Tibra menggerakkan tangannya meraih ponselnya— yang berdering nyaring memekakkan telinga dan mengusik tidurnya, di nakas, menebak siapa yang menelpon pada pagi buta seperti ini.
"Kenapa gue belum dapat kabar apapun soal Tigra?" Suara di seberang langsung menyambut tanpa sapaan, saat Tibra menerima panggilan telpon.
"Lo ngerjain apa yang gue minta kan?"
"Gue tahu apa yang harus gue lakukan," jawab Tibra sambil menguap.
"Gue nggak mau tahu, dia harus secepatnya menghilang."
"Easy, man."
"Easy...easy...tapi sampai sekarang, Tigra masih wara wiri di mana-mana, caper dan orang-orang ngedukung dia."
"Hari ini, bakalan jadi hari terakhir dia."
"Jangan banyak omong, lo kayak tong kosong, just do it."
Tibra mencebik. "Oke, bos."
Sambungan telpon terputus tanpa aba-aba, menyisakan rasa sepi yang mendadak menyergap Tibra tiba-tiba. Untuk sesaat, Tibra terdiam, meresapi keheningan yang terasa kosong saat ini. Sendirian dan kesepian bukanlah hal baru dalam hidupnya, dia hampir seumur hidup menjalani sebuah kesendirian, tapi, entahlah, saat ini, dia merasakan sebuah rasa kosong yang begitu menakutkan. Mungkin jika digambarkan, seperti ketakutan yang menyelubungi para penyihir jika bertemu dementor dalam buku karangan JK. Rowling.
Tibra turun dari ranjang, telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin dan ia merasakan rasa dingin menyelimuti seluruh tubuhnya. Hari ini, ia akan menyelesaikan tugas yang diberikan Hazel. Dia mengambil sweater hitam berkapuchon, mengenakannya dan keluar dari apartemen setelah sebelumnya menelpon sebuah rental truk.
Gerimis turun saat Tibra mengemudikan jeep-nya menyusuri jalanan kota. Namun, anehnya, di tengah cuaca gerimis mendung, Tibra bisa melihat secercah cahaya matahari menembus langit yang gelap. Tibra pernah mendengar sebuah quotes, bahkan seluruh kegelapan di dunia ini, tidak dapat mengenyahkan cahaya dari sebuah lilin, seperti yang Tibra lihat saat ini, langit gelap sarat air hujan tidak bisa menyembunyikan cahaya matahari. Tibra menghela nafas, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah hal ini suatu pertanda, bahwa, sebanyak apapun kejahatan di dunia ini, tidak akan bisa menutupi kebenaran? Seperti yang ia lakukan saat ini. Demi pundi-pundi uang, ia akan membuat Tigra lenyap, atas perintah Hazel yang tidak ingin kebenaran terungkap. Tibra berpikir, apakah setelah Tigra tiada nanti, kebenaran akan kematian Harris akan terungkap? Seperti kegelapan mendung yang tidak bisa menutupi cahaya.
Bibir Tibra mendadak tertarik, membentuk smirk, menertawakan dirinya sendiri, untuk apa ia berpikir sejauh itu? Alangkah sia-sia energinya digunakan untuk memikirkan hal yang tidak berguna untuknya. Tugasnya hanya satu, mengeliminasi Tigra dan selesai sudah, ia tidak perlu memikirkan hal lainnya. Kaki kanannya menginjak pedal gas lebih dalam dan jeep yang dikemudikannya melaju lebih cepat, berjalan zigzag mendahului kendaraan lain dan menuai bunyi klakson bertubi.
***
Menurut pengamatannya selama ini, Tigra akan melewati jalanan sepi untuk pulang pada pukul sembilan atau lebih. Tibra berencana akan melakukan eksekusi saat ini, dengan truk yang ia kemudikan, membuat sebuah kecelakaan fatal yang mencabut nyawa Tigra. Terdengar simpel dan mudah dilakukan.
Detik demi detik berlalu, Tibra mengamati jalanan untuk memantau keberadaan Tigra, seperti seekor macan yang menunggu mangsa. Kesabaran Tibra pada akhirnya membuahkan hasil, dia melihat kedatangan Tigra dari arah berlawanan, Tibra segera bersiap, mengemudikan truk yang ia sewa dan menyongsong Tigra.
Truk yang Tibra kemudikan mengejar laju motor Tigra, semakin dekat, dan Tibra menginjak gas lebih dalam, membuat truk menabrak Tigra dan motornya. Tibra memastikan bahwa Tigra tidak mungkin selamat, ia melajukan truk hingga beberapa meter, menghentikan truknya dan turun, mengecek, bagaimana kondisi Tigra.
Ia melihat tubuh Tigra tergolek tidak berdaya di aspal, darah membanjiri tubuhnya, dan motor yang dikemudikan pria itu ringsek berat akibat tergencet. Seharusnya, Tibra sudah cukup yakin bahwa Tigra sudah mati, apalagi kondisi sepi yang membuatnya tidak akan mendapatkan pertolongan segera, namun, kakinya melangkah begitu saja mendekati Tigra.
Saat melihat Tigra lebih dekat, Tibra melihat bahwa Tigra masih bernafas namun pria itu sudah sangat lemah dan bisa dipastikan nyawanya sebentar lagi terlepas dari tubuhnya. Tibra mendengar Tigra menggumam sesuatu sebelum akhirnya nafasnya yang tinggal satu-satu itu terhenti, begitupula jantungnya, diakibatkan oleh kerusakan tubuhnya yang demikian parah.
Tibra menatap jenasah Tigra nanar. Ada rasa sedih dan jika boleh dikatakan, ada penyesalan. Tibra tidak pernah menyesal selama ini, karena ia beranggapan ia hanyalah pelengkap takdir. Kematian seseorang sudah ditakdirkan, andai bukan ia yang mencabut nyawa mereka, maka akan ada penyebab lain atau pembunuh lain yang membuat mereka meregang nyawa.
Tetapi, Tigra membuatnya merasakan hal yang berbeda. Mungkin salahnya, ia tidak seharusnya berinteraksi terlalu dekat dengan Tigra. Ia seharusnya mengamati dari kejauhan, dan tidak membuat semacam kenangan yang menjadikannya melankolis.
"Nice to meet you, Tigra The Tiger. Seharusnya lo hati-hati, gue udah bilang kalau gue Godzilla, monster jahat. Gue nyesel pertemuan kita yang kedua kayak gini, dan gue nggak bisa traktir lo makan. Tapi, gue akan doain lo sebisa gue, biar lo masuk ke surga. Lo orang yang baik," ucap Tibra pelan, lalu ia melangkah meninggalkan Tigra yang tergeletak di aspal.
Truk kuning sewaan dengan gambar tokoh wayang raksasa kecil— Sukrasana adik Sumantri dan tulisan 'Ojo Edi Aku Ra Kokot' itu melaju cepat, meninggalkan lokasi tabrakan. Bola mata Tigra melihat spion sekilas melihat kembali kekacauan yang baru saja dia ciptakan. Jemari tangan kirinya meraih panel radio, menyalakannya dan terdengar lagu dangdut koplo mengalun meriah. Tibra menyergit, meski asyik dan seru, ia jarang mendengarkan musik dangdut, tetapi untuk kali ini, musik dangdut ia anggap cukup menghibur dirinya yang merasakan sebuah kekosongan dan sepi yang begitu menyiksa.
***
Pagi baru saja datang saat Tibra tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan keringat mengalir cukup deras. Dia baru saja bermimpi mendengar suara memanggil Ibu, tepat seperti yang Tigra ucapkan lirih di ambang ajalnya. Tibra mengusak wajahnya dan turun dari ranjang, pergi ke kamar mandi dan mencuci wajahnya di wastafel.
Selama ini, dia tidak pernah mengalami mimpi buruk setelah melakukan kejahatan, tapi sekarang, tiba-tiba sebuah mimpi datang dalam tidurnya dan membuatnya merasa takut.
Tibra memejamkan mata saat mengusap wajahnya dengan handuk. Ia masih mengingat dengan jelas mimpi yang baru saja ia alami. Ia seperti sedang berjalan di lorong yang panjang yang gelap, di ujung ada secercah cahaya, dan ia berusaha berjalan secepat mungkin menuju cahaya, tetapi dalam perjalanannya, mendadak sebuah suara—yang Tibra duga suara Tigra, mengagetkannya, memanggil ibu.
Tibra menghela nafas. Dia pernah melihat seorang perempuan paruh baya menyambut Tigra pulang. Mungkin, itu adalah ibu Tigra dan pasti sekarang perempuan itu sedang menunggu Tigra pulang, tetapi sayangnya, Tigra tidak akan pernah pulang dengan cara yang sama karena dia sudah pergi tanpa sempat mengucapkan pamit pada ibunya. Mendadak rasa sesak memenuhi d**a Tibra, seolah dia juga merasa ditinggalkan tanpa pamit. Padahal, ditinggalkan adalah hal yang sudah biasa ia lalui, bahkan sejak ia lahir ke dunia ini. Tibra pikir, ia sudah kebal, tetapi secara aneh, kematian Tigra membuatnya merasakan sebuah rasa sakit tak kasat mata oleh sebuah kehilangan.
Mengabaikan seluruh perasaan asing yang menyambangi dirinya di permulaan hari ini, Tibra duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tatap matanya disambut oleh tulisan Breaking News di layar televisi tujuh puluh inchi di hadapannya. Media massa nasional dihebohkan dengan berita tabrak lari yang dialami oleh Javier Tigra, anggota Satuan Intelejen dan Keamanan yang akhir-akhir ini aktif dalam upaya pengungkapan kematian Direktur BUMN Harris Rajendra. Tigra dikabarkan tewas di lokasi kejadian tabrakan.
Semua media massa mengangkat kasus ini, berbagai chanel televisi menyajikan Breaking News meninggalnya Tigra, lengkap dengan laporan dan tayangan evakuasi jenasah Tigra dari lokasi kejadian, wawancara berbagai pihak, mulai dari keluarga, rekan kerja dan atasan di kepolisian Satuan tempat Tigra bertugas, hingga berbagai pakar.
Beberapa televisi mengundang para pakar, mulai dari kriminolog, pengamat politik, Kadiv Lalu Lintas, pengamat media massa, ahli rekayasa jalan raya, juga aktivis HAM. Berbagai pendapat dan asumsi dikemukakan oleh para ahli berdasar latar belakang keilmuan yang mereka miliki, terkait meninggalnya Tigra dan juga hubungannya dengan kasus pengungkapan kembali kematian Harris Rajendra.
Berulangkali Tibra menekan tombol remote, mengganti saluran televisi, tetapi seolah semua stasiun televisi nasional kompak menyajikan hal yang sama : Kematian Javier Tigra, dan hal itu membuat Tibra merasa tidak nyaman.
Untunglah, ia masih bisa melihat tayangan National Geographic yang dijamin tidak akan menayangkan berita soal Tigra. Namun sial, chanel itu menampilkan siaran tentang konflik manusia dan macan yang bertajuk, 'Dramatic Pictures, Reveal Clashes Between People and Tigers' yang mengingatkan dia tentang Tigra, yang sempat dia sebut sebagai Tigra the Tiger.
Sebelum akhirnya mematikan siaran televisi karena merasa tidak ada tayangan yang menarik dan memberikan hiburan baginya, Tibra sempat melihat gambar seekor macan yang diusung beramai-ramai oleh orang-orang dengan kondisi terluka parah, bahkan mungkin sekarat. Orang-orang melihat macan bukan sebagai mahluk hidup yang patut diperlakukan dengan welas asih, tetapi mereka menganggapnya sebagai musuh yang harus dibasmi, ketika terjadi konflik perebutan daerah, padahal, manusia yang lebih dahulu mendesak lahan hidup mahluk karnivora itu.
Apa yang ada dalam tayangan televisi itu, rasa-rasanya tidak ada hubungan dengan dirinya, tetapi Tibra merasa tersindir. Bagaimana dirinya mengeliminasi Tigra demi rasa rakus manusia. Ia merasakan dirinya adalah manusia yang tidak utuh, ia tidak bisa mengenali baik dan buruk, dan tidak lebih dari predator atau monster.
Cukuo lelah dengan perasaan tidak nyaman yang terus dirasakan, dia berjalan ke kulkas mengambil kaleng bir dan menenggaknya cepat. Penyesalan adalah sebuah perasaan yang tidak ia perlukan. Ia sudah terlanjur basah, berapa nyawa melayang sudah di tangannya dan ia rasa, pintu neraka akan terbuka lebar untuknya. Ia menenggak lagi birnya, berharap pikiran-pikiran yang mengusiknya enyah.
Sementara, di belahan bumi lain, Hazel tengah menikmati suasana hening dan tenang di Amanemu Resort Ise Shima-- sebuah resort yang terletak dalam keheningan wilayah prefektur Mie, dengan pemandangan indah Teluk Ago dan pemandian onsen pribadi. Dia sedang melakukan yoga saat mendadak mendapatkan telpon dari Sultan, salah satu tangan kanannya sekaligus teman karibnya.
"Lo tahu? Gue lagi yoga dan ketenangan jiwa gue buyar karena telpon dari lo!"
"Sorry, tapi gue punya kabar penting," balas Sultan. Sultan adalah kawan karib Hazel sejak kecil, dan ia adalah salah satu corporate lawyer seluruh bisnis keluarga Soemarsono.
"Apa? Awas aja kalau ternyata ga penting-penting amat."
"Tibra, udah ngelakuin tugasnya."
"Lalu apa masalahnya?"
"Dia sempat balik nyamperin Tigra dan kerekam kamera cctv jalanan."
"s**t! g****k!"
"Emang. Gue udah berkali-kali bilang terlalu riskan kalau lo nyuruh Tibra setelah kejadian di rumah Harris."
"Any idea?"
"Eliminasi dia?"
"Ga gampang. Dia—entah gimana punya kemampuan bertahan hidup, di samping kemampuan membunuh. Kalau kita sampai gagal, dia bisa aja buka mulut."
"Jadi...menurut lo apa yang harus kita lakukan?"
"Akan lebih baik kalau dia beresin semuanya tanpa melibatkan kita."
"Apa dia mau?"
"Sejauh gue kenal Tibra, dia orang yang bertanggungjawab."
Terdengar oleh Hazel, Sultan mendecih.
"Kalau dia tanggung jawab, dia nggak bakalan ninggalin jejak yang gampang buat dilacak polisi."
Hazel menghela nafas.
"Kayaknya ada sesuatu yang salah sama Tibra, nggak biasanya dia kayak gini."
"Dua kali dia ragu-ragu, waktu di rumah Harris dan sekarang. Apa lo masih bisa percaya kinerja dia?"
"...." Hening sejenak, sebagai pewaris keluarga Soemarsono, Hazel harus memikirkan semua hal secara matang, apalagi soal orang yang ia rekrut untuk bergerak memuluskan bisnis secara underground.
"Hazel?"
"Gue pikir, Tibra adalah orang yang sangat tepat untuk melakukan tugas, latar belakangnya membuatnya lebih mudah bergerak tanpa dipengaruhi berbagai perasaan yang tidak perlu."
"Tapi kenyataannya, Tibra nggak seperti itu," sanggah Sultan.
"Terlalu dini untuk menyingkirkan Tibra, lagipula, dia bukannya berkhianat."
"Ck, sama aja, dia terlalu ceroboh yang bisa ngebuat kita terseret masalah."
"Gue bakalan kasih dia satu kesempatan untuk nyeleseiin semuanya," final Hazel.
"Lo yakin?"
"Gue yang ngambil keputusan di sini, Sultan." Hazel menekankan.
"Oke, kalau lo yakin sama anak itu."
***
Tibra hendak mengambil bir yang kedua saat ponselnya berdering nyaring meminta atensi, dan ia sudah tahu siapa yang menelponnya.
"Ya?"
"Lo lihat tv?" tanya Hazel saat Tibra mengangkat panggilan telponnya.
"Enggak, kenapa?" tanya Tibra, meski tahu bahwa Hazel pasti sudah tahu bahwa kematian Tigra mendapatkan atensi dari seluruh negri—satu hal yang tidak diduga olehnya.
"Nyalain tv-nya!"
Tibra menurut, dan segera tulisan Breaking News kembali terbaca olehnya.
"Gue udah bilang, jangan ngelakuin tindakan bodoh. Lalu kenapa lo nggak langsung kabur dari lokasi kejadian? Kenapa lo malah nyamperin Tigra dan ngebuat lo masuk ke cctv jalan?" Suara Hazel terdengar geram.
"...."
Tibra terdiam tengah mencerna apa yang terjadi. Ditatapnya siaran breaking news yang menyatakan bahwa pihak kepolisian lalu lintas telah mendapatkan rekaman seseorang yang diduga pelaku tabrak lari Tigra, dan akan segera menyelidiki hal tersebut.
"Gue nggak mau tahu. Lo harus beresin semuanya, jangan bawa gue dan keluarga gue."
"Iya gue tahu."
"Ck! Tibra, lo bikin gue kecewa. Lo biasanya ngelakuin semuanya dengan baik, tapi kali ini, lo bener-bener gagal total."
"Gue bakal beresin semua."
"Apa rencana lo?"
"Menyerahkan diri. Gue dengar kalau menyerahkan diri, bisa dianggap beritikad baik, jadi hukuman gue bisa kurang."
Terdengar Hazel berteriak frustasi.
"Lo masih bisa santai ya?"
"Emang gue harus gimana? Panik? Nangis?"
"f**k!" Hazel mengumpat, terlalu kesal dengan ekspresi datar Tibra—yang seharusnya sudah ia ketahui, selama ia menggunakan jasa Tibra selama ini. "Terserah lo mau gimana, yang penting case closed."
"Noted."
Hazel mematikan sambungan telpon dan menyisakan rasa sepi yang kembali menyambangi Tibra. Ia duduk di sofa, menatap tayangan peti jenasah Tigra yang sampai di rumah duka yang dipadati pelayat. Entah mereka benar-benar berduka karena kematian Tigra dan ingin memberikan penghormatan terakhir bagi polisi muda itu, atau, mereka hanya ingin mengikuti tren.
Maaf saja jika terdengar salty, jaman sekarang, orang terasa begitu latah, mengikuti segala hal yang sedang hits, termasuk juga, datang ke acara duka atau berkunjung ke makam publik figur terkenal. Pada dasarnya, hal tersebut sangat baik dilakukan, sebagai manusia, kita mahluk sosial yang sudah sepantasnya memberikam rasa simpati kita kepada sesama yang berpulang, dan memberi dukungan bagi orang-orang yang ditinggalkan, sekaligus pengingat bagi kita bahwa suatu hari, kita juga akan mengalami hal yang sama. Yang menjadi kurang etis adalah, saat kehadiran ke rumah duka atau makam hanya sekedar untuk berfoto dan menunjukkan ke-eksisan di media sosial, upload hingga titik-titik memenuhi i********: story atau w******p story, misalnya.
Beralih dari layar televisi yang masih menyiarkan obituari Tigra, Tibra mengalihkan pandangan ke ponselnya, membuka aplikasi ojek online dan memesan makanan untuk sarapan. Ia akan melakukan rencana selanjutnya untuk membereskan kekacauan yang ia tinggalkan, tetapi sebelum itu, ia perlu sarapan sebagai sumber energi, karena setelah hari ini, ia yakin hidupnya akan sangat riuh.