Part 2-Kebetulan Apalagi ini?

1588 Kata
Anna baru saja sampai di gedung perkantoran dimana lokasi interviewnya akan dilaksanakan. Ia terpaksa naik ojek agar menghemat waktu di tengah jalan ibukota yang sangat padat ini. Tak lupa ia selalu membawa minuman instan di tasnya untuk diberikan pada siapapun yang ia temui hari itu. Sudah menjadi kebiasaannya, bahkan di rumahpun ia menyetok rak berisi makanan dan minuman instan untuk para kurir yang mengantar paket ke rumahnya. Bagi Anna, berbagi bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana. Mencoba mengumpulkan sisa semangatnya hari itu, Anna melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran impiannya yang berada di kawasan Cilandak itu. Sudah lama ia memperhatikan gedung yang didominasi oleh warna abu-abu dan biru ini. Anna pun masuk ke dalam gedung tersebut setelah meninggalkan kartu pengenalnya di meja resepsionis. Ia naik lift menuju lantai sepuluh sesuai intruksi dari email yang didapatkannya. Ternyata di sana sudah ada beberapa kandidat lain. Terlihat dari amplop cokelat dan baju yang sangat menggambarkan “pencari kerja.” Alias setelah kemeja putih dan bawahan hitam. Hampir empat puluh menit kemudian, nama Anna baru dipanggil. Wanita itu mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskannya lalu masuk ke dalam sana. Tanpa Anna sadari, pria berkacamata tadi masuk ke lantai yang sama… melihat wanita menyebalkan itu masuk ke dalam ruangan interview. “ Jadi, dia kandidat karyawan di sini?” Ia tersenyum sinis. Anna merasa kepalanya seperti mau meledak. Ia pikir hari itu hanya interview seperti biasa, pembicaraan yang ringan-ringan seperti interview yang pernah ia lalui sebelumnya. Nyatanya banyak sekali pertanyaan sampai ke materi-materi perkuliahan serta bahasan skripsinya. “ Untung semua yang ditanyain itu aku masih ingat.” Anna meletakkan kepalanya di atas meja kafe setelah memesan segelas cokelat dingin untuk menenangkan otaknya yang mendidih setelah berbulan-bulan tidak digunakan untuk berpikir keras. “ Tapi aku lolos nggak ya?” Ia jadi pesimis sendiri karena ada beberapa jawaban yang ia sendiri tidak yakin. Ia kemudian menegakkan kembali tubuhnya, lalu menyeruput cokelat dingin yang di pesannya. “ Wah! Cokelat dingin emang jadi penyelamatku.” Ia pun menyandarkan tubuhnya dan menatap ke sekeliling hingga matanya tertuju pada sekumpulan orang yang tampak sedang meeting di kafe itu. Namun tatapan Anna tertuju pada pria berkacamata yang tengah menatapnya sejak tadi. Mata Anna pun tak lepas dari Lanyard yang dikenakan pria tersebut, lanyard yang taka sing baginya karena ia pernah melihat lanyard putih biru itu saat interview tadi. Pria berkacamata itu memiringkan kepalanya, menatap Anna dengan satu alis terangkat seolah tahu apa yang tengah menjadi perhatian wanita tersebut. Pria itu memasukkan ID cardnya ke saku kemeja abu-abunya seolah mengejek Anna yang tengah mematung. Mungkin wanita itu tak menyangka jika dia baru saja mencari masalah dengan salah satu pekerja di perusahaan yang sedang dia lamar. Anna menelan ludahnya sendiri. “ Semoga kalaupun aku keterima di sana, aku nggak perlu berurusan sama dia. Atau dia akan bilang ke temen-temennya buat nggak terima aku?” Ia mulai panik. Ia pun segera beranjak dan pergi dari sana dengan tatapan pria itu yang tak lepas darinya. “ Baiklah. Saya setuju dengan tema promosinya, designnya seperti biasa bagus. Entah apa nanti karyawan baru kita bisa membuat iklan dengan design sebagus ini,” ucap pria berkacamata itu dengan suara yang cukup dapat Anna dengar. Anna menggigit bibirnya, dari apa yang pria itu ucapkan, sepertinya dia bukan pekerja dengan jabatan biasa. “ Matilah aku.” Langit sore itu tampak sangat cerah, perpaduan warna kuning dan jingga di langit begitu memanjakan mata. Udara yang terasa hangat membuat siapapun pasti merasa nyaman dengan suasana hari itu. Namun tidak untuk pria berkacamata dengan kedua mata yang agak sipit serta alis tegas dan hidung mancung itu. Tak lupa garis rahangnya yang tegas membuat siapapun akan setuju jika dia memiliki wajah yang tampan. Pria itu menyisir rambutnya ke belakang, meraba sesuatu dari dalam kantong celananya dan mengeluarkan kotak rokoknya. Meski pria itu—Kavi tau jika rokok tak baik untuk kesehatannya, nyatanya rokok ini mampu membuat kepalanya yang dipenuhi banyak beban bisa sedikit lebih lega. Meski hanya sesaat. Sesekali ia menghela nafas, tampak berusaha untuk meringankan sedikit beban yang terasa menyesakkan. Ponsel Kavi bergetar, nama Ibu terpampang di sana. Ia pun segera mengangkatnya. “ Halo, Bu.” “ Kamu sudah pulang, Nak?” “ Belum, sebentar lagi. Memangnya kenapa?” “ Oh. Soalnya ibu lagi pergi ke mall nih. Terus kamu tau nggak?” “ Gimana aku bisa tahu kalau ibu nggak kasih tahu.” Kavi terkekeh kecil. Terdengar suara tawa kecil ibunya di sebrang sana, membuat Kavi berpikir pasti ibunya sedang sangat bahagia sekarang. Yang membuat Kavi heran adalah suara tawa anak-anak di sana. “ Ibu lagi ngapain? Kok banyak suara anak-anak?” “ Ini lagi mau makan ramen. Kebetulan dekat sama playground. Dan tadi ibu ketemu anak kecil yang lucu banget. Sopan banget anaknya terus pinter gitu ngajarin neneknya main game.” Kavi akhirnya mengerti kenapa ibunya tampak antusias dan bahagia. Sejak dulu ibunya memang suka sekali anak-anak. Ia sangat ingat seberapa sering ibunya itu membawa anak dari tetangga mereka ke rumah hanya untuk main atau sekedar mengasuh ketika ibu dari anak-anak itu ingin mandi. Katanya hitung-hitung bantu ibu mereka yang mungkin tak punya waktu untuk diri sendiri karena mengurus bayi atau toddler itu sangat melelahkan. Sampai Kavi sendiri pun suka dengan anak-anak. Walau memang kadang ada anak-anak yang nakal, nyatanya anak-anak itu hanya belum tahu apa yang benar dan salah. Jadi jika kita sebagai orang yang lebih tua umurnya harus memberitahu dengan cara yang baik agar mereka mengerti. Terbukti anak-anak yang dulunya sangat nakal dan suka mengganggu Kavi remaja, kini tumbuh menjadi anak remaja yang baik dan masih terkadang mampir ke rumah mereka untuk sekedar main PS bersama atau makan cemilan bareng. Kavi yang anak tunggal itu jelas senang, seperti punya banyak adik rasanya. Rumahnya tak pernah sepi meski di dalam hidupnya hanya memiliki sang ibu karena ayahnya yang telah tiada sejak Kavi masuk sekolah menengah. “ Nanti pokoknya kalau sudah pulang jangan lupa makan ya. Lauknya ada di kulkas kamu tinggal hangatkan saja,” ucap Ibu sebelum mengakhiri pembicaraan mereka di telepon. Kavi menghela nafas, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan kembali menikmati sebatang rokok di tangannya. “ Bagaimana bisa aku mengecewakan ibu?” “ Menurut kamu, dari tiga kandidat terkuat ini, mending pilih yang mana ya? Asli galau banget.” Rayhan menyerahkan tumpukan data milik kandidat yang baru saja interview dua hari yang lalu untuk masuk ke perusahaan ini ke pria berkacamata di sampingnya. Karena ia tahu Kavi sangat pandai memilih kandidat yang berpotensi baik. Biasanya pilihan Kavi tak pernah salah. Kavi mengambil tumpukan kertas itu dan melihatnya satu persatu. Tatapannya langsung tertuju pada salah satu data milik wanita bernama Anna. “ Jadi namanya Anna,” gumamnya pelan. “ Hah? Anna? Oh dia pinter banget sih. Skripsinya juga oke banget temanya. Public speakingnya bagus. Tapi apa yaaa…” “ Tolong hubungi aja dia,” ucap Kavi tanpa keraguan. Rayhan tampak kaget. Memang pilihan Kavi biasanya benar tapi tidak biasanya secepat ini. “ Serius, Bro?” “ Biar aku yang menemuinya, siang ini.” Kavi tak terlihat ragu sama sekali, membuat Rayhan mengangguk dan langsung melakukan apa yang pria itu suruh. “ Udah aku kirim pesan ke dia. Percaya deh sama pilihan kamu, nggak pernah salah soalnya.” Kavi hanya terdiam sembari menatap foto Anna yang ada di sana. Wanita itu tampak tersenyum kecil dengan kemeja berwarna soft pink yang terlihat sangat cocok dengan makeup tipisnya. Sekitar jam makan siang Kavi akhirnya pergi ke kafe tempat dimana Rayhan sudah membuat janji temu dengan Anna. Tentu saja Rayhan sudah memberitahu Anna untuk menemui siapa. Jelas Anna tidak mengenal siapa itu Kavi. Yang Anna tahu, dia hanya akan bertemu dengan orang penting yang menentukan diterima atau tidaknya dia dalam perusahaan tersebut. Kavi duduk di kursi paling ujung sembari sesekali menatap ke arah pintu yang terbuka. Seharusnya Anna akan datang sebentar lagi karena wanita itupun langsung membalas pesan Rayhan tidak sampai lima menit. Lalu mata Kavi tertuju pada wanita berpostur mungil itu, Anna mengenakan Ruffle top berwarna navy dengan rok pendek berwarna cream. Anna menatap sekelilingnya, mencoba mencari tahu dimana orang yang akan ia temui hari itu. Matanya tertuju pada kursi paling ujung, tempat yang katanya orang tersebut akan menunggu. Ia berjalan ke sana dengan langkah penuh keyakinan hingga ia melihat punggung lebar di sana yang terasa taka sing baginya. Hingga pria berkacamata itu menoleh, membuat langkahnya seketika terhenti. “ Anna, kan?” tanya Kavi yang menikmati wajah terkejut dari wanita itu. Anna menelan ludahnya dengan susah payah. “ I—iya, Pak.” “ Silahkan duduk,” ucap Kavi dengan tenang, seolah ini adalah hari pertama mereka bertemu, seakan sebelumnya tak ada masalah di antara mereka. “ Mau pesan apa? Cokelat dingin?” tanyanya seolah paham apa yang akan Anna pesan. “ Oh, iya boleh.” “ Less sugar atau… “ “ Normal aja, Pak.” Anna berusaha bersikap biasa meski perasaannya sangat kalut saat ini, terlebih melihat sikap tenang pria yang pernah ia tuduh sebagai pelaku pelecehannya itu duduk begitu dekat dan ternyata dia adalah orang penting yang akan menentukan masa depannya. “ Emm… soal waktu itu… “ “ Saya nggak akan bicara panjang lebar. Perusahaan kami memang butuh Graphic Designer berpotensi seperti kamu, dan dari portofolio yang kamu berikan, semua itu cukup menarik.” Anna menghela nafas lega. “ Tapi ada syarat lain dari saya agar kamu bisa bekerja dengan perusahaan kami,” ucap Kavi seolah memutus begitu saja kelegaan yang baru Anna rasakan. “ Syarat lain?” Entah kenapa perasaan Anna jadi tidak enak. Kavi tersenyum tipis lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dan membukanya di depan Anna. “ Kamu harus menikah dengan saya, bulan depan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN