H-2 Pernikahan

1310 Kata
“Kenapa kamu menerima perjodohan ini, Zein?” lirihku tanpa menatapnya. “Karena itu kamu, Zee.” Aku menoleh ke arahnya dan dia menatapku begitu dalam. “Karena kamu wanita itu.” Aku mengerutkan keningku tidak puas mendengar jawabannya. Bilang saja karena ingin menuruti titah orang tua, sama sepertiku karena tidak bisa membantah titah kedua orang tuaku. Zein meraih tanganku, tapi aku menepisnya kasar. “Jangan pegang-pegang! Aku tidak suka,” protesku padanya. “Sebentar lagi kamu juga akan suka setiap sentuhanku.” Mataku membulat sempurna mendengar kalimat yang baru saja Zein ucapkan dan menjauhkan diri darinya. Bukannya aku tidak tahu arti ucapannya, aku sangat paham. Meresahkan sekali. Hih, mengerikan sekali. Hening. Aku tidak merespon kalimat Zein, aku tidak mengatakan apa pun, tapi dia cekikan sendiri. Zein bilang ingin lebih lama bersamaku sebelum pulang. Malam ini dia akan menginap di rumah mereka di Jakarta dan dini hari nanti melanjutkan perjalanan ke Bandung. Zein diam saja padahal tadi dia banyak bicara. Jangan tanya aku, aku membisu. Hening. Aku bahkan bisa mendengar deru napas Zein. Hingga membuat aku menoleh ke arahnya yang ternyata sedang terlelap. Wajah teduh dan damai, dia tetap tampan meski matanya tertutup sempurna. Aku tidak pernah tahu bagaimana perjalanan Zein hingga sampai ke Jakarta. Namun, satu hal yang aku tahu, perjalanan yang dia tempuh sangatlah melelahkan. “Bodoh,” gumamku. Untuk apa dia mengorbankan banyak waktunya untukku. Kita lihat saja nanti seberapa kuat dia mengarungi pernikahan tanpa cinta. *** Pingitan harusnya menyesakkan dan meninggalkan rindu yang menggebu pada pasangannya. Berbeda denganku yang tenang, aku suka masa pingitin ini. Pasalnya Zein tidak lagi menggangguku, kami tidak diizinkan berkomunikasi meski hanya mengirim pesan singkat. Aku, sih, tidak pernah mengirim pesan secara khusus untuknya. Dia yang selalu memenuhi pesan singkatku dengan banyak pesan darinya dan tidak satu pun yang aku balas. Baguslah, hah, hari yang menyenangkan tanpa Zein. Kalau perlu dipingit saja selama-lamanya. Aku melewati hariku hanya dengan makan dan tidur. Hari ini Mama Seina—mamanya Zein, mengajakku perawatan bersama ibuku. Katanya supaya lusa aku terlihat bugar, cantik dan manglingin. Karena janjiannya sore nanti, pagi ini, aku masih bermalas-malasan di kamar menonton k-drama favoritku sambil menikmati keripik kentang pedas kesukaanku. “Ya ampun anak gadis …!” gerutu Ibu ketika masuk ke dalam kamarku. “Kamarmu ini habis kena gempa apa bagaimana Vanya? Kok berantakan luar biasa.” Aku hanya meringis sambil merapikan beberapa barang yang ada di atas kasur. Ibu merapikan barang-barang yang berserakan di meja belajarku. “Aslinya Ibu malu menikahkan kamu dengan Zein. Ibu takut dia kecewa dikasih jodoh kok, ya, urakan gini nggak bisa rapi sekalipun cantik,” lanjut Ibu menggerutu. “Ibu …,” protesku merengek padanya. “Cantik saja tidak cukup, Vanya. Tidak rapi, tidak pintar memasak. Aduh, mau taruh di mana muka ibu dari Zein,” lanjutnya menjadi-jadi. “Batalkan saja pernikahannya,” jawabku enteng kemudian mendapatkan serangan dari Ibu yang memukul lenganku. Kata Ibu kenapa aku sulit sekali mendengar omongan orang tua, berbeda dengan Zein yang manut tanpa mencela. Zein yang sempurna mau denganku yang begini adanya, harusnya aku bersyukur, ujar ibu padaku. Tega sekali, aku ini anaknya loh. Biarkan saja Zein makan hati setelah mengetahui aslinya aku bagaimana. Lagi pula bukan hanya Zein, Radit juga begitu. Kesayanganku itu mau menerimaku apa adanya dulu. Ya, dulu karena sekarang kami telah menjadi dua orang asing. Radit tidak lagi menghubungiku sejak malam itu. Namun, kami masih sering bertegur sapa jika perpapasan. Aku lebih banyak menghindar darinya karena rasa sakit yang begitu mendalam. Sampai dengan hari ini, aku bahkan masih mencintainya. Sore harinya Aku dan Ibu sudah bersiap untuk pergi ke salon kecantikan. Kata Ibu tadi Tante Seina ingin menjemput kami, tapi Ibu menolak karena jarak rumah kami dengan rumah beliau yang di Jakarta cukup jauh. Belum lagi macetnya Jakarta. Alhasil kami janjian bertemu di salon saja. “Coba kita jalan sampai depan perumahan, yuk, semoga dapat driver-nya,” saran Ibu. Sejak tadi aku mencari driver online, tapi tak kunjung dapat. Ayah tidak meninggalkan mobil hari ini karena beliau sibuk mempersiapkan pekerjaan agar besok bisa cuti dengan tenang. Baru saja keluar dari halaman rumah, aku menerjap saat mendengar suara yang sangat aku kenal menyapaku dan Ibu. Dia adalah Radit, kekasihku, ah, sekarang dia mantan kekasihku. “Tante, Vanya, mau ke mana?” Ibu menjawab Radit dan mengatakan ketidakpuasannya saat memesan taksi online pada Radit sementara aku hanya diam saja. Aku tidak berani menatap matanya. Takut rinduku menggebu-gebu. “Saya antar, Tante,” usul Radit membuat aku menggeleng pada Ibu dan beliau membulatkan matanya tidak setuju denganku. “Boleh, ya?” tanya Ibu memastikan pada Radit. “Boleh, kayak sama siapa saja, Tante. Biasa yang antarin Tante ke pasar siapa, sih?” ujar Radit seraya membuka pintu bagian belakang mobil untuk Ibu—Ibu terkekeh memukul lengan Radit gemas dan Radit menutup pintu mobil begitu Ibu masuk—mengalihkan pandangannya padaku. “Kamu di depan, aku bukan supir,” ujarnya seraya mencubit hidungku. Aku menahan air mataku mendapatkan perlakuan darinya. Entah mengapa aku merasa akulah yang bersalah dalam kandasnya hubungan kami karena telah mengkhianatinya. “Pernikahan Vanya nanti datang ‘kan, Dit?” tanya Ibu setelah sedari tadi tidak berhenti mengoceh. Aku melirik ke arah Radit begitu Ibu menanyakan padanya perihal apakah dia akan datang ke acara pernikahanku dan Radit juga melakukan hal yang sama. Dia melihatku dan kembali fokus pada kemudinya. Tentu saja undangan pernikahanku sudah sampai ke tangannya dan kedua orang tuanya. “Hari ini Radit ada kerjaan di Bandung, Tante. Harusnya lusa sudah kembali lagi ke Jakarta. Radit tetap usahakan datang, meski mungkin akan terlambat,” jawabnya dan Ibu menyahut seraya berterima kasih. Mobil yang Radit kendarai sudah terparkir di depan salon kecantikan. Mama Seina menghampiri kami dan menuntun Ibu ke arah salon setelah keduanya mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada Radit. “Terima kasih, ya, Kak,” ucapku kemudian menyusul Ibu dan Mama Seina. Aku menerjap saat Radit menahan tanganku. Aku berbalik bersamaan dengan air mataku yang jatuh begitu saja. Radit mengelus lembut punggung tanganku dengan ibu jarinya— mensejajarkan wajahnya dengan wajahku—mengusap air mataku. “Calon pengantin wanitanya cantik, calon pengantin prianya juga tampan dan baik. Aku berharap pernikahanmu dengan Zein berjalan lancar.” Air mataku kembali jatuh dan Radit mengusapnya. Namun, air mataku kembali mengalir saat melihatnya mengusap cepat air mata di pipi sendiri. “Terima kasih untuk empat tahun yang indah, Vanya.” *** Malam harinya Tubuhku lebih segar dan bugar dari sebelumnya. Aku bahkan merasa tambah cantik setelah perawatan tadi. Mama Seina tidak berhenti memotretku dari berbagai sudut. Aku pun asyik melihat hasilnya yang beliau tunjukkan padaku. Aku memang secantik itu. “Sebentar lagi aku punya anak perempuan juga, tapi sayang sekali harus LDR,” lirih beliau mengadu pada ibuku. “Nanti setelah menikah, bulan madu di Jepang saja, ya, sambangi Mama dan Papa,” pinta Mama Seina dan aku hanya meringis. Bulan madu? Aku bahkan tidak memikirkannya. Mama Seina nekat mengantarku dan Ibu sampai ke rumah, sekalipun kami sempat menolak. Namun, beliau kekeh ingin mengantar bersama supirnya. Begitu mobil terparkir di depan rumahku kami saling berpamitan. “Maaf, aku nggak singgah, ya, Zalina. Anak semata wayangku pulang malam ini,” ujar Mama Seina pada Ibu yang mengangguk paham begitu juga denganku. “Oh, ya, sebentar.” Mama Seina yang semula berdiri di samping mobilnya berjalan ke arah bagian belakang mobil. Meminta aku menunggu saat membuka pintu mobil bagian belakang. Aku menerjap saat melihat sebuah buket bunga mawar putih dan merah menjadi satu membentuk hati. “Ini dari Zein, dia bising sekali sedari kemarin minta Mama mengambil pesanannya di toko sahabatnya. Ada ini juga, tapi Mama tidak tahu isinya apa,” ujar Mama Seina memberi buket dan paperbag padaku. “T—terima kasih, ya, Ma,” lirihku. “Iya, nanti Mama sampaikan pada Zein, sini foto dulu.” Aku tersenyum kaku saat Mama Seina memotretku, lalu beliau protes—memintaku tersenyum cantik. Bagaimana senyum cantik itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN