Sepertinya pria itu bukan hanya tak waras, tapi entahlah. Anna benar-benar dibuat shock sejak pertemuan pertama mereka dan sekarang rasanya Anna semakin yakin pikiran pria itu tak beres. Apa semua pria berwajah tampan seperti itu kelakuannya?
Anna menghela nafas panjang. Baru saja ia merasa bahagia akan diterima kerja di perusahaan impiannya, tapi semua itu pupus karena permintaan gila dari pria bernama Kavi itu. “ Menikah? Dia gila apa ya? Kenapa harus aku yang diajak nikah? Apa ini memang cara mereka merekrut karyawan baru? Atau itu bentuk penolakan dengan ide yang lebih inovatif? Bilang aja kalo emang aku nggak diterima.” Ia terus menggerutu, sampai membuat petugas di halte transjakarta keheranan melihatnya.
Setelah tap kartu, Anna langsung duduk di kursi sembari menunggu kedatangan bus. Kepalanya terasa berdenyut. Ia menatap ke atas, berusaha menahan air mata yang sepertinya menuntut untuk segera keluar. Ia pun menutupi wajahnya dengan tas miliknya. “ Mau kerja aja masa harus nikahin bosnya dulu. Udah berapa cewek yang dia ajak nikah biar bisa kerja di situ? Apa emang doyan nikah? Ih! Amit-amit.”
“ Bapak sama sekali nggak mengenal saya. Bapak tahu nggak, ini tuh bena-benar aneh. Feeling saya sejak awal ternyata benar, bapak bukan orang baik-baik.”
Ucapan Anna masih terngiang-ngiang di kepala Kavi, sampai pria itu belum meninggalkan kafe sejak Anna meninggalkannya setengah jam yang lalu.
“ Bapak benar-benar aneh. Kalau memang saya nggak diterima ya nggak apa-apa, tapi bukan begini caranya. Bapak merendahkan saya ya?”
“ Saya nggak berniat seperti itu ya.”
“ Lalu apa? Syarat diterima kerja tapi harus menikah sama bapak. Bapak pikir saya ini apa?”
“ Memangnya saya salah? Saya hanya ingin menikah dengan kamu.”
“ Kenapa? Kita nggak saling kenal, bapak udah biasa ya ngajak orang asing menikah?”
Kavi menggeleng tegas. “ Saya hanya melakukan ini ke kamu.”
“ Kenapa? Bapak bilang saya bukan tipe bapak. Terus kenapa harus saya?”
“ Ya karena saya hanya mau kamu.”
Anna tersenyum sinis. “ Semua pria di dunia ini memang b******k. Suka melakukan hal sesuka mereka, tanpa memikirkan perasaan kami para wanita.” Ia langsung beranjak dan pergi dari sana. “ Menikah. Bahkan hal seperti itu nggak pernah saya pikirkan,” ucapnya pelan tapi cukup dapat Kavi dengar dengan jelas.
Kavi mengerutkan keningnya. “ Apa aku keterlaluan?” Ia menghela nafas, menatap es cokelat yang sama sekali tak disentuh oleh Anna. “ Aku hanya berpikir dia wanita yang tepat saat ini.”
Setelah cukup lama berdiam di kafe, Kavi memutuskan untuk pergi ke tempat biasa ia menenangkan diri. Ia pun kembali naik bus transjakarta menuju tempat tersebut. Beruntung siang ini bus cukup sepi sehingga ia bisa duduk dengan tenang. Namun matanya kemudian tertuju pada wanita yang tengah tertidur di kursi penumpang itu.
Wanita dengan kemeja navy itu cukup mengganggunya beberapa menit terakhir ini. Lalu sekarang wanita itu kembali berada di depan matanya. Entah ini sudah kebetulan yang keberapa kali. Padahal Kavi yakin, Anna sudah meninggalkan kafe sejak dua jam yang lalu.
“ Dibangunin saja apa ya, Pak? Itu mbaknya tidur dari pas naik bus. Dan ini udah balik rute pun mbaknya nggak bangun. Tapi kayaknya masih hidup kok,” ucap petugas itu pada Kavi. Mungkin menyadari Kavi tampak menatap wanita yang tertidur itu.
“ Kenapa nggak dibangunin, Pak?”
“ Kelihatannya mbaknya capek banget. Emang akhir-akhir ini saya sering lihat pekerja yang ketiduran di bus, muka mereka rata-rata kayak menyimpan beban banget. Apalagi mata mbaknya tuh sembap, jadi saya nggak tega banguninnya.”
Sembap? Kavi terdiam sejenak. “ Mungkin nanti dia bangun sendiri, Pak.”
Petugas itupun hanya mengangguk.
Kavi memilih untuk duduk di kursi kosong tepat di belakang Anna. Wanita di depannya itu bersandar pada kaca di sebelahnya.
Beberapa kali bus terguncang karena melewati jalan yang tidak rata, tapi Anna masih terlelap. Jejak air mata terlihat jelas di wajah wanita itu. Sampai tiba-tiba saja saat melewati tikungan tajam, Anna hampir terjatuh ke depan tapi dengan sigap Kavi menahan kepala wanita itu hingga tidak jadi mengenai besi kursi di depannya.
Kavi masih menahan kepala Anna hingga tiba-tiba Anna terbangun dan langsung berdiri. Wanita itu melihat ke luar bus dan segera turun dari sana ketika bus berhenti di halte. Tanpa pikir panjang, Kavi mengikuti Anna yang tampaknya tidak menyadari kehadirannya itu. Ia terus mengikuti Anna keluar dari halte dan menuju lantai atas halte yang cukup ramai itu karena memang halte ini lagi viral karena pemandangannya yang bagus.
“ Mau ngapain dia ke sini?” Kavi tetap mengikuti Anna dengan sangat hati-hati agar wanita itu tidak mengetahuinya. Ia kemudian berhenti saat Anna tiba-tiba menggendong seorang anak perempuan yang mengenakan bando berwarna merah itu. Ia semakin dibuat kaget saat anak perempuan itu memanggil Anna dengan sebutan “bunda”.
“ Bunda. Kok lama banget sih?”
“ Iya, maaf. Kenapa sih kok maunya ke sini? Kan bisa ke mall aja.”
Gadis kecil itu menggeleng cepat.” Mamah takut nyasar kalau ke mall itu. Katanya kebanyakan pintunya. Takut nggak bisa keluar.” Ia memang terbiasa memanggil neneknya dengan sebutan “mamah”, mungkin karena terbiasa mengikuti Anna yang memanggil ibunya dengan sebutan mamah juga.
“ Iya. Lagian di sini juga nggak kalah ramai, tadi Eve udah makan roti di bawah. Enak kan, Sayang?”
Eve mengangguk. “ Ada menu baru loh, Bun. Pasti bunda suka soalnya itu menu khusus pecinta cokelat. Tadinya mau Eve beliin tapi takut bunda lama sampainya.”
“ Iya, nanti coba bunda beli sendiri ya. Sekarang kita mau kemana?”
“ Tapi bunda kok matanya merah? Bunda habis nangis?” tanya Eve sembari memegang wajah ibunya itu.
Anna menggeleng. “ Bunda ketiduran tadi di bus. Untung pas berhenti di sini.”
Melinda tampak menatap putrinya, jelas putrinya itu baru saja berbohong. Tapi ia tidak mau banyak tanya dulu apalagi di depan cucunya. “ Ya udah yuk. Sini mamah fotoin. Pemandangan dan langitnya lagi bagus banget.”
Dari jauh Kavi terus memperhatikan ketiga orang itu dengan perasaan bingung. Terlebih soal Anna yang ternyata memang ia belum tahu apa-apa soal wanita itu. Memang mereka hanyalah orang asing sampai sekarang. Nyatanya soal lamarannya beberapa jam lalu pasti cukup membuat Anna terpukul. Pasti wanita itu merasa harga dirinya diinjak-injak begitu saja. “ Jadi dia sudah menikah dan punya anak? Sepertinya dia sudah lama menikah. Anaknya sudah sebesar itu. Aku benar-benar bodoh.” Ia memegangi kepalanya.
“ Bunda. Bunda tahu nggak apa yang paling aku inginkan?” tanya Eve sembari menatap ibunya dengan tulus.
“ Apa, Sayang? Eve mau main timezone lagi?”
Eve menggeleng cepat. “ Eve mau punya ayah.”
“ Apa?” Anna merasa sepertinya ia salah dengar. Selama ini Eve tak pernah membahas lagi soal ayah atau apapun itu. Namun kenapa sekarang tiba-tiba Eve membahasnya?
Mendengar ucapan dari gadis kecil itu, Kavi mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat itu dan kembali memperhatikan mereka.
“ Eve pernah lihat orang tua teman-teman Eve. Pas ibu teman Eve kayak kecapekan gitu pasti ayah teman Eve yang menenangkan, dipeluk gitu. Kalau ada ayah, pasti ayah akan menenangkan bunda juga, kan?”
Entah tahu hal itu darimana, tapi Anna sangat tersentuh dengan segala kepedulian yang putrinya berikan. Bahkan di usia sekecil ini Eve sudah memikirkannya seperti orang dewasa. “ Kan ada Eve, bunda nggak butuh siapapun lagi.”
Eve mengerucutkan bibirnya. “ Eve mau bunda bahagia seperti bunda-bunda lainnya.”
“ Eve, udah dong. Kan kita udah pernah membahas ini.” Melinda mencoba memberi pengertian pada cucunya.
“ Iya, Mah.” Eve tampak tidak mau berdebat lagi.
Kavi terdiam sejenak. “ Sebenarnya kehidupan seperti apa yang kamu alami, Ann?”
Kavi merasa cukup merasa bersalah karena diam-diam mendengar pembicaraan pribadi Anna dan keluarganya. Juga hal-hal yang sebelumnya ia tidak tahu. Jadi Anna sudah punya anak? Lalu dimana ayah dari anak itu? Apakah mereka sudah menikah atau Anna sudah bercerai dengan suaminya? Atau suami Anna sudah meninggal? Banyak sekali pertanyaan di dalam kepala Kavi yang bahkan ia sendiri tak berani menanyakannya pada Anna.
Entah kenapa semakin memikirkannya, Kavi merasa ingin semakin mencari tahu lebih banyak soal Anna. Juga meyakinkan wanita itu untuk menerimanya.
Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Kavi. Ternyata pembaruan status dari akun yang sangat ia kenal.
Finally, aku ada di Paris sekarang.
Doakan ya biar aku lolos.
Kavi tersenyum miris dan memutuskan untuk memblokir akun tersebut. “ Aku akan memulai semuanya dari awal, tanpa kamu.”