“Lagian kenapa sih kamu berantem segala sama adik kamu?” tanya Rian yang membawa makan malam untuk Dinda ke kamar.
Malam itu Dinda pergi dari rumah, ia malah mampir di apartemennya Rian yang membawa beberapa pasang pakaiannya.
Rian yang merasa kasihan dengan gadis ini. Tidak seharusnya juga Dinda pergi dari rumah dak mampir ke apartemennya. Bukannya dia tidak setuju, tapi karena mereka itu adalah kedua insan berbeda jenis. Maka tidak ingin jika hal-hal buruk terjadi begitu saja.
Dinda menoleh ketika Rian membawakan makan malam untuknya. “Kakak tinggal sendirian?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan mereka berdua.
“Ya tinggal sendirian. Kan kakak memang tinggal sendirian, nggak pernah pulang ke rumah. Mungkin besok kalau kamu dititip, jadi aku bisa izin sama Mama dan Papa buat ngajakin kamu keluar sesekali,”
“Kakak makan malam bareng ya sama aku!”
Dinda mulai membahas hal lain ketika mereka sedang berbicara. Tapi tidak apa bagi Rian ketika dia melihat raut wajah sedih dari Dinda karena pertengkarangnya dengan sang adik yang menjadi suatu beban bagi Dinda. “Kamu makan dulu! Nanti kalau kamu udah selesai aku baru makan,” kata Rian menjawab ajakan Dinda untuk makan malam bersama.
Sebenarnya dia sudah sangat kenyang untuk malam ini. Beberapa waktu sebelum Dinda datang kemari dia sudah makan malam. Tapi karena melihat Dinda yang murung, dia ingin menghibur walaupun hanya sesekali.
Hati Dinda sedang tidak baik malam ini jika dia mengajak Dinda pergi jalan-jalan untuk dihibur. “Kamu mau makan sesuatu?”
Dinda menggeleng sambil menyantap makanan kemudian dia mengunyah dengan santai.
Lagi-lagi Rian harus bisa sabar menghadapi Dinda yang seperti ini. Dengan kaos putih pendek dan juga celana yang ada di atas lutut. Bagaimanapun juga dia seorang pria yang tidak bisa melihat pemandangan seperti sekarang ini.
Paham mulus tanpa ada bulu yang tumbuh di sana. Kulit putih Dinda, rambut yang di cat dengan sedikit pirang walaupun tidak keseluruhan. Dengan tinggi yang sampai pada bahu Rian. Bibirnya yang tipis seksi, ditambah lagi dengan balutan lipstik berwarna merah sangat menggoda bagi Rian.
Namun sesegera mungkin Rian mengenyahkan pikiran itu dan kembali lagi duduk dengan santai di dekat Dinda yang sedang makan. “Kamu tidur di kamar aku. Nanti aku tidur di ruang tamu,”
Dinda menggeleng, “Nggak kak, kakak di kamar aja. Biar aku di sini,”
“Udah kamu itu perempuan,”
“Kita bisa berbagi ranjang kok kak,” kata Dinda.
Di dalam hati Rian ingin mengumpat. Semenjak mereka sering bareng, Rian sudah sering membayangkan dirinya bersetubuh dengan Dinda. Fantasi seksualnya terhadap Dinda sangat besar. Apalagi jika Rian bermain sendiri di kamar mandi membayangkan Dinda yang melakukannya.
Dia menyadari bahwa dirinya adalah pria yang m***m. Tapi jika untuk menghancurkan masa depan Dinda, ia harus berpikir dulu. Belum tentu juga Dinda mau melakukan itu untuknya.
Usai makan malam dan juga sudah dua jam lalu lewat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. “Kamu nggak tidur?” tanya Rian kepada Dinda yang sedang menonton televisi.
“Tidur kak, bentar lagi,”
“Ya udah ayo tidur! Jangan begadang, besok aku juga kerja. Biar kamu di sini aja,”
Dinda beranjak dari sofa dan mematikan televisinya. “Kak, ada sikat gigi nggak? Aku nggak bisa tidur kalau nggak sikat gigi,” kata Dinda.
“Ada, ya udah kamu sikat gigi sana. Kamu butuh s**u sebelum tidur nggak?”
“Nggak kak, aku mau sikat gigi terus tidur,”
Dinda melenggok ke kamar dengan pakaian yang terbuka. Rian menelan salivanya begitu melihat ke bagian d**a Dinda yang terlihat sangat besar. Ditambah lagi ketika dia melihatnya dan sangat kencang.
“Dinda belum pernah tersentuh,” kata Rian tiba-tiba. Dia tahu kalau Dinda sangat dijaga ketat oleh orang tuanya.
Walaupun sedikit agak polos, maka dari itu Rian merasa ingin menjaga Dinda.
Rian menutup gorden kamarnya karena di luar sedang hujan.
Dinda melihat kamar Rian begitu rapi dan sepertinya dijaga dengan baik. “Kakak rapikan kamar sendiri?”
“Iyalah, kakak tinggal sendiri. ya harus diurus sendiri juga,”
“Kakak rajin ya,”
“Ya perempuan juga harus gitu,”
“Aku di rumah enggak,”
Dia sudah tahu betapa manjanya gadis yang ada di depannya ini. Tapi tidak masalah bagi Rian. Karena hidupnya hanya untuk mencari istri yang setia menemaninya. Bersabar untuk menghadapi dia yang sibuk bekerja. Bukan yang sibuk selingkuh.
Sebenarnya Rian sendiri sudah trauma mengenal perempuan. Tapi entah kenapa bertemu Dinda semua itu sirna. Dia ingin percaya satu kali lagi terhadap cinta. Tidak ingin jika dia kecewa dan gagal lagi dalam rumah tangganya.
Dia berbaring terlebih dahulu di atas ranjang sambil memainkan ponselnya. Dia bermain game, “Main bareng kak!” ajak Dinda ketika sedang ikut berbaring dan memainkan ponselnya.
“Cewek kok main game?”
“Lah kakak juga main game, aku boleh dong ikutan main,” kata Dinda sambil tertawa.
Dinda tidur di sebelahnya dan malah menempel padanya. “Ayo mulai kak! Undang aku,” kata Dinda yang tertawa dengan Rian yang baru saja mati menjadi player.
“Kalau kakak menang taruhannya apa?” tantang Rian kepada Dinda yang terdengar menertawakan dia yang bermain game tersebut.
“Apa aja,”
“Kalau kamu kalah kita pacaran,” tantang Rian.
“Hah? Enggak kak,”
“Kenapa? Kamu yang bilang apa aja kok. Ya udah ayo kita main, kalau kita resmi pacaran,”
“Emang kakak suka sama aku?
Rian melepaskan ponselnya lalu berbalik dan menindih Dinda. “Menurut kamu? Perjuangan aku selama ini apa? Apa itu bukan menandakan aku suka sama kamu?”
Dinda merasakan jantungnya berdegub kencang ketika Rian menindihnya. “Kak, a-aku bisa jelasin,”
Rian belum meberikan kesempatan untuk Dinda bicara. Tapi dia sudah menindih Dinda lalu mencium bibir gadis itu. “Aku tahu ini salah, aku nggak bisa pendam lebih lama lagi, Dinda. Semakin kita bersama, aku nggak bisa tahan perasaan aku untuk kamu. Ya mungkin kamu nolak, karena status kita berbeda,”
Dinda menggeleng, “Bukan itu,”
Dinda sudah merasakan jantungnya hampir saja copot semenjak Rian berkata demikian.. “Karena apa?”
“Aku belum siap,” kata Dinda dengan parau.
Namun Rian tetap melancarkan aksinya. Raut wajah Dinda sangat merah begitu Rian mencium bibirnya lalu mencium lehernya. “Ini apa? Kenapa rasanya nikmat sekali,” kata Dinda di dalam hati saat Rian mencecapi lehernya.
Rian sudah mengungkapkan perasaannya. Dinda merasakan hal yang sama, tapi dia tidak ingin jika ini buru-buru terjadi.
“Rian, bisa kita hentikan?!” kata Dinda. “Aaaaah,” Rian tidak memberinya ruang untuk bergerak ketika itu.
Apalagi ketika dia merasakan ada yang begitu keras di pangkal paha Dinda. Dalam pikirannya jika seorang pria sudah menegang, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh Dinda sekarang. Namun setelah itu Rian berhenti mencium lehernya setelah memberikan kecupan terakhir yang dirasakan oleh Dinda bahwa itu akan membekas. “Aku sayang kamu Dinda, semoga perasaan itu tidak pernah salah,” kata Rian dengan cepat.
Mata Dinda sayup kemudian mengangguk pelan. Dia tidak pernah merasakan kenyamanan yang jauh lebih nyaman dari Rian. Walaupun banyak pria yang pernah dekat dengannya diam-diam, tapi Rian jauh lebih istimewa dari semua yang pernah dia dekati. Walaupun status Rian adalah seorang duda, tapi bagi Dinda semua sama saja. Itu tergantung bagaimana mereka berdua menyikapinya.
“Bisa berjuang bareng? Aku bakalan buktiin,” kata Rian menatap mata Dinda.
Dinda mengangguk pelan lalu Rian kembali menciumnya. Itu adalah ciuman pertama Dinda. Terjadi diranjang yang terlihat begitu romantis untuk malam ini. Tapi Dinda masih sadar jika dia dan Rian butuh berjuang jika mengenai perasaan itu. Rian kembali mencium lehernya dan sekali lagi, memberikan tanda di sana. “Kita buktiin sama orang tua kamu nanti. Kita jalani aja dulu,” kata Rian yang dibalas dengan anggukkan.
Tak berselang lama kemudian Dinda memegang wajah Rian. “Kamu beneran mau buktiin sama Papi dan Mami?”
“Iya, aku ngerasain hal yang berbeda dari kamu, Dinda. Aku awalnya udah nggak percaya cinta itu ada, tapi semenjak kita bareng. Aku ngerasa kita itu sangat dekat, rasanya juga beda. Aku ngerasain semua yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya,”
Dinda tersenyum, Rian tidur kembali di sampingnya lalu memeluknya. “Ayo tidur!” ajak Rian.
Mereka berdua tidur berpelukan usai Rian menyatakan cintanya kepada Dinda. Respons dari Dinda juga cukup baik. walaupun pada saat menyatakan perasaan dia mencium Dinda. “Pernikahan impian apa yang kamu inginkan?”
“Aku mau pernikahannya yang gaunnya panjang. Terus waktu naik ke tangga gitu kan nah gaunnya sampai bawah gitu nutupin tangga,” kata Dinda.
Rian malah tersenyum mendengarnya. “Kalau ada orang yang wujudkan itu bagaimana?”
“Tentu aku mencintainya, dan dia pasti mencintaiku kalau dia ingin wujudkan itu,”
“Kalau aku yang wujudkan?”
Dinda merasakan jantungnya berdebar sekarang. “Rian, lebih baik kita tidur. Kalau bahas hal itu terus, aku takut nggak bisa tidur,”
“Mimpi indah sayang,” ucap Rian lalu mengecup kening Dinda.
Tidak ada pria yang pernah memanggilnya sayang seperti ini sebelumnya. “Rian,” panggil Dinda mendongakan kepalanya.
“Apa?”
Dinda menggeleng, “Kamu lucu,”
“Kok lucu?”
“Nembak aku diranjang kayak orang pengantinan,” kata Dinda sambil terkekeh.
Rian juga merasa lucu. “Maaf, aku nggak bisa sia-siakan kesempatan itu, Dinda,”
“Rian, ayo berjuang!” Dinda memeluknya semakin erat.