Tigra the Tiger

2456 Kata
Semenjak ditugasi Hazel untuk mengeliminasi Tigra, mau tidak mau, Tibra mengikuti Tigra kemanapun pergi, untuk mengetahui kapan waktu yang tepat ia bisa mengeksekusi Tigra tanpa menimbulkan sebuah kecurigaan. Dari pengamatan yang dilakukannya, Tigra tidak memiliki jadwal teratur. Pria itu berangkat ke kantor polisi tanpa jadwal tetap, dan pulang dalam waktu yang random. Ada beberapa waktu, di sela jam kantor, atau makan siang, Tigra mengunjungi sebuah rumah singgah. Agak mengejutkan bagi Tibra, bahwa seorang aparat seperti Tigra cukup peduli pada anak-anak jalanan dan bahkan dari informasi yang Tibra kumpulkan, Tigra juga membiayai kebutuhan rumah singgah dari kantong pribadinya. Tigra sepertinya adalah salah satu orang baik di dunia ini. Hatinya lembut dan penuh kepedulian, dedikasinya membela kebenaran tidak terbantahkan dengan tekadnya untuk membongkar kembali kasus kematian Harris Rajendra. Pernah mendengar bahwa orang baik mati muda? Yah, sepertinya Tigra juga termasuk dalam golongan orang seperti itu, dan Tibra, adalah seseorang yang akan membuat Tigra mati muda. Tibra membayangkan, saat Tigra nanti mati, apakah banyak orang akan melayat dan merasa kehilangan dia, mengingat Tigra adalah pria baik yang penuh kepedulian. Ataukah, orang akan merasa bersyukur karena Tigra akhirnya mati dan membuat kecurangan serta kebusukan mereka tidak akan pernah terungkap. Semua hal itu, bergantung pada Tibra. Ia adalah sang penentu, apakah Tigra masih hidup atau tidak esok hari. Awalnya, Tibra tidak terlalu peduli pada nyawa-nyawa yang menghilang karena tindakannya, tetapi belakangan, ia memikirkan tentang hal itu. Mungkin, ibu kandungnya memiliki feeling yang kuat, bahwa ia akan berakhir menjadi seorang pencabut nyawa, oleh karena hal itu, ibunya sudah berada dalam keputusan yang tepat, membuangnya dan membuatnya nyaris mati. Ah, tapi, kenapa pula Tuhan mengirimkan seorang manusia yang menyelamatkannya dan bahkan ia akhirnya bisa tumbuh dewasa dan berakhir menjadi maut bagi orang lain? Tibra mendecih pelan, menganggap bahwa otaknya mungkin mengalami sejumlah konslet kecil hingga banyak berpikir hal-hal yang absurd belakangan ini. Dia membuang rokok yang dihisapnya, lalu turun dari jeep, berjalan santai masuk ke sebuah warung Tegal, setelah ia melihat Tigra masuk ke sana. Kebetulan, Tigra duduk di sebuah bangku panjang, dan di sebelahnya belum diduduki oleh orang, jadi Tibra duduk di sana, di sebelah Tigra dan lelaki itu menoleh sejenak padanya, menyunggingkan senyum ramah pada Tibra lalu memesan nasi dan lauk pada penjaga warung. Tibra membalas senyuman Tigra, bertanya dalam hati, apakah Tigra masih bisa tersenyum jika ia tahu bahwa dirinya akan membuatnya berpindah dari dunia ini ke alam baka? "Makan, Bang!" Tibra mendengar Tigra berkata padanya saat piring berisi nasi dan lauk tersaji di hadapan lelaki itu. Tibra menanggapi dengan anggukan, memilih lauknya dan menerima piring yang sudah berisi nasi dan lauk yang dipilihnya lalu menyuapkan makanan ke mulutnya, sambil berpikir topik pembicaraan apa yang bisa dilontarkannya pada Tigra. "Eh, Gra, lo sekarang terkenal ya?" Seorang wanita paruh baya, yang Tibra duga sebagai pemilik Warung Tegal ini menyapa Tigra saat pikiran Tibra penuh dengan strategi untuk mendekati Tigra yang akan menjadi targetnya. "Ah terkenal apa sih, Nyak?" balas Tigra, dengan mulut penuh makanan. "Eh, iya, lo kan masuk tipi!" Wanita pemilik warung berkata antusias. "Lah emang itu Harris Rajendra dibunuh siapa sih Gra? Berat ye jadi pejabat, musuhnya banyak. Tapi jadi rakyat kecil kayak kite juga berat, tagihan banyak duit susah didapetnya!" Tigra memasang telinganya tajam. Ternyata, pemilik warung makan ini mengenali Tigra dan tahu bahwa Tigra sedang menyelidiki kasus besar. Seharusnya, menurut Tibra, tidak seharusnya Tigra makan di tempat seperti ini, karena terlalu berbahaya. Tigra dengan mudah didekati siapapun yang menginginkan lelaki itu celaka, terbukti, dirinya gampang mendekati Tigra seperti sekarang tanpa lelaki itu curiga. "Nanti, bakalan ada kabarnya kalau sudah ada penyelidikan lebih lanjut." "Kasih tahu gue napa? Kan gue biar bisa cerita sama tetangga-tetangga." Tigra tertawa kecil. Kasus sebesar ini, pada akhirnya hanya menjadi obrolan kosong bagi rakyat, pengisi waktu luang ketimbang hanya diam menangisi nasib, lebih baik menggunjingkan sebuah peristiwa kematian pejabat. "Gra, kalau lo kasih tahu gue, seminggu dah, lo makan gratis di sini!" bujuk pemilik warung, berusaha mendapatkan info dari ring satu, mengenai peristiwa hits yang sedang ramai dibicarakan. Tigra kembali tertawa. "Nanti, Nyak, juga tahu kok." "Ah pelit lo Gra. Ya nggak, Bang?" Wanita itu meminta dukungan Tibra. Tibra membalas senyum. "Abang, polisi?" tanyanya basa basi pada Tigra. "Iya." "Ah polisi belakangan lagi sibuk ngurus kasus Harris ya?" ucap Tibra sambil memakan nasi di piringnya, bertingkah seolah tidak peduli pada kasus Harris, padahal, dirinya diutus oleh musuh Harris untuk melenyapkan Tigra yang dianggap terlalu lancang ingin mencari kebenaran siapa dalang di balik kematian Harris Rajendra. "Yah, begitulah. Sebagai penegak hukum, sudah tugas kita untuk membuat hukum benar-benar tegak tanpa pandang bulu." "Dan menurut lo, kasus Harris kemarin, hukum belum tegak? Gue denger, pelaku perampokan yang disertai kekerasan yang menewaskan Harris sudah tertangkap, dan sudah disidang, sebentar lagi bakalan ada putusan sidangnya. Sesuai undang-undang mereka terancam hukuman mati." Tigra menoleh, memberikan Tibra perhatian lebih. Bagi Tigra yang seorang intel, jawaban Tigra cukup kritis. Tigra terlihat orang yang cukup berpendidikan dalam melihat berjalannya sebuah kasus, meski mungkin Tigra hanya sekedar berbincang omong kosong, tetapi Tigra menganggap Tibra cukup memberikan perhatian pada kasus Harris. "Lo percaya kasus Harris sesimpel itu?" "Well, sebenarnya enggak juga, cuma, gue orangnya males mikir. Ketimbang mikir konspirasi atau apalah itu namanya yang bikin kepala gue botak, mendingan gue tidur. Lagipula, nggak ada untungnya juga buat gue, kalau gue mikirin kasus Harris," balas Tigra sambil meminum es tehnya dengan sedotan hijau. "Gue heran deh sama lo, kenapa lo menjadi salah satu orang yang setuju kalau kematian Harris nggak sesimpel itu? Lo cari popularitas apa gimana dari kasus ini?" Tigra tertawa nampak sama sekali tidak tersinggung. "Daripada nyari popularitas, sebenernya akan lebih pas kalau lo bilang gue cari mati." Tibra sedikit terhenyak dengan ucapan Tigra. Ada yang mengatakan bahwa, orang baik yang sudah dekat ajalnya akan merasakan bahwa keberadaannya di dunia hanya tinggal sebentar, apakah Tigra juga merasakan hal itu? "Kalau lo merasa kayak gitu, kenapa lo ngelakuin hal ini? Lo bersikeras minta penyelidikan ulang kasus Harris. Lo nggak realistis. Pertama, itu bakalan mempertaruhkan reputasi lo sebagai aparat penegak hukum. Iya, kalau penyelidikan yang lo gagas itu bermuara pada suatu fakta yang sesuai dugaan lo, kalau enggak? Yang ada, lo dianggep sebagai penegak hukum pansos, ujung-ujungnya lo malah bisa kena SP atau mutasi ke divisi yang nggak nyaman." Tigra mengambil rokok dan menyalakannya. "Mau?" Tibra menawarkan rokok pada Tigra. "Thanks," balas Tigra, mengambil sebatang rokok. "Sebagai orang yang baru aja ketemu di warung Tegal, dan nggak kenal secara pribadi lo termasuknya banyak omong," ucap Tigra. Tibra menoleh. "Oh, sorry, kalau omongan gue kerasa annoying. Gue nggak maksud sih, cuma ya, cocot gue gatel aja sih ngomongin apa yang ada di otak gue selama gue denger kabar soal Harris, dan di sini, kebetulan gue ketemu lo, pihak yang berkepentingan dalam kasus Harris." Tigra tertawa. "Nggak...nggak...lo nggak annoying, gue malah ngerasa apa ya...nemuin seseorang yang bisa gue ajak ngomong tanpa harus basa basi busuk. Mungkin, kita bisa jadi temen?" "Cie...ngajak kenalan, nih?" tanya Tibra, yang membuat tawa Tigra meledak. "Najis!" seru Tigra. "Jadi nggak nih kenalannya?" Tibra bertanya. "Oh, oke. Gue Tigra." Tigra mengajak Tibra bersalaman. "Tibra." "Oit?! Tibra? Nama lo, mirip nama gue. Apa kita saudara yang tertukar?" tanya Tigra cukup takjub menemukan bahwa namanya mirip dengan seseorang yang ditemuinya tanpa sengaja di warung Tegal. "Perhaps...." "Gue seneng kenalan sama lo." "Gue masih suka sama cewek." "Bukan itu maksudnya, anjir!" Tibra tertawa, tentu saja, dia hanya bercanda, menutupi sebuah hal asing yang ada dalam hatinya. Untuk pertama dalam hidupnya, Tibra merasakan hatinya hangat dan terasa nyaman, atau, entah bagaimana mengatakannya. Dia, yang selalu sendirian, jarang bercakap, jarang tertawa, sekarang berada di sebuah Warung Tegal dan bercakap dengan seorang teman baru. Kata demi kata mengalir dan bersambut, terasa menyenangkan, tetapi, secara ironis, dirinya pula yang akan membuat teman barunya ini meninggalkan dunia ini. Apa kalian pernah mendengar, tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya? Tigra adalah seorang dengan kasih besar itu, dan Tibra adalah seorang yang bahkan tidak layak disebut sebagai sahabat. Dia terlihat tidak lebih dari seekor ular beludak yang tidak mengerti kebaikan, dia, akan membunuh seorang yang menjadi satu-satunya teman. "Tigra, apa lo akan terus mengawal kasus ini? I mean, apa lo nggak berpikir buat mundur aja? Lo nyusahin diri sendiri, seperti yang gue bilang, reputasi lo dipertaruhkan, dan bahkan bisa jadi nyawa lo. Gue tebak, lo tahu dengan siapa bakalan berhadapan, yang pasti mereka memiliki relasi kuasa dan harta yang mungkin nggak lo bayangkan. Nyawa lo, mungkin sama sekali nggak dianggap sama mereka." "Gue setuju sama lo, Tibra, tapi gue nggak akan mundur. Ada sebuah kata-kata bijak, kejahatan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena terlalu banyak orang baik yang hanya diam." "Lo merasa kalau lo bagian dari orang baik?" tanya Tibra dengan nada yang mungkin akan membuat lawan bicaranya kesal, tetapi, Tigra tidak merasa demikian. "Well, gue bukan orang baik at all, tapi, gue berusaha. Meski, namanya usaha, mungkin tidak akan selalu berhasil." "Wow, imppresive." Tibra mencebik. "Gue masih nggak ngerti, kenapa lo seberusaha ini? Lo tahu kan semua hal di negara ini udah bener-bener parah, korupsi, kolusi, nepotisme, itu udah mendarah daging, gue malah curiga jangan-jangan hal itu menjadi suatu hal genetis, udah menyatu jadi DNA orang-orang kita, sesuatu yang sulit dikoreksi. Lo bayangin aja, kayak korupsi buat kepentingan pribadi aja udah terjadi di jaman Daendels, sampai Daendels yang dapat pahitnya, dibilang pejabat Belanda paling kejam yang bikin pekerja jalan raya Anyer Panarukan pada mati nggak dikasih makan dan kerja tanpa upah, nyatanya, Daendels udah ngasih gaji dan uang konsumsi, tapi ditilep, meski ya tetep sih besaran gaji dan konsumsi yang disediakan nggak bisa dibilang memadai." "Gue tahu cerita itu, sempat ramai di twitter juga kan." "Dan lo, masih optimis kalau lo, bisa memenangkan kasus Harris? Men, lo mending mundur sekarang." Dan mungkin, nyawa lo masih bisa terselamatkan. Tibra membatin, mendadak, ia merasa Tigra bukanlah seseorang yang akan mudah untuk dia eliminasi. Biasanya, Tibra tidak bercakap terlalu akrab dengan targetnya, dan tidak pernah memiliki semacam koneksi dengan targetnya, tetapi Javier Tigra, membuat Tibra merasakan hal lain. Mungkin, karena nama mereka mirip, dan juga entah bagaimana, obrolan mereka terasa cocok, mereka bebas mengatakan apapun, tanpa membuat salah satu pihak tersinggung dan pundung. Sebagai manusia yang tidak memiliki teman, hal ini cukup menakjubkan bagi Tibra. "Katakanlah, gue idealis, atau apapun pendapat lo, tapi gue menjadi penegak hukum bukan sekedar karir atau tempat untuk dapetin gaji buat nyambung hidup, gue ingin dengan posisi gue, gue bisa membawa perubahan, meski kecil." "Kenapa lo bersikeras berpikir begitu?" "Karena dulu, gue pernah mengalami sejumlah kejadian yang tidak mengenakkan. Banyak hal, di mana keadilan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, banyak korban yang hanya bisa diam karena pelaku adalah orang yang berkuasa." "Dan ngebuat lo pengen jadi aparat keamanan dan ngerubah segala hal?" "Berlebihan kalau gue bilang segala hal, gue hanya berharap apa yang gue lakukan membawa perubahan meski kecil." "Nama lo Tigra artinya apa?" tanya Tibra menanggapi Tigra, yang membuat Tigra mengernyit heran, karena tanggapan Tibra tidak relevan dengan apa yang sedang dia bicarakan dan terdengar mengalihkan pembicaraan. "Kenapa tiba-tiba, nanya nama gue?" "Enggak, gue pikir, nama lo Tigra, itu dari tiger—macan." "Tigra, kata nyokap artinya pelopor." "Hem, pantes kelakuan lo kayak gitu. Pelopor sih ya. Tapi ya, lo cocok juga sama macan." "Kenapa gitu?" "Macan tuh satwa yang hampir punah, langka, lo gue rasa seperti itu. Sekarang, pejabat berwenang yang bener-bener loyal pada kewajiban dan tugasnya nggak banyak. Kebanyakan ya cari untung sendiri, jarang yang mendedikasikan diri bagi kepentingan bersama. Nah lo, kayak gitu, langka." "Ini pujian apa sindiran nih?" "Terserah lo nganggep gimana, gue sih cuma ngomong aja pendapat gue. Gue nggak niat muji juga, salah-salah kalau gue muji lo, lo malah naksir gue lagi." "a***y!" Tigra tergelak. "Lo lumayan juga sih kalau cocoklogi. Coba ada lagi lainnya nggak cocoklogi tentang gue sama macan." "Yeu, kecanduan bacotan gue." "Ya nggak ada salahnya sih, jarang-jarang gue punya temen yang bacotannya kayak lo." "Nah, selain langka, macan juga hewan yang udah berburu sejak usia muda. Lo, bisa dibilang baru jajaran rendah—bukannya gue menghina atau merendahkan lo, tapi dengan posisi lo sekarang, lo udah terlalu nekat buat mengulik kasus sebesar kasusnya Harris. Tapi ya gitu, lo mirip macan, meski masih hijau, tapi udah "berburu". Tibra menggerakkan jarinya membentuk tanda petik, yang menjelaskan kata berburu sebagai kata kiasan. "Macan juga hewan solitair, alias penyendiri, kayak lo, ibaratnya meski semua orang pergi ke barat lo akan pergi ke timur, jika lo yakin begitu. Macan itu pantang menyerah dan punya kemampuan bertahan yang hebat, kayak lo." "Pengetahuan lo soal macan lumayan lengkap. Lo, dokter hewan?" "Nope. Gue nonton di National Geographic Wild." "Oh...i see...." Tigra manggut-manggut. "Kalau lo, nama Tibra artinya apa?" "Kuat." "Nice name." "Nama kita berdua sama-sama keren." "Yap, i think so. Secara kebetulan, nama kita mirip, dan kita ketemu nggak sengaja. Katanya, nggak ada yang namanya kebetulan, semua sudah ditakdirkan." Tibra mengedik, lalu menghisap rokoknya, mengenyahkan rasa aneh yang menyelusup perlahan dalam hatinya. Bahkan ia belum melakukan apapun, dan Tigra, hanyalah seseorang yang diajaknya bicara agar bisa ia eliminasi dengan mudah, tetapi ia merasa kehilangan Tigra. "Gue seneng ketemu lo, ngobrol tentang banyak hal, gue berharap, kita bisa ketemu lagi suatu hari. Gue masih pengen ngobrol banyak, tapi gue ada kerjaan lain." "Gue tahu, lo pasti sangat sibuk." "Yah begitulah...." "Nyak, ini berapa makanan gue abisnya? Sekalian punya Tibra." "Eh, lo nggak usah repot." "Nggak apa-apa, ini sebagai tanda pertemanan, lain kali, lo yang traktir, oke?" "Tigra, seriously, this is no need...."Tibra mencegah Tigra membayar makanannya. "Udah, nggak apa-apa, gue juga tadi minta rokok lo. Nanti, kalau kita ketemu lagi, giliran lo yang traktir. Oke?" "...." "Thankyou, then, Tigra." Tibra berkata berat, namun Tigra tidak menyadari nada bicara Tibra yang mendadak terasa kalut. Tibra yakin, bahwa tidak akan pernah ada kisah di mana mereka akan bertemu lagi dan pertemuannya dengan Tigra seolah adalah sebuah sapaan halo, yang kemudian dengan cepat disambut oleh ucapan goodbye—selamat tinggal. "Gue cabut dulu." Tigra menepuk pundak Tibra usai dia membayar makanan pada pemilik warung. "Oke...nice to meet you, Tigra the Tiger." Tigra tertawa. "Nice to meet you too, Tibra the Hercules or i should call you Hulk? Mana yang lebih lo suka?" "Jujur aja, gue lebih suka Godzilla." "Godzilla?" tanya Tigra, heran dengan pilihan Tibra yang memilih Godzilla, monster jelek jahat itu ketimbang superhero macam Hulk dan Hercules. Tapi Tigra tidak bertanya lebih lanjut mengapa Tibra memilih Godzilla, mungkin saja, Tibra hanya ingin terlihat edgy, begitu pikirnya. "Yap, that monster." "Selera yang bagus." Tibra tertawa, bukan tawa yang menyenangkan dia rasakan. "Sampai ketemu lagi Tibra, the Godzilla." "Sampai ketemu lagi Tigra, the Tiger." Tigra keluar dari bangku panjang setelah mengucapkan salam pada pemilik warung, lalu Tibra bisa mendengar deru motor standar yang Tigra kendarai semakin lama semakin tidak terdengar, menandakan lelaki itu sudah menjauh dari tempatnya berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN