Part 5- Pria Keras Kepala

1654 Kata
Kedatangan Kavi kemarin benar-benar membuat kepala Anna berdenyut. Wanita itu terus memikirkan berbagai kemungkinan tentang kenapa pria itu bisa mendadak senekat ini hanya untuk menikah dengannya. Padahal jelas pertemuan pertama mereka sangat tidak mengenakkan. Apa yang sebenarnya Kavi inginkan darinya? “ Jangan-jangan dia homo, terus mau nikahin aku buat nutupin itu?” Anna memiringkan kepalanya, menatap keluar jendela yang menampakkan langit sore yang begitu indah. Gerimis baru saja reda, menyisakan langit senja ke abu-abuan yang terlihat begitu memanjakan matanya. “ Atau dia dipaksa nikah sama orangtuanya karena udah cukup umur? Eh, tapi emangnya dia umur berapa? Tiga puluhan pasti sih,” tebaknya. Anna menggelengkan kepalanya. “ Ngapain aku mikirin dia.” Ia membenamkan wajahnya di meja. Lalu suara ketukan pintu terdengar, juga denyitan daun pintu yang terbuka. “ Kamu nggak turun, Sayang?” tanya Melinda dengan suara lembut. “ Kenapa, Mah?” Anna mengangkat kepalanya dan berbalik menatap ibunya. “ Eve nyariin aku?” “ Loh, Kavi ituloh di bawah nungguin kamu. Katanya mau ngajak kamu keluar.” “ Kavi?” Mata Anna membulat. Kemarin pria itu hamper seharian mengganggu kehidupannya yang penuh ketenangan di rumah ini, lalu sekarang dia akan melakukannya lagi? “ Bilang aja kalo… “ “ Nggak boleh bohong. Mamah nggak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong loh,” ucap Melinda memperingatkan. Bibir Anna mengerucut, persis seperti anak-anak yang keinginannya tidak dituruti. “ Tapi mamah tahu… “ Melinda menghampiri putrinya itu. Bahkan meskipun putrinya telah melahirkan cucu perempuannya yang sangat menggemaskan, Anna tetaplah putri kecil di matanya. “ Sampai kapan kamu mau menutup diri?” “ Belum saatnya, Mah. Eve juga masih kecil dan aku merasa baik-baik saja tanpa pria manapun. Aku hanya takut kecewa lagi.” “ Meskipun kamu pernah dikecewakan, bukan berarti semua pria itu buruk.” “ Tapi Kavi juga aneh. Kami nggak saling kenal loh. Hanya beberapa kali bertemu, mamah nggak merasa itu aneh apa?” Anna mencoba menyadarkan ibunya untuk tidak termakan pesona dari pria asing itu. “ Mungkin benar kata dia, dia jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu.” Anna merasa ingin muntah sekarang. Kavi sepertinya benar-benar mencoba mempengaruhi pikiran ibunya yang sejernih air ini. “ Mamah percaya? Itu omongan buaya darat banget.” Ia bergidik ngeri. Bagaimana bisa ibunya percaya dengan ucapan gombal seperti itu. “ Dicoba dulu kenal lebih dalam, siapa tahu cocok, ‘kan?” Anna menghela nafas. “ Dia udah berniat baik datang ke sini. Eve aja senang loh. Mamah jadi terharu banget. Mungkin aja kan kalau ini adalah doa-doa Eve yang terjawab?” Anna terdiam sejenak. Seketika ia terpikirkan banyak pertanyaan dalam benaknya. Seperti apakah Eve memang mengharapkan sosok ayah dalam hidupnya? Atau apakah kehadiran Anna saja tak cukup untuk Eve? Melinda menepuk pundak putrinya. “ Lebih baik kamu siap-siap, biar nak Kavi nggak menunggu terlalu lama.” Anna hanya mengangguk pasrah lalu ibunya pun keluar dari kamarnya. Anna beranjak dari kursinya, meninggalkan laptopnya yang masih menempelkan deretan lowongan kerja itu. Ia memang berniat mencari pekerjaan lain agar tidak perlu terlibat dengan Kavi lagi. Namun nyatanya pria itu terus menyeret dirinya bahkan keluarganya ke dalam hidupnya dia. “ Baiklah, mari kita coba menghentikan pria itu sebelum semuanya makin runyam.” Anna berjalan keluar dari kamarnya dan langkahnya berhenti sejenak melihat Kavi dan Eve yang sedang mengobrol bersama sembari melihat tablet yang Kavi bawa. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat sekali kebahagiaan di mata putrinya itu. Apalagi Kavi tampak ‘kebapakan’ sekali pada Eve, seolah mereka telah kenal lama. Tak tega. Itu yang Anna rasakan ketika harus memisahkan Eve dari pria yang ternyata bisa membuatnya tertawa sebahagia itu. Anna mengepalkan tangannya, “ haruskah aku mencobanya? Tapi bagaimana kalau dia sama brengseknya dengan… “ Bahkan untuk menyebut namanya lagi, Anna tidak sanggup. Dan akhirnya di sinilah Anna berada. Ia akhirnya menerima ajakan Kavi ke salah satu restoran dessert terkenal di daerah Blok M. Tempat ini memang cukup terkenal dan viral di social media karena menu dessertnya yang beragam serta rasanya yang katanya enak. “ Kita ngapain ke sini?” “ Yang jelas bukan mau ngamen sih, nggak bakal boleh masuk,” jawab Kavi dengan wajah tenangnya itu. Anna berdecak. “ Males ah.” Ia berbalik, entah rasanya ia malas ke tempat seperti ini. Memang ia sangat suka makanan-makanan manis, tapi tempat ini rasanya hanya cocok untuk orang-orang yang sudah dikenal dekat. Bukan dengan orang asing seperti Kavi ini. “ Kenapa?” Kavi tiba-tiba saja memegang lengan Anna, menahan wanita itu dengan tatapan penuh tanya. “ Aku dengar dari mamah kamu suka cake-cake yang manis,” ujarnya. Mamah lagi. Anna membatin, menyalahkan kenapa ibunya begitu cepat dekat dengan orang asing. Padahal jelas-jelas orang yang paling dekat dengannya dulu justru telah meninggalkan luka begitu dalam pada putrinya ini. “ Mau ya? Aku udah lama banget mau ke sini,” ucap Kavi yang entah sejak kapan berbicara lebih santai padanya itu. “ Ya, kamu bisa ajak temen-temen kamu ke sini.” Anna masih mengelak dengan ucapannya yang sedikit lebih santai sekarang. Kavi menghela nafas. “ Temen-temen aku kebanyakan ke sini pasti sama pacar atau istrinya. Nggak mungkin aku ikutin mereka dong?” Anna mendelik ke arah Kavi. Pria itu malah tersenyum manis seperti anak-anak yang sangat menginginkan sesuatu. “ Tiramisu di sini enak, loh.” Kavi berkata lagi. Tiramisu. Satu menu itu sudah cukup membuat Anna tak bisa beralih dari kafe ini. Apalagi Tiramisu adalah salah satu cake yang sangat ia sukai. Perpaduan rasa kopi, cokelat dan creamnya benar-benar tidak bisa dilewatkan. Akhirnya Anna pun mengangguk, membuat Kavi langsung tersenyum semakin lebar sampai memperlihatkan deretan giginya yang rapih dan terawat. Tanpa sadar wanita itu membiarkan Kavi mennggenggam tangannya dan menggandengnya ke dalam. Mereka langsung disambut oleh dua pelayan yang mengarahkan mereka ke salah satu tempat untuk dua orang di area outdoor. Sekeliling kafe dengan tema vintage itu dipenuhi oleh tanaman-tanaman bunga yang sangat cantik serta beberapa pohon yang membuat area outdoor ini terasa sejuk. Ada juga deretan pohon rambat yang dibuat menjadi atap. Sehingga meskipun siang-siang ke sini pun, rasanya tidak akan terasa terik sama sekali. Pelayan tadi pun meninggalkan buku menu untuk mereka dan membiarkan Kavi dan Anna melihat-lihat dulu sebelum memutuskan untuk memesan. “ Kamu mau pesan apa?” tanya Kavi yang tampak antusias melihat-lihat aneka cake serta makanan yang terlihat menggiurkan semua. “ Emhhh… aku mau Tiramisu sama Strawberry Amerikano deh.” “ Apa lagi?” “ Udah.” Anna menjawab singkat. Kavi mengerutkan keningnya. “ Aku lumayan susah reservasi di sini loh. Masa kamu ke sini hanya coba satu menu?” Anna menatap Kavi yang terlihat kecewa itu. “ Minimal kita harus cobain menu-menu best seller mereka selain Tiramisu biar nggak sia-sia kita ke sini,” ucap Kavi dengan bersemangat. Ia pun memanggil pelayan tadi dan mulai menyebutkan satu persatu menu pesanannya. Sampai memesan satu paket macaron dengan semua rasa untuk di take away. Anna menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal pria ini pasti sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun tapi tingkahnya malah seperti anak-anak. Anna semakin dibuat kaget saat semua menu pesanan Kavi datang satu persatu sampai memenuhi meja mereka. “ Semuanya kelihatan enak. Kamu mau coba yang mana dulu?” tanya Kavi dengan kedua mata yang berbinar. “ Kamu berniat bikin aku diabetes ya?” Anna memicingkan matanya. Ia memang suka makan makanan manis, tapi ia masih tahu diri untuk menjaga kesehatannya. “ Sekali-kali aja kok. Kamu tenang aja, aku punya cara biar kita tetap hidup sehat meski suka makan-makanan manis.” “ Apa caranya?” “ Nanti aja aku kasih tahu, sekarang kita makan dulu. Nih tiramisunya kelihatan enak banget.” Kavi menyodorkan piring berisi tiramisu ke arah Anna. “ Kalo kita saling sharing aja makannya nggak apa-apa, ‘kan?” Anna hanya mengangguk pasrah, malas rasanya berdebat dengan pria seperti Kavi. “ Kamu beneran suka amerikano? Padahal pahit banget loh,” ucap Kavi yang keheranan saat melihat Anna meminum amerikanonya tanpa kelihatan kepahitan sama sekali. Lebih pahit hidup aku. Apalagi semenjak kamu muncul tiba-tiba. Anna membatin tapi tak berani mengatakannya. Apalagi setelah banyaknya makanan manis yang masuk ke perutnya ini dan berkat Kavi ia bisa mencoba makan di kafe yang katanya untuk reservasinya saja butuh effort lebih. “ Biar seimbang aja. Kalo makan manis terus minumnya manis juga kan nggak enak,” ucapnya. Kavi mengangguk setuju, melirik lemon tea miliknya yang terlihat cupu di samping amerikano milik Anna. “ Sepertinya aku harus libur makan makanan manis selama beberapa hari ke depan.” Anna menyandarkan tubuhnya ke sofa. Perutnya benar-benar terasa penuh sekarang. Kavi tersenyum kecil. “ Aku bayar dulu ya,” ucapnya sembari beranjak. “ Eh, biar aku aja. Atau setengah-setengah,” ucap Anna yang merasa tidak enak. Apalagi Kavi bukan siapa-siapanya, tidak mungkin ia membiarkan pria itu membayar semua makanan ini sendirian. Kavi mengerutkan keningnya lalu memegang dadanya. “ Rasanya jauh lebih sakit disbanding saat kamu menolak lamaran aku pertama kali,” ucapnya. “ Aku nggak akan membiarkan sepeser uang keluar dari kamu untuk kita ya.” Ia menggeleng tegas lalu berjalan mendekat kea rah Anna. “ Lagipula sebentar lagi kamu akan jadi tanggung jawab aku sepenuhnya. Anggap aja ini bagian dari itu.” Ia mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya menuju kasir untuk membayar semua pesanan mereka dan mengambil pesanan yang akan dibawa pulang. Anna memegangi dadanya yang terasa mau meledak. “ Dia sepertinya emang nggak waras.” Ia melihat ke arah Kavi yang terlihat tersenyum ke arahnya sembari kembali mengedipkan sebelah matanya. “ Bisa-bisa aku ikutan gila.” Sementara itu dari meja yang tak jauh dari mereka, seseorang tampak memperhatikan Kavi yang terlihat tidak asing di matanya. “ Kayaknya muka dia nggak asing deh.” “ Siapa?” tanya pria di sebelahnya. “ Itu yang cowok di kasir. Kayaknya aku sering lihat muka dia di social media. Tapi siapa ya?” “ Artis kali?” Gadis berambut pendek itu menggeleng. “ Bukan deh.” “ Halah! Kamu kan emang isi explorenya cowok-cowok ganteng semua.” Gadis itu mendelik ke pria di sebelahnya. “ Iyalah, aku gatel kalo soal cowok ganteng dan kaya.”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN