Semoga malaikat mengiringi langkahmu ke surga....
Semoga orang-orang suci menyambutmu saat kau hadir dan memandumu ke Kota Suci
Semoga paduan suara malaikat menyambutmu dan semoga kau diberikan istirahat kekal
Terdengar kidung yang sayup mengalun, menjadi backsound dari tayangan televisi saat peti berwarna putih indah dengan ukiran emas dan hiasan bunga masuk ke dalam sebuah rumah sederhana yang begitu dipadati manusia.
Kidung mendayu itu bercampur dengan isak tangis saat peti jenasah Tigra sampai di rumah duka, dan reporter menyampaikan bahwa saat ini jenasah Tigra disemayamkan di rumah orangtuanya sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan penghormatan Dinas Kepolisian.
Soto seger Boyolali Mbok Giyem yang dipesan Tibra via ojol sudah tersaji di hadapannya, tetapi ia belum menyentuhnya sama sekali. Tatapan matanya terpaku pada tayangan di layar kaca, yang sebelumnya enggan ia ikuti.
Tampaknya kematian Tigra benar-benar menjadi berita yang menghebohkan hari ini. Seorang lelaki muda yang meninggal saat sedang berjuang mengungkap kebenaran. Begitu banyak orang yang datang melayat dan ikut bersedih karena kehilangan.
Tibra menghela nafas, lalu berpikir, jika suatu hari nanti ia mati, berapa orang yang akan bersedih atas kematiannya? Berapa banyak orang yang akan datang melayat, berapa banyak doa yang akan dipanjatkan untuk mengantar kepergiannya, dan adakah orang yang datang ke pemakamannya?
Tibra memiliki jawaban pasti untuknya sendiri, tidak ada. Dia yakin jika hari itu datang, maka dunia dan segala isinya tidak akan menyadari bahwa dirinya menghilang, tidak lagi menjadi penghuni planet ini. Kematiannya mungkin bisa dianggap seperti kematian semut yang tidak disadari hilang atau tampak.
Tiba-tiba saja Tibra merasa hidupnya penuh dengan kesedihan dan penyesalan. Sejak usia belasan, tangannya sudah berlumuran darah dan dia merasa hal itu tidak masalah, lalu kenapa hari ini, ia merasa bahwa apa yang dilakukan selama ini adalah sebuah musibah?
Mungkin karena ia sempat bicara pada Tigra, membuat segalanya berubah dalam sudut pandangnya. Ia membunuh Tigra, tetapi secara aneh, ia juga merasa kehilangan polisi muda itu.
"Semoga, jiwamu berada dalam kedamaian abadi, Tigra...," ucap Tibra lirih. Dia berjanji akan mendoakan Tigra dan karena dia tidak tahu bagaimana caranya berdoa dengan baik, ia hanya bisa mengucapkan hal itu.
Ia menarik mangkok berisi soto dan mulai makan perlahan, tetapi yang dirasakan lidahnya tidak seenak biasanya. Tibra hanya makan beberapa suap, lalu berhenti dan lebih memilih menghisap rokok.
Tayangan reportase prosesi pemakaman Tigra sejenak berhenti, digantikan tayangan yang mengabarkan bahwa Polisi telah mengantongi identitas pelaku tabrak lari dari rekaman cctv dan dari truk yang digunakan, diperkirakan tidak lama lagi pelaku akan segera tertangkap.
Abu rokok yang dijentikkan Tibra ke asbak terjatuh ke lantai, saat Tibra berdiri dan berjalan menghampiri jendela, membuka tirai lebar dan mengamati landscape kota. Segalanya nampak baik-baik saja, dan akan selalu begitu.
Tibra melangkahkan kakinya mengambil sweater hitam dengan kapuchon, lalu keluar dari apartemennya, menuju Taman Makam Pahlawan di mana Tigra akan dimakamkan.
Berbaur di antara ratusan pelayat, Tibra berada di area pemakaman, menyaksikan doa-doa dilantunkan, bunga-bunga ditaburkan dan tembakan salvo terdengar mengiringi peti mati Tigra diturunkan ke liang kubur. Mendadak, Tibra teringat percakapannya dengan Tigra di Warung Tegal kala itu. Mereka bercakap tanpa beban, saling melempar tawa, tanpa Tigra tahu bahwa ia kehilangan nyawa karena teman barunya yang sama sekali tidak terlihat berbahaya.
Hujan rintik turun sesaat setelah pemakaman Tigra usai, nampaknya bahkan alam juga kehilangan polisi muda itu. Tibra melangkah keluar area pemakaman mengemudikan mobilnya kembali ke apartemen dan memesan layanan ojek online.
Ketika driver menjemputnya, hujan sudah turun cukup deras, dan dari ekspresi wajah driver, ia cukup mengeluh karena demi sesuap nasi ia terpaksa mengambil orderan dalam cuaca buruk seperti ini.
Dengan mantel hujan yang kuyup, driver menghampiri Tibra.
"Order atas nama Tibra?" tanyanya pada Tibra yang berdiri di lobby apartemen.
"Iya."
"Mau ke polres bang?"
"Iya."
"Tapi hujan deres Bang...nggak apa-apa hujan-hujanan? Kenapa ga pesen taksi aja?"
Bukankah sebenarnya terserah Tibra apakah dia memilih menggunakan jasa ojek meski sedang hujan deras?
"Gue lagi pengen hujan-hujanan sih," jawab Tibra enteng.
"Jadi, gimana, mau anter apa cancel aja?"
"Jadi anter Bang, jangan dicancel, nanti bintang saya turun."
"Kayaknya dingin juga ya kalau hujan-hujanan? Gue jadi mager. Gue cancel aja deh ya, tar alesannya gue yang emang mau cancel, ongkosnya gue bayar."
Mata driver ojek online membola. "Serius, Bang?"
"Iya." Tibra mengeluarkan dompet dan mengangsurkan lembaran uang.
"Bang, ini kebanyakan...."
"Nggak apa-apa, lo bawa aja."
"...." Mata driver ojek berkaca-kaca.
"Kenapa?"
"Ya Tuhan, Abang baik banget, rejeki buat anak yang lagi sakit. Makasih, Bang, makasih, moga Abang panjang umur, sehat, banyak rejeki." Driver ojek itu mengucapkan doa-doa harapan untuk Tibra tanpa henti.
"Ya udah, lo pulang sana sekarang."
"Iya Bang, siap! Makasih Bang, makasih." Driver itu masih terus mengucap terima kasih sebelum pergi dari hadapan Tibra.
Tibra bisa mendengar klakson sebuah motor matic mencicit di antara deras hujan saat driver ojek keluar dari area apartemen melewati lobby di mana Tibra duduk mencakung. Ia menghela nafas, menatap hujan yang turun semakin deras, menghembuskan udara dingin, namun Tibra merasakan sebuah perasaan hangat yang menenangkan terselip dalam hatinya.
***
5 Tahun kemudian
Cahaya matahari terasa menyilaukan di matanya saat kakinya melangkah menapaki jalanan berpaving. Ia mengangkat tangannya, berusaha melindungi matanya dari silau. Sejenak, ia berhenti lalu menatap bangunan kokoh di belakangnya, sebuah tempat yang mengurungnya selama lima tahun belakangan ini.
Lima tahun yang lalu, di tengah deras hujan, dia datang ke kantor polisi dengan taksi online, menyerahkan diri, mengaku bahwa ia menabrak Tigra dalam perjalanan menjemput barang yang perlu diantarkannya dengan truk. Ia mengaku tidak sengaja dan sempat mengecek kondisi Tigra karena merasa bersalah, namun kemudian meninggalkan Tigra karena takut orang akan datang dan melakukan tindakan anarkis padanya.
Sesuai apa yang disepakati, tidak pernah keluar sedikitpun bahwa kejadian itu adalah sebuah kejadian yang direncanakan dan diperintahkan oleh seseorang. Serangkaian penyidikan panjang yang melelahkan dan penuh tekanan dijalani Tibra, tapi jawabannya tetap sama, membuat penyidik percaya bahwa kejadian yang menewaskan Tigra memang begitu adanya.
Tidak ada lagi dugaan bahwa kecelakaan itu sebuah kejadian terencana demi kepentingan pihak tertentu. Kejadian itu kemudian diputuskan sebagai kecelakaan yang diakibatkan ketidaksengajaan, kebetulan saja, korban adalah Tigra yang tengah fokus menangai kasus besar soal kematian Harris Rajendra.
Lima tahun dihabiskan Tibra di balik jeruji besi, setelah persidangan kasusnya menuai keramaian dan kemarahan publik karena membuat Tigra yang disebut sebagai pahlawan oleh masyarakat saat itu, meninggal. Banyak caci maki dan kebencian ditujukan padanya, Tibra tahu hal itu dan dia tidak terlalu risau, dirinya sejak awal memang bukan seseorang yang dicintai banyak orang. Dia tidak pernah memiliki cinta, dan sekarang saat orang membencinya, dia juga tidak merasa kehilangan cinta.
Tinggal berdesakan dengan narapidana lain, menjalani hidup yang membosankan, hidup serba terbatas dan beberapa kali terlibat perkelahian meski ia berusaha menghindari masalah dengan sesama narapidana adalah bagaimana dia menghabiskan waktu selama lima tahun belakangan.
Hari ini ia kembali bebas, tidak lagi dibatasi dinding yang mengurung. Tibra berbalik dan melangkahkan kakinya keluar pelataran lapas, tidak ada yang perlu dikenang dari tempat yang mengurungnya itu, kecuali menambah keahliannya melukai lawan, bahkan membinasakannya.
Belum jauh Tibra berjalan, sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat berhenti, dan seorang pria dengan kemeja batik rapi keluar dari mobil itu, menghampiri Tibra.
"Welcome back, Tibra."
Tibra menghela nafas, tidak tertarik sama sekali dengan kehadiran Sultan.
"Lo punya rokok?"
"Sure." Sultan memberikan rokok pada Tibra.
"Bagaimana keadaan lo? Lima tahun di dalam sana, pasti sama sekali nggak menyenangkan."
"...."
Tibra tidak menjawab, ia sibuk menghisap rokok dan mengepulkan asapnya ke udara. Merokok di tanpa jeruji besi yang melingkupi ternyata merupakan hal yang cukup menyenangkan.
"Hazel benar-benar kejam, dia bahkan nggak ngasih lo bantuan hukum apapun."
Tibra menjetikkan rokoknya, membuat abu rokoknya gugur ke tanah. "Sebenarnya, apa yang lo inginkan dari gue?"
"Well, gue cuma pengen menyambut kebebasan lo aja sih. Gimanapun juga, kita sempat saling kenal kan?"
Tibra menatap Sultan dengan tatapan bosan. "Kalau lo udah selesai, gue cabut."
"Wait, Tibra...honestly, ada sesuatu yang pengen gue omongin. Gimana kalau kita bicarain sambil makan? Lo lagi pengen makan apa?"
"Terserah lo, gue rasa makanan apapun di luar penjara pasti lebih enak daripada makanan di penjara."
"Good, gue tahu tempat makan yang enak." Sultan mengajak Tibra masuk ke dalam mobil mewahnya. Tidak lama kemudian mobil itu berjalan menjauh dari lapas.
***
Pemandangan landscape kota dari jendela kaca lebar menyambut Tibra dan Sultan saat memasuki sebuah restoran mewah berkonsep gastronomy fine dining dengan hidangan a la Italia.
Tibra menatap Sultan sesaat setelah ia duduk.
"Lo nggak salah ngajak gue makan di sini?" tanya Tibra, merasa sangat curiga bahwa Sultan menginginkan suatu hal darinya, karena restoran mewah dan mahal bukanlah tempat yang rasanya tepat untuk mentraktirnya makan.
"What's wrong? Lo itu banyak membantu Hazel dan gue sebagai orang dekatnya Hazel merasa udah selayaknya lo diberikan suatu...apa ya sebutannya? Penghargaan...yah meski gue tahu, makan di sini nggak termasuk sebuah penghargaan berarti, tapi at least, gue berusaha menganggap lo sebagai rekan kerja."
Alis Tibra mengerut. "Gue tahu, lo menginginkan sesuatu. Lo bisa bilang to the point, biar gue bisa pulang dan tidur."
"Oh ya, apartemen lo masih? Lima tahun lo tinggal, terakhir gue denger apartemen itu udah dijual."
"Dijual? What the hell!" rutuk Tibra.
"Yah, Hazel Soemarsono bisa dengan gampang jual apartemen lo tanpa persetujuan lo."
"Sialan!"
"Tapi lo jangan khawatir, gue ada apartemen nganggur, lo bisa pakai."
"Gue bisa cari tempat tinggal sendiri."
"Oke, kalau itu mau lo, but still, kalau lo perlu tempat tinggal, lo bisa hubungin gue."
"Sekarang lo mending makan dulu aja. Masakan di sini enak, gue harap lo suka."
"Lidah gue nggak cocok sama makanan kaya gini," tolak Tibra.
"Seengaknya lo coba dulu."
"Sebenernya apa mau lo?"
"Gue pengen ngomongin ini setelah makan, tapi kayaknya lo udah capek."
"Lima tahun yang lalu Hazel ngebiarin lo dipenjara tanpa kompensasi apapun, menurut gue itu nggak adil. Hazel bukan bos yang baik buat lo kan? Gimana kalau lo kerja sama gue aja."
Tibra menaikan satu alisnya, merasa heran dengan apa yang dibicarakan Sultan.
"Langsung aja, gue nggak punya waktu lama dan kapasitas otak yang cukup buat menganalisis kata-kata lo."
Sultan menghela nafas.
"Oke, Tibra, lima tahun ini keadaannya udah banyak berubah. Bokap Hazel berhasil jadi gubernur dan tahun ini, beliau bakalan nyalonin lagi jadi gubernur. All is well tadinya, sampai tiba-tiba beberapa mini market dan pabrik kertas milik keluarga gue tiba-tiba bermasalah. Mulai dari perijinan sampai masalah pengolahan limbah dan juga keributan kecil yang mengusik bisnis gue. Awalnya gue nggak menyangka kalau keluarga Soemarsono yang melakukan hal ini, gue pikir, mereka menganggap gue teman baik Hazel. Nyatanya...bagi mereka bisnis is bisnis, sekalipun harus menjegal bisnis orang yang mereka kenal baik."
"Keadaan semakin rumit belakangan ini, gue cabut dari perusahaan Hazel dan beberapa kali, ada hal aneh yang gue temui, surat kaleng ancaman dan hal seperti itu."
"Trus, lo mau gue ngapain?"
"Gue mau lo beresin orang-orang yang ngancem keluarga gue. Gue bakalan ngasih fee lebih baik dari Hazel."
"...." Tibra terdiam, ia berhalusinasi kidung In Paradisum yang ia dengar di pemakaman Tigra, saat ini terdengar di telinganya.
Di penjara, beberapa kali ia bermimpi tentang Tigra. Orang bilang bahwa manusia yang meninggal secara tragis itu bisa saja menjadi hantu dan membayangi pelaku yang membuatnya mati. Tetapi, Tibra yakin bahwa Tigra adalah orang baik yang tidak akan menjadi hantu gentayangan sekalipun matinya mengenaskan, jadi, dia yakin bahwa mimpi-mimpinya itu hanya sekedar bunga tidur, bukan Tigra yang datang menghantuinya.
Selama di penjara, ia juga sempat berpikir bahwa ia akan mendapatkan uang dengan cara yang lebih baik, bukan lagi dengan cara menjagal manusia. Tibra sempat berencana mengubur masa lalunya, dan menjalani kehidupan baru.
Tetapi, takdir seolah tidak mengijinkannya. Begitu keluar dari tembok penjara, Sultan sudah menemuinya untuk melakukan pekerjaan lamanya. Ia bisa saja menolak, tetapi, Tibra merasa bahwa ini pertanda ia tidak akan pernah bisa menguburkan sisi gelapnya, bahkan dalam sebuah prosesi rekuiem yang suci sekalipun.
"Tibra, lo nggak mungkin masih loyal ke Hazel kan? Secara, dia ngebiarin lo di penjara gitu aja. Dia bahkan nyaris membunuh lo, karena takut lo buka mulut tentang keluarga Soemarsono saat menyerahkan diri ke polisi," ucap Sultan saat Tibra hanya diam dan justru terlihat menatap kosong, seolah jiwanya mendadak berkelana entah kemana.
"Tibra...are you oke?" Sultan melayangkan telapak tangannya ke depan wajah Tibra.
"Pertama, gue nggak pernah loyal ke siapapun. Siapa yang bayar gue paling mahal, dia yang bakalan gue ikutin. Kedua, urusan penjara itu memang kesepakatan gue dan Hazel, gue akui kalau gue kurang waspada dan melakukan tindakan ceroboh, jadi gue bertanggung jawab secara profesional atas pekerjaan gue, meski kelihatannya pekerjaan gue enggak lebih dari pekerjaan yang menyedihkan. Ketiga, gue bodo amat sama konflik lo dan Hazel, kalau lo mau jasa gue, lo bisa sebut angka berapa yang lo tawarkan dan gue akan ambil atau enggak." Tibra akhirnya bersuara, dan membuat Sultan lega, karena ia mengira Tibra kesurupan atau sejenisnya.
"Oke, i got it, so, berapa yang lo perlukan buat cari info soal perusuh di minimarket gue sekaligus memberi pelajaran dan mengulik siapa bos yang nyuruh mereka."
"Dimulai dari 100 juta, kalau gue udah dapet orangnya dan semua infonya, gue bakalan ngasih charge tambahan, apalagi kalau lo nyuruh gue buat jadi penjagal juga."
"Oke, senang bekerja sama lo. Gue akan kirim uangnya tunai. Oh ya karena apartemen lo udah ga ada, sebaiknya lo istirahat aja dulu di apartemen gue, orang gue bakalan kirim uangnya ke sana."
"Gue pengen tidur di hotel aja."
"Owh...oke, mau di hotel mana, biar sekretaris gue bookingin hotelnya," balas Sultan dengan wajah ramah meski dalam hatinya mengomel, merasa Tibra cukup kurang ajar. Ditawari apartemen, minta hotel, jika saja ia tidak memerlukan Tibra untuk menghadapi Hazel, ia tidak akan sesabar ini. Kali ini ia harus menuruti semua kemauan Tibra, ia harus membuat Tibra mau bekerja sama dengannya karena Sultan menganggap Tibra satu-satunya senjata untuk mengalahkan keluarga Soemarsono. Skill dan kemampuan Tibra dalam hal sabotase dan eliminasi sangat mumpuni, Tibra juga saksi hidup rahasia gelap keluarga Soemarsono atas lawan bisnisnya. Dengan semua hal yang Tibra miliki, Sultan memperhitungkan Tibra sebagai kartu AS dalam permainan politik dan bisnis bersama Hazel Soemarsono.