, jam berapa dan dress code-nya, apa?
Giandra : Sabtu depan. Informasi lainnya, menyusul.
Fritz : @Panglima, detail amat?
Ethan : Panglima lagi jadi petugas sensus.
Yanuar : Panglima kayak staf EO.
Bryan : Lebih cocok, penagih rentenir.
Mahapatih : Atau tukang pukul bandar judi.
Leandru : Akan makin bagus, jadi mafia.
Alvaro : Mafia pepaya.
Jourell : Pisang.
Satria : Jambu.
Reinar : Kok, kayak pernah dengar, ya?
Arman : Lagu eta, teh, @Reinar.
Fairel : Judulnya, Naik delman.
Reinar : Asa aneh judulnya.
Adelard : Reinar dikibulin. Kagak nyadar!