TUJUH

1149 Kata
“Pi, aku nggak usah dititip ya ke rumahnya Rian,” rayu Dinda kepada papinya di ruang keluarga usai dia makan malam bersama dengan orang tuanya. Menjadi anak pertama di keluarga ini sangatlah sulit. Dinda itu adalah anak tertua dari Papinya, tapi dia punya saudara yang beda ayah dari kakaknya. Namun sangat jarang sekali diakui oleh Dinda. Maminya dulu merupakan seorang janda ketika dinikahi oleh papinya.  Dia juga bahkan tidak ingin mengakui pria itu sebagai kakaknya karena semenjak menikah, pria itu tinggal di luar negeri dan jarang sekali pulang menemui Dinda yang sampai dewasa seperti ini. Maminya yang sedang membaca majalah itu menggeleng. “Kamu nggak bisa sendirian kan? Kamu nggak bisa masak,” “Mi, please. Aku nggak bisa. Papi juga nggak boleh repotin orang lain,” Ini semua terjadi lantaran Dinda tidak ingin berdekatan dengan Rian lagi. Jantungnya terasa berdebar ketika bersama dengan Rian setiap kali bertemu. Mau disangkal seperti apa pun, Dinda selalu merasa nyaman dan juga sangat bahagia ketika berada di dekat pria itu. Tapi ada yang tidak bisa dia mengerti, dan juga kalau dia berhubungan dengan Rian. Sudah pasti orang tuanya akan memberikan batas untuknya. Dinda juga punya adik perempuan yang masih SMA, tapi jarang sekali akrab dengan adiknya lantaran adiknya yang cuek tidak peduli dengan urusan orang lain. Dia lebih dekat dengan kakak sepupunya. Namun sekarang semenjak ada Rian, orang tuanya jauh lebih percaya pada orang tua Rian dibandingkan dengan keluarganya sendiri yang di mana sudah tidak diakui lagi oleh papinya setelah di khianati beberapa bulan yang lalu dengan penggelapan uang itu. Kepergian orang tuanya ke luar negeri juga masih tidak bisa dia mengerti. “Manja banget sih lo,” celetuk adiknya yang jarang sekali mau berkumpul dengannya. Tapi sekarang adiknya tiba-tiba turun dengan membawa tabletnya ke ruang keluarga. Papinya menoleh. “Adik, kok ngomong gitu?” Adiknya Dinda malah tertawa. “Pi, Papi nggak tahu aja dia kecentilan banget di dekat kak Rian. Nanti kenapa-kenapa gimana? Kak Dinda juga sering banget pakai celana pendek, rok pendek. Kak Rian itu duda, apa nggak nafsuan lihat kak Dinda kayak gitu? Apalagi sering jalan bareng, aku juga nggak yakin lho kalau dia masih perawan,” “Sialan, jaga mulut lo!” tunjuk Dinda pada adiknya. Alasan dia dititipkan karena memang sangat manja di keluarganya. Dinda hanya ingin menjadi anak yang bisa mandiri seperti adiknya. “Dek, udah nggak boleh gitu. Siap-siap sana! Besok balik ke asrama lho, Papi sama Mami nggak mau kamu malah jadi orang yang santai terus,” “Papi sama Mami emang anggap aku? Bukannya kalian itu cuman nganggap kak Dinda?” “Siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu?” papinya mulai terlihat tidak suka. Adiknya Dinda beranjak dari tempat duduknya. “Lebih baik aku emang tinggal sama kak Delon dibandingkan dengan kalian,” bentak adiknya. Dinda memanyunkan bibirnya ketika melihat tingkah adiknya yang sudah keterlaluan dan menganggap bahwa kakak terbaik hanyalah Delon—kakak mereka dari satu ibu. Sayangnya sampai sekarang ini kakaknya tidak pernah kembali lagi. “Kamu mau tinggal sama Kak Delon ya udah sana, ngapain kamu di sini?” “Dinda, udah kenapa sih? Kamu jadi kakak kok gitu terus sama adiknya. Ingat umur!” “Papi sama Mami kan manjain dia, makanya pinter ngelawan,” “Ngaca lo, sialan!” Adiknya pergi begitu saja. Ratih melihat ke arah anaknya. “Dinda, jangan gitu dong sama adik kamu. Kasihan tau nggak, kamu berantem terus perasaan,” “Kasihan dia, kapan dia ngerasa nyaman sama kamu kalau kamu gitukan terus? Dia tuh seorang anak remaja. Kamu nggak pernah puas sama diri kamu sendiri? papi sama Mami titipin kamu, karena ada yang terjadi di luar negeri, Dinda. Papi sama Mami nitipin kamu, karena Mami dan Papi nggak mau kamu di sana cuman diam aja. Papi di sini titip kamu biar kamu bisa belajar, kamu belajar di perusahaan Rian. Dia sudah sepakat kok, mengenai Om kamu yang udah berkhianat, jujur aja Papi kecewa. Tapi mau bilang apa? Kamu sekarang lindungi adik kamu! Papi cuman mau kamu jaga dia, itu alasan Papi titipin kamu. Kalau kamu sendirian di rumah, Papi nggak yakin, akan ada hal terjadi selama kamu tinggal sendirian,” “Papi kenapa begitu yakin?” “Mami sama Papi beberapa waktu terakhir mendapatkan teror sayang, Papi sama Mami juga sering mendapatkan kejadian aneh. Untungnya ya rem blong itu bisa diatasi. Papi sempat mikir ini ada orang yang berkhianat juga di sini. Papi rasa kamu udah besar, paham dengan ini. Maka dari itu, tolong lindungi adik kamu selama Papi dan Mami nggak di sini. Delon juga mencoba bantuin Papi, sayangnya dia nggak bisa atasi semua ini, Dinda. Jadi kamu harus benar-benar kerja sama. Terlebih nanti ketika kakak kamu datang, walaupun Delon bukan anak Papi, kamu tahu sendiri gimana dia sama Papi kan?” “Tapi Papi tahu sendiri aku yang nggak dekat sama dia,” “Kamu yang nggak suka sama kakak kamu sendiri,” celetuk maminya. “Mami mulai lagi,” “Dinda, umur kamu udah dua puluh dua tahun. Kamu pendidikannya tinggi, kamu juga harusnya bisa menghargai adik dan juga kakak kamu. Papi sama Mami nggak pernah ngajarin kamu menjadi orang yang yang nggak bisa hargai orang lain. Kamu jangan egois!” Dia tidak pernah dibentak sebelumnya seperti ini apalagi oleh maminya sendiri. “Ma, jangan kayak gitu dong!” “Panggil Mami, bukan Mama!” perintah maminya dengan nada yang serius. Ia menghela napasnya lalu cemberut. “Apa yang dibilang sama mami benar kok. Kamu minta maaf sama adik kamu sana! Kasihan kalau adik kamu merasa asing, nanti dia balik ke asrama kamu juga yang bakalan jagain dia. Jangan sampai lepas dari pantauan kamu, jadi orang yang bertanggungjawab. Kalau ada sesuatu terjadi sama adik kamu, lihat aja! Papi yang bakalan marahin kamu,” “Kenapa berpihak kepada adik sih sekarang?” “Kenapa kamu nggak bisa sedikit saja bersikap dewasa? Papi sama Mami nggak izinin kamu sama cowok ya karena ini. Kamu nggak bisa dewasa. Nanti kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana? Kamu udah besar, kamu bukan lagi anak kecil yang bergantung pada orang tua. Harusnya kamu juga bisa kerja, bukan lagi minta uang sama orang tua,” Dinda terkejut dengan ucapan papinya mengenai dia yang harus bekerja. Selama ini dia memang tidak pernah bekerja. Dia bahkan mencuci saja tidak bisa. Itu yang mungkin dimaksudkan oleh papinya mengenai dia yang tidak bisa becus melakukan hal apa pun. Dia bangun dari tempat duduknya. “Kamu dikasih tahu selalu saja seperti ini, Dinda. Kamu maunya apa sih? Kamu mau Papi jodohin? Mengenai apa yang diucapkan sama adik kamu barusan, apa itu benar? Kamu ada main sama Rian?” Ia menghentikan langkahnya. “Kalau Papi sama Mami permasalahkan Rian, jangan kenalin aku sama dia kalau akhirnya akan menjadi seperti ini. Aku juga capek, Mi, Pi, kalian mau jodohin siapa? Aku nggak bakalan mau,” “Kamu mau sama Rian?” ujar papinya. “Kamu nggak tahu gimana dia? Dia pria tidak bertanggungjawab,” “Papi tahu apa tentang dia?” “Kamu buta, Dinda? Kamu nggak bisa bedain mana yang beneran baik dan mana yang pura-pura baik?” “Kalau Papi sama Mami merasa diri paling hebat. Kenapa Papi dikhianati sama saudara Papi sendiri? yang sekarang Papi nggak akui? Mami juga, kenapa dulu mantan suami Mami pergi?” Plaaaaaaak Tamparan itu melayang pada pipinya karena ucapannya yang tidak bisa disaring menyakiti hati maminya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN