Aroma kopi cenderung mendominasi ruang kantor yang cukup luas ini. Setiap paginya para karyawan akan membuat kopi mereka sendiri dari mesin kopi yang sudah disediakan. Beberapa lagi membuat teh yang juga sudah disediakan oleh pihak perusahaan. Tak lupa beberapa cemilan dan makanan instan yang akan selalu memenuhi rak pantry dan lemari pendingin. Semua ini demi memberikan kenyamanan pada para pekerja.
Bekerja di perusahaan brand Skincare juga memiliki banyak keuntungan, salah satunya adalah mendapat stok skincare bulanan untuk setiap karyawan. Tak heran jika skincare-skincare itu akan terpajang di meja kerja mereka dan inipun bisa menjadi salah satu bentuk promosi. Karena karyawan-karyawan yang merasa cocok dengan skincare yang mereka dapatkan pastinya akan merekomendasikan ke teman-temannya atau keluarganya.
“ Gimana, bro? Kemarin udah ketemu sama Anna, ‘kan?” Rayhan menghampiri Kavi yang sedang mencampur krimmer di dalam cangkir kopinya.
Kavi mengangguk.
“ Jadi, kapan dia join ke perusahaan kita? Biar aku buat laporan ke HR terkait kontraknya.”
“ Emm… dia butuh waktu.”
“ Serius? Dia lagi kerja di perusahaan lain atau gimana? Padahal kayaknya dia antusias banget ingin cepar-cepat gabung deh pas aku interview.”
Kavi menatap Rayhan yang terlihat ragu. “ Paling lambat bulan depan. Pokoknya jangan ada yang ngisi tempat Anna selain dia,” ucapnya yang kemudian membawa cangkir kopinya keluar dari pantry.
Rayhan menggaruk kepalanya. “ Berarti Anna seworth it itu ya?”
Kavi duduk di ruang kerjanya sembari memikirkan cara agar Anna mau menerimanya. “ Kalo aku nekat, dia makin mengira aku pelaku kejahatan pasti ya?” Ia mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke meja. “ Nggak bisa. Harus dia pokoknya yang bekerja di sini dan… menikah denganku.”
Entah apa yang Kavi pikirkan, sejak kesalahpahaman saat pertemuan pertama mereka, ia seolah selalu memikirkan wanita bernama Anna itu. Seolah dia begitu menarik baginya. Padahal jika dilihat-lihat tidak ada yang special dari Anna. Anna hanyalah wanita mungil yang tingginya serratus lima puluh lima senti, mungkin. Postur tubuhnya ideal dengan rambut hitam lurus sebahu, pipi yang sedikit chubby dengan hidung mancung yang mungil, alis mata yang rapih tanpa pensil alis dan kedua mata bulat yang berwarna kecokelatan.
“ Tunggu. Sejak kapan aku memperhatikan wanita lain sedetail ini?” Kavi merasa semakin ada yang tidak beres dari dirinya.
Kavi pun segera beranjak dari kursinya. Setelah mendapat data diri terkait alamat Anna yang tercantum di data interview, ia pun menuju ke sana. Berbekal alamat dan google maps, ia hanya ingin mencoba lagi berbicara baik-baik dengan Anna. Juga menjelaskan jika ia bukan berniat merendahkan wanita itu, walau ia sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa harus Anna yang ia nikahi.
Hampir satu jam Kavi baru sampai di depan rumah dengan bangunan minimalis dan didominasi warna abu-abu dan putih itu. Di depannya terdapat taman kecil yang dipenuhi beberapa tanaman sayur serta bunga yang sangat cantik.
Rumah itu tampak sepi tapi ada satu mobil Jazz dan satu motor matic di dalam sana, pertanda pasti ada orang di rumah ini. Sampai seseorang keluar dari dalam dan ternyata itu adalah Eve, ya Kavi mengingat nama gadis kecil itu.
Langkah kecil Eve membawa gadis itu keluar dari rumah dan ternyata dia menghampiri penjual es krim dengan sepeda ontel. Gadis itu memberikan selembar uang lima ribuan pada pria paruh baya itu.
Kavi pun turun dari mobilnya, terdiam sejenak di dekat mobil sembari menatap Eve yang baru menerima es krim vanillanya.
Saat Eve berbalik, dia menatap Kavi yang tampak sangat asing di lingkungan ini. Padahal dia sering main ke luar rumah bersama Nenek maupun Ibunya, tapi wajah Kavi benar-benar baru dilihatnya hari ini. “ Om mau?” tanyanya mengira Kavi menginginkan es krimnya. Eve merogoh sakunya dan mengeluarkan uang lima ribuan lagi. “ Sebenarnya ini mau aku tabung buat kado ulang tahun bunda. Tapi kalau om mau, aku beliin deh.”
Kavi terkejut mendengar kalimat yang begitu lancer keluar dari mulut anak usia empat tahunan itu. Bahkan Eve terlihat memiliki rasa kepedulian yang tinggi untuk anak yang bahkan usianya belum sampai lima tahun itu. Ia pun menghampiri Eve dan berjongkok di depannya. “ Nggak usah. Emang kamu mau beliin bunda kado apa?”
Eve terdiam sejenak. Meski sebenarnya ia tahu tidak boleh berbicara dengan orang asing, tapi entah kenapa ia merasa pria berkacamata di depannya ini bukan orang jahat seperti yang sering neneknya ceritakan agar ia waspada. “ Cincin,” jawabnya dengan mantap. “ Soalnya aku mau lihat jari manis bunda pake cincin seperti bunda temen-temenku di sekolah.”
Kavi tersenyum tipis. “ Oh ya?”
Eve mengangguk. “ Aku tuh sebenernya kesel sama orang-orang di sekolahku. Mereka kayak nggak suka sama bunda.” Ia mengerucutkan bibirnya lalu kembali menikmati es krimnya.
“ Nggak suka kenapa?” Kavi jadi penasaran.
Eve mengedikkan bahunya. “ Nggak tahu. Cuma suka dengar mereka bilang masih muda kok anaknya udah masuk TK. Terus mereka bilang kasian Eve anak haram. Emang anak haram itu apa, Om?”
Kavi menelan ludah dengan susah payah. Apakah memang orang dewasa sekejam itu? Mungkin bagi mereka anak-anak tidak akan mengerti apa yang mereka katakana, tapi apakah mereka berpikir jika ucapan itu akan mengganggu anak-anak yang mendengarnya? Sampai Eve sendiri mempertanyakan hal yang seharusnya bukan menjadi beban pikiran anak sekecil ini. “ Kamu nggak usah dengar apa yang mereka bicarakan ya. Nggak ada anak haram di dunia ini.”
“ Iya sih. Kata bunda juga nggak usah dengarkan mereka. Tapi aku kan sebel. Sampai mereka sering nanya-nanya soal ayah aku.” Eve mengerucutkan bibirnya. Lalu menatap Kavi dalam-dalam. “ Om mau jadi ayah aku nggak?”
“ Eve!” suara teriakan Anna membuat Eve dan Kavi langsung menoleh. Pantas saja Eve begitu lama keluar padahal hanya ijin beli es krim di abang-abang langganan mereka. Ternyata Eve malah sedang mengobrol dengan pria asing di depan pagar. “ Kamu ngapain ngobrol sama… “ Anna terdiam menatap Kavi yang tengah menatapnya juga. “ Kamu… “
Eve memegang tangan Kavi. “ Om, bunda aku cantik, ‘kan?”
“ Eve. Ayo pulang.” Anna terpaksa menghampiri putrinya sebelum Eve membicarakan hal aneh lagi. “ Udah bunda bilang jangan bicara sama orang asing.”
“ Lagian ada abang kok.” Eve menoleh pada penjual es krim yang memang biasa mangkal di sana. Abang es krim itu terlihat melayani beberapa anak lain.
Anna menghela nafas lalu menggenggam tangan Eve. “ Tetap aja. Emang kamu kenal om ini?”
Eve menggeleng. “ Om namanya siapa?”
“ Kavi.” Kavi tersenyum tipis. “ Oh iya, untuk tawaran kamu tadi… “
“ Pak!” Anna berusaha memperingatkan Kavi untuk tidak mempengaruhi anaknya.
“ Loh, ada apa ini kok kamu malah teriak-teriak?” Melinda keluar dari rumah saat mendengar keributan di depan rumahnya. “ Ini siapa, nak?”
Anna hanya terdiam, tampak tidak suka dengan kehadiran Kavi yang entah darimana bisa ada di depan rumahnya seperti ini.
“ Saya Kavi, bu. Calon suami Anna.”
Anna membulatkan bola matanya, menatap Kavi dengan kesal. Kenapa pria ini bisa setidaktahu diri ini? “ Bukan, Mah… “
“ Loh, kenapa nggak disuruh masuk?” tanya Melinda yang terlihat antusias dengan kedatangan Kavi. “ Kamu nih, Ann. Punya teman seganteng ini bukannya diajak mampir malah diteriakin di depan rumah.”
“ Mamah ih…”
Tampaknya Melinda tak peduli karena ia langsung menarik tangan Kavi untuk segera masuk ke dalam rumahnya.
“ Sebentar, Mah,” ucap Kavi seolah ia sudah sangat akrab dengan wanita paruh baya itu. Ia kembali ke mobilnya dan mengambil sesuatu dari sana. Ternyata ia membawa paper bag dari salah satu toko kue terkenal.
“ Loh, kamu repot-repot banget,” ucap Melinda ketika Kavi menyerahkan paper bag itu padanya. “ Wah! Ini kan cheese cake kesukaan kamu dan Eve.” Ia menatap putrinya dan cucunya bergantian. “ Benar ya kamu calon suami anakku?”
Anna merasa sangat frustasi sekarang, ia mendelik tajam pada Kavi tapi pria itu terlihat tak peduli.
Kavi terlihat pasrah saat diajak Melinda masuk ke dalam rumah yang ternyata sangat tertata rapih itu. Di dalam rumah ini ternyata lebih didominasi barang-barang berwarna putih dan pink muda. Seolah mendefinisikan jika orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah perempuan-perempuan lembut.
“ Kamu mau minum apa, Nak?” tanya Melinda dengan sangat lembut. Rasanya rumah ini nyaris tidak pernah didatangi tamu pria selain kurir paket. Tentu membuat Melinda sangat senang apalagi melihat ketertarikan Kavi pada putrinya.
“ Emhhh Latte ada nggak ya, Mah?” Kavi terlihat tak sungkan sama sekali.
“ Kamu pikir rumahku kafe,” cetus Anna.
Melinda tersenyum tipis. “ Adanya yang instan, nggak apa-apa ya?”
Kavi mengangguk, menghiraukan Anna yang tampak ingin sekali mengusirnya. “ Terima kasih ya, Mah.”
Melinda tampak malu-malu. “ Duh! Gini rasanya ya mau bikini kopi buat calon menantu.” Ia pun menuju dapur meninggalkan Kavi, Eve dan Anna di ruang tamu.
“ Om, bener Om akan jadi ayah Eve?”
“ Eve. Nggak boleh ngomong begitu loh.” Anna mencoba mengingatkan putrinya.
Eve mengerucutkan bibirnya. “ Eve kan mau punya ayah yang ganteng kayak oppa-oppa Korea gini, Bun.”
Wajah Kavi langsung memerah, ia mengusap dagunya dan menatap Anna yang tampak mual mendengar pujian Eve padanya. “ Anak kecil nggak pernah berbohong loh, Ann.”
“ Kamu jangan mempengaruhi anakku ya.” Anna mendelik tajam. Lalu menyuruh Eve untuk menyusul Melinda ke dapur. “ Lagian kamu tuh tipe cowok ganjen yang suka ngajak orang random nikah ya? Udah berapa banyak cewek yang kamu ajak nikah? Apa semua cewek di perusahaan itu kamu nikahin dulu biar bisa masuk ke sana?” cerocosnya tanpa sadar.
Kavi terdiam sejenak. “ Selama hampir sepuluh tahun bekerja, baru kamu aja sih yang aku ajak nikah.” Ia menggaruk kepalanya lalu tersenyum tipis. “ Udah berapa lama kamu mikirin semua pertanyaan itu?”
Wajah Anna seketika memerah. Ia memalingkan wajahnya. “ Pokoknya apapun niat kamu, mending kamu urungkan sekarang juga. Entah kamu tahu rumah aku darimana, intinya aku nggak bisa menerima kamu.”
“ Kenapa?” tanya Kavi dengan polosnya.
Anna mengedikkan bahunya. “ Aku nggak berniat untuk menikah dengan siapapun. Cukup aku punya Eve dan mamah.”
Kavi menghela nafas.
“ Kamu lihat sendiri, ‘kan? Di usia dua puluh dua tahun ini aku sudah memiliki anak yang umurnya hamper lima tahun. Kamu harusnya mengerti.” Anna mencoba menjelaskan dengan singkat. Toh ia tidak akan berurusan dengan pria ini lagi, jadi ia tidak perlu malu-malu memberitahu soal masa lalunya.
“ Lalu apa dengan begitu kamu merasa tidak perlu menikah?” tanya Kavi.
Anna mengangguk. “ Aku sudah cukup bahagia dengan kehadiran Eve.”
“ Dan apa kamu pikir Eve tidak butuh sosok ayah?”
Anna terdiam sejenak, ia tahu pasti anaknya memang ingin merasakan hidup dengan keluarga yang utuh. “ Nggak usah bawa-bawa Eve. Kamu nggak tahu apa-apa soal kami,” ucapnya ketus.
“ Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu sendiri membuat tembok setinggi itu.” Kavi berdecak pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa.
“ Aku nggak peduli. Kamu bisa cari wanita lain yang mau kamu nikahi itu.”
“ Aku hanya mau kamu,” ucap Kavi cepat.
“ Kenapa? Kamu bilang aku bukan tipemu, ‘kan?”
Kavi kembali menegakkan tubuhnya dan mencondongkan tubuhnya ke depan hingga begitu dekat dengan Anna yang langsung menggeser posisinya itu. “ Kamu bukan tipe wanita yang ingin aku pacari, tapi kamu tipe wanita yang ingin aku nikahi. Apa jawaban ini cukup?”
Entah kenapa wajah Anna justru memerah dengan gombalan receh itu. “ Kamu benar-benar gila.”