Malaikat maut
Tibra terbangun dari tidurnya tiba-tiba, seperti seseorang membangunkannya dari tidurnya yang lelap. Lelaki itu bergerak pelan, duduk di ranjang dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sepertinya ia baru saja bermimpi, rasanya bukan mimpi yang indah, dan hal itu membuat tubuh Tibra lelah meski ia tidak ingat akan mimpi yang menyambanginya. Ia melihat jam di nakas, menemukan bahwa saat ini pukul tujuh kurang, dan ia sudah terbangun tanpa alarm, suatu hal yang tidak biasa dalam kesehariannya.
Tibra melangkahkan kakinya ke dapur, kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin, mengambil mug lalu menyeduh kopi dengan air panas dari dispenser lalu melihat pemandangan kota lewat jendelanya yang berada di lantai sepuluh. Kota terasa muram pagi ini, titik-titik air membasahi kaca jendelanya dan juga separuh kota dengan hujan.
Tetes hujan yang membasahi bumi perlahan dengan tetes air seolah membawa Tibra ke dalam dimensi lain. Sebuah dunia di mana ia merasa asing namun secara aneh, ia juga merasakan sebuah kenyamanan dan ketenangan, mungkin, ia termasuk manusia pluviophile, para penyuka hujan.
Dunia Tibra yang terdiri dari tetesan hujan buyar saat dering ponselnya terdengar nyaring memanggil. Tibra menggumam kecil, merutuki siapapun yang ada di seberang sana dan menghubungi ponselnya, karena orang itu telah merusak suasana paginya yang syahdu dan penuh ketenangan.
"Halo," sapa Tibra datar, saat melihat nama Hazel ada di layar.
"Lo, lagi ngapain?" tanya Hazel.
"Menurut lo?"
"I have no idea, mungkin lo baru aja bangun tidur?"
"Nah itu lo, tahu. So, lo pagi-pagi gini nelpon pasti bukan mau beramah tamah ke gue atau ngasih perhatian ke gue kan?"
"Well, gue minta maaf karena gue nggak pernah perhatian, tapi, yah...gue akan langsung pada intinya, karena lo baru aja bangun tidur, maka gue berasumsi lo nggak tahu tentang kabar terbaru yang terjadi, dan menurut gue, lo juga enggak mau tahu. Jadi, gue bakal langsung minta lo laksanain tugas kayak biasa." Hazel Soemarsono adalah anak bungsu Soemardi Soemarsono, politikus yang sedang berlaga di panggung politik sebagai gubernur, sekaligus seorang pebisnis yang bergerak di bidang impor bahan pangan, terutama sentra pangan Asia Tenggara.
"Siapa?" tanya Tibra sambil menghirup kopi dalam mugnya. Dia merasakan bahwa kopinya sudah mulai dingin dan hanya pahit yang terasa.
"Harris Rajendra."
"Harris...direktur BUMN?"
"Yap. Lo nggak akan nanya kenapa dia kan?"
"Nope."
"But, as usual, gue akan beritahu alasannya, agar lo tahu bahwa semua yang lo lakukan itu ada alasannya, meski gue yakin lo ga butuh penjelasan dan lo nggak peduli. Harris memutuskan akan menghentikan impor bahan pangan dan mulai swadaya pangan, dan itu artinya perusaan keluarga gue bakalan rugi milyaran karena berhenti impor bahan pangan. Gue, sudah berusaha membujuk Harris untuk meneruskan saja impor bahan pangan, paling tidak fifty, fifty, impor fifty percent dan swadaya fifty percent, but guess what? Harris itu terlalu idealis dan gue pikir akan lebih mudah kalau dia nggak ada lagi."
"...."
"Tibra, lo masih di sana kan?" tanya Hazel saat Tibra tidak menanggapinya.
"Ya. Berapa bayarannya?"
"Untuk mengeliminasi Harris, 500 juta, cash. Lo hanya perlu eliminasi dia, sisanya bakalan diberesin sama kroco lainnya. Make it looks like, robbery?"
"Gue tahu apa yang harus gue lakukan."
"Good. That's why keluarga gue suka sama kerja lo."
"Lima ratus juta bakalan diserahin tunai kalau kerjaan kamu selesai hari ini."
"Got it."
"Oke Tibra, gue nunggu kabar baik dari lo." Hazel menutup sambungan telpon begitu saja setelah ia selesai bicara, dan Tibra sudah hafal dengan hal itu.
Tibra meletakkan ponselnya dan berjalan ke kulkas, membuka kulkas dan tidak menemukan apapun yang bisa dimakan di sana selain nasi goreng dalam kotak plastik yang kemarin dipesannya dan tidak habis dimakan. Tibra mengulurkan tangannya, mengambil kotak plastik itu dan memasukkannya ke dalam microwave. Lima menit kemudian, Tibra mengambil nasi goreng dari microwave dan mulai menyantap nasi goreng itu. Meski sudah kembali hangat, tapi bagi Tibra rasanya aneh, dan dia hanya mampu memakan dua sendok nasi goreng itu. Tibra mendorong kemasan plastik nasi goreng dari hadapannya, lalu meminum air putih banyak-banyak, ia merasa lapar, tetapi tidak bernafsu memakan apapun.
Tibra beranjak dari kursi makan, mengayunkan kakinya kembali ke kamar tidurnya, lalu mengambil laptop dan membuka browser, mengetikkan nama Harris Rajendra. Dalam sepersekian detik profile Harris Rajendra tersaji di hadapan Tibra. Pria paruh baya itu masih terlihat gagah dan memiliki aura wajah karismatik, ia baru menjabat sebagai direktur Bulog selama enam bulan dan di bawah kepemimpinannya, BUMN itu mengadakan perombakan sistem besar-besaran, yang mengkoreksi adanya impor bahan pangan yang sebenarnya tidak perlu karena kebutuhan pangan bisa disediakan dari produksi dalam negri. Kebijakan Harris yang menggerakkan swadaya pangan dalam negri itu memang dianggap suatu gerakan yang baik dan digadang menjadi suatu upaya ketahanan pangan nasional, tetapi, bagi keluarga Soemardi Soemarsono yang mendapatkan keuntungan dari bisnis impor bahan pangan, hal itu bukan suatu kabar baik.
Tibra menatap gambar Harris Rajendra di layar laptopnya, mengingat wajah Harris baik-baik, karena hari ini, waktu Harris di dunia ini hanya dua puluh empat jam, atau kurang. Hazel memberi waktu dua puluh empat jam pada Tibra untuk membuat Harris Rajendra hanya tinggal nama. Tzfanya Tibra, adalah malaikat maut Harris Rajendra.
***
Tibra bertemu beberapa orang di sebuah mini market, tidak jauh dari tempat kediaman Harris di sebuah wilayah yang tidak bisa dikatakan daerah elit. Hal yang mengesankan bagi Tibra karena Harris, yang notabene direktur Bulog dan dari background yang ia miliki memilih tinggal di wilayah pinggiran, di sebuah kampung, bukan perumahan elit ibu kota.
"Lo Tibra?" Seseorang berwajah sangar menghampiri Tibra, di belakangnya ada enam orang lainnya yang wajah mereka tidak kalah sangar. Tibra mengangguk menanggapi seseorang yang menghampirinya itu.
"Gue Ramon, dan gue diberi tugas buat backup tugas lo. Di sini lo yang jadi eksekutor, gue dan yang lainnya bakalan nutup perbuatan lo dengan perampokan. Gue dan yang lainnya akan mengambil alih semuanya kalau pihak kepolisian menyelidiki," ucap Ramon tenang. Nampaknya, berurusan dengan hukum, dibawa ke kantor polisi, bertemu penyidik dan berakhir di penjara bukan hal yang baru bagi Ramon dan teman-temannya jika melihat bagaimana mereka begitu tenang saat ini.
"Gue tahu," balas Tibra tanpa semangat. Ia biasa bekerja sendiri, tapi sekarang mendadak ada beberapa orang yang bersamanya dan apa tadi katanya?membackup dirinya? Seolah Tibra adalah sebuah data penting yang dikhawatirkan hilang atau terhapus dari sistem. Tibra tersenyum getir, pada kenyataannya, ia seperti sebuah malware, yang diutus untuk menghancurkan suatu pihak atas perintah pihak lain. Bagi seseorang yang mengumpamakan diri sebagai malware, Tibra merasa bahwa hidupnya tidak berarti sama sekali. Ia bahkan seribu persen yakin bahwa tidak akan ada satupun manusia yang akan menyadari keberadaannya, apakah ia menghilang atau tampak, bahkan Hazel Soemarsono sekalipun—seseorang yang belakangan ini selalu muncul di layar ponselnya, memerintahkannya untuk menghancurkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kehendak Soemardi Soemarsono.
Ingatan Tibra kembali pada masa lalu, di mana ia bekerja sebagai debt collector dan dianggap mumpuni di bidang itu. Banyak orang yang gemetar ketakutan dan akhirnya membayar hutang-hutang mereka setelah Tibra mendatangi mereka, termasuk, pengusaha textil rekan bisnis Soemardi, Henoch Linggadjaja.
Henoch telah membawa uang milyaran milik Soemardi yang rencananya akan digunakan untuk pengembangan bisnis. Rupanya rencana Henoch gagal total karena kesalahan perhitungan, bahan baku di dalam negri langka, sementara kebijakan impor masuk berubah. Pabrik textil Henoch yang terpaksa menggunakan bahan baku dari luar negri dan kebijakan pajak impor masuk sangat memberatkan, ditambah lagi, persaingan bisnis semakin ketat. Henoch tidak bisa membayar hutangnya dan melarikan diri ke Singapura.
Hazel, saat itu diserahi tugas oleh Soemardi untuk menyelesaikan kasus utang piutang Henoch, dan Hazel mendengar nama Tibra di dunia debt collector. Hazel mengutus Tibra mengejar Henoch dan memaksa pria itu mengembalikan uang milik Soemardi. Tibra berhasil membuat Henoch ketakutan dan membayar semua hutang pada Soemardi. Perusahaan textile Henoch bangkrut, semua asetnya dijual untuk mengembalikan dana milik Soemardi.
Tibra tidak tahu soal bisnis, hal yang pasti, saat itu Hazel kembali menghubunginya dan memerintahkan untuk melenyapkan Henoch, karena Henoch menggugat Soemardi dengan pasal penipuan, dan menulis buku yang memuat kelicikan bisnis klan Soemarsono. Henoch menulis dalam bukunya bahwa sebenarnya, kebangkrutan bisnis textile Henoch adalah ulah Soemardi.
Awalnya, Soemardi memuji bisnis textile Henoch, lalu membujuk Henoch melakukan ekspansi besar-besaran dan menjanjikan dana untuk membantu pengembangan bisnis. Pengembangan bisnis besar-besaran tanpa perhitungan akan membuat bisnis Henoch berantakan, ditambah lagi supplier mendadak berhenti memberikan pasokan bahan baku dengan alasan kelangkaan bahan baku, membuat Henoch banting stir impor bahan baku. Henoch gagal mengembangkan bisnis textilenya dan berhutang milyaran rupiah pda Soemardi. Bisnisnya runtuh dan oleh Soemardi dibeli dengan harga murah. Setelah hal itu terjadi, Henoch baru sadar bahwa sebenarnya kegagalannya mengembangkan bisnis karena campur tangan Soemardi. Supplier yang berhenti memasok bahan baku disebabkan karena Soemardi meminta mereka berhenti memasok pada Henoch dengan imbalan pinjaman usaha, kebijakan impor yang mencekik juga terjadi karena lobi-lobi yang dilakukan Soemardi terhadap pemerintah. Henoch menyadari hal itu, namun sudah terlambat, dan ia memutuskan untuk menulis apa yang terjadi pada bisnisnya dalam sebuah buku, yang juga memuat kasus pebisnis lain yang bisnisnya dirampas paksa oleh Soemardi dengan cara halus yang tidak akan disangka oleh korbannya.
Buku kejahatan bisnis Soemardi menjadi bahan perbincangan hangat dalam masyarakat dan mengguncang saham bisnis mereka. Henoch Linggadjaja mutlak harus dilenyapkan, dengan begitu kisah bisnis Soemardi akan lenyap, sekaligus membungkam pebisnis lain, agar tidak mencoba melakukan tindakan nekat seperti yang dilakukan Henoch. Tibra mendapatkan perintah untuk itu, melenyapkan Henoch Linggadjaja dan terbukti, media massa memberitakan Henoch meninggal saat sedang berjalan-jalan, diduga terkena serangan jantung dan tergelincir ke sungai. Keluarga besar Henoch menolak autopsi dan memilih segera memakamkan Henoch tanpa memperpanjang masalah kematian Henoch, karena tahu bahwa kematian Henoch adalah peringatan keras bagi mereka.
"Jadi, nanti lo akan lebih dulu menemui Harris. Bos bilang, lo akan bicara dulu sama dia, dan jika dia tetap tidak berubah pikiran, maka, kita akan lakukan langkah selanjutnya."
"Hei, bung! Lo denger kan?" Ramon menggerakkan telapak tangannya di hadapan wajah Tibra dan lelaki itu menangkap tangan Ramon. "Gue denger, lo nggak perlu kayak gitu," balas Tibra dingin sambil menyentakkan telapak tangan Ramon. Ramon merasa tersinggung, tetapi ia menahannya, hal yang penting sekarang adalah melaksanakan perintah bos, tidak diperlukan keributan sepele karena sebuah ketersinggungan.
"Jadi gini, Harris itu di rumah hanya sama pembantu, yang datang jam lima pagi, lalu pulang jam lima sore, selain itu ada penjaga malam yang datang jam enam, tukang kebun datang seminggu tiga kali dan supir yang biasanya standby di rumahnya."
Tibra hanya diam, mendengarkan dengan jemu. Ia tidak peduli dengan briefing semacam ini, akan lebih baik jika ia bekerja sendiri dan orang-orang ini datang setelah ia menyelesaikan pekerjaannya.
"Istri dan kedua anaknya pergi ke Singapura setelah Harris bercerai, jadi tugas kita sebenarnya tidak sulit...."
"Kalau begitu, ayo kita selesaikan." Tibra memotong ucapan Ramon dan berjalan meninggalkan Ramon dan kawan-kawannya.
Tibra masuk ke dalam mobil jeepnya, lalu melajukan kendaraannya tanpa menunggu Ramon dan teman-temannya. Dia lalu berhenti di sebuah rumah yang cukup sederhana, untuk ukuran seorang direktur BUMN, menunggu di sana hingga mobil Harris tampak masuk ke halaman rumah. Tibra turun dari jeep dan menyelinap masuk ke dalam halaman. Ia melangkah cepat sebelum Harris masuk ke rumah.
"Kamu siapa?" Sebuah suara membuat langkah Tibra terhenti.
"Sialan," gumam Tibra pelan saat menemukan supir Harris menatapnya curiga.
"Saya ingin bertemu pak Harris," balas Tibra.
"Untuk urusan apa? Bapak sedang istirahat."
Tibra menghela nafas, ini akan menjadi sulit jika ia terus beradu kata dengan lelaki paruh baya ini, akan lebih mudah menembaknya, agar tidak banyak bertanya. Tibra mengalihkan pandangan ke pagar, melihat Ramon dan kawanannya turun dari mobil, merangsek masuk ke dalam halaman rumah. Tibra meninggalkan supir yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya begitu saja, karena ia tahu bahwa Ramon akan membereskannya.
Tibra masuk ke dalam rumah, dan menemukan Harris sedang membaca koran di ruang makan. Pria itu nampak kaget dengan kehadiran Tibra, namun bersikap tenang.
"Kamu siapa?"
"Maaf mengagetkan Pak Harris. Saya diutus oleh seseorang untuk membuat kesepakatan terakhir kali dengan anda," jawab Tibra.
"Oh...sepertinya saya tahu tentang ini. Kamu diutus oleh keluarga Soemarsono?"
"Ah, anda menebak dengan tepat."
"Tidak sulit menebak jika hafal bagaimana sepak terjang keluarga Soemarsono selama ini. Jika memang benar ini tentang keluarga Soemarsono, pasti kamu datang untuk membuat saya membatalkan kebijakan pembatasan impor pangan. Tapi sayang, apapun yang kamu lakukan, saya akan tetap menjalankan kebijakan itu."
Tibra tersenyum sinis. "Apapun...?"
"Iya."
"Bagaimana dengan ini." Tibra mengeluarkan pistol miliknya dari balik jaket kulitnya dan mengarahkannya pada Harris.
"Well, saya sudah menduganya. Saat kamu melakukan hal ini, saya akan mengirimkan semua bukti rekaman cctv pada asisten saya...."
Dor! Sebuah letusan keras terdengar dan Harris ambruk dengan tubuh bersimbah darah. Tibra menatap tubuh Harris dengan gusar, tapi ia tidak mengatakan apapun, selain pergi meninggalkan ruang makan yang menjadi tempat Harris meregang nyawa. Dia melewati Ramon dan kawan-kawannya tanpa sepatah kata apapun, sesuai kesepakatan dan perintah Hazel, Ramon dan kawan-kawannya yang akan menyelesaikan semua, berpura-pura menggasak barang berharga dan melakukan pembunuhan dengan tujuan menguasai harta korban.
Tibra kembali ke dalam jeep, mengambil ponsel di saku dan menelpon Hazel.
"Gue sudah selesai. Lima ratus juta cash," ucap Tibra saat Hazel menjawab panggilan telponnya.
"Easy, man. Gue akan kirim ke apartemen lo."
Tibra mematikan telpon dan menginjak gas dalam-dalam, melaju di sebuah jalan yang tidak terlalu luas dan penuh dengan rumah penduduk.