Tidak Ada Yang Pergi
“Hm, enak, Sayang,” gumamku saat menyantap menu makan malamku.
Radit tersenyum sambil mengusap lembut sudut bibirku, membersihkan sisa makanan yang menempel.
Perkenalkan, namaku Zevanya Alsavarega Putri, biasanya dipanggil Vanya. Sekarang, aku hampir menyelesaikan pendidikan S1-ku di Tokyo. Dan lelaki yang bersamaku adalah Raditya Brandon Alizky, kekasihku.
Pernah ada yang sebucin aku? Tiga tahun menjalin hubungan bersama Radit, aku bahkan rela menyusulnya ke Tokyo dan melanjutkan pendidikan di universitas yang sama agar bisa terus dekat dengannya. Tidak apa-apa sambil menyelam minum air, ‘kan? Aku sudah mendapat izin dari kedua orang tuaku setelah menunjukkan pengumuman bahwa aku diterima di Institute of Technology di Jepang. Keduanya merasa bangga, meskipun sebenarnya mereka tidak tahu maksud terselubungku.
Radit, kekasihku yang juga tetanggaku di Jakarta, lebih tepatnya pacar lima langkah. Kedua orang tua kami saling mengenal dengan baik, bahkan sangat dekat. Aku dan Radit sudah akrab sejak kecil, dengan usia kami terpaut satu tahun, tentu saja dia lebih tua dariku.
Sebagai anak tunggal, aku sangat ketergantungan pada sosok Radit yang selalu mendukungku, ngemongin, gitu, deh. Radit memiliki seorang adik laki-laki yang kini berusia delapan tahun. Kedekatan keluargaku dan keluarganya sangat erat, bahkan Tante Vero dan Om Brandon, orang tua kekasihku, memperlakukanku seperti anak perempuan mereka sendiri.
Meskipun terlihat sempurna dan membahagiakan, kami memilih untuk backstreet. Kami sadar bahwa hubungan kami tidak akan mendapat restu, tetapi aku memilih untuk tetap melabuhkan hatiku pada Radit.
Saat ponselku berdering, aku segera mengambilnya. Mataku terbelalak dan tersedak ketika membaca pesan singkat dari ibuku.
Ibu :
Pulang, Vanya! Jangan bilang kamu menjalin hubungan dengan Radit. Apa jadinya jika Ayah melihatmu duduk berdua dengannya semesra itu!
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk kemudian meneguk habis minuman yang diberikan Radit, sementara dia dengan lembut mengelus puncak kepalaku. Dia terlihat khawatir, memintaku untuk tidak terburu-buru karena kami tidak sedang dikejar apa pun.
Aku mengangguk seraya melihat sekeliling, tapi tidak menemukan keberadaan ibuku. Ayah dan ibuku berada di Jepang. Hari ini mereka rencananya akan pergi ke Shinjuku untuk bertemu dengan sahabat Ibu. Aku tidak ikut karena tadi masih harus datang ke kampus.
Aku menegak kembali hingga habis minuman yang Radit berikan padaku.
“Pelan-pelan, ya, Sayang,” lanjutnya. Lagi-lagi, aku mengangguk dan melanjutkan makanku yang sempat terjeda.
Di mana Bu Zalina berada? batinku.
Mataku masih sibuk mencari keberadaan beliau, tapi tidak berhasil menemukannya. Aku pun segera menyudahi makan malamku dan mengajak Radit untuk pulang.
***
Lusa, aku akan kembali ke Indonesia bersama Ayah dan Ibu. Sambil menunggu jadwal wisudaku, aku akan menghabiskan banyak waktu di Jakarta. Radit juga sama, dia kembali ke tanah air setelah mendapat pekerjaan di Jakarta.
Meski tidak banyak merencanakan bagaimana hubungan kami kedepannya, tapi satu hal yang pasti kami akan segera kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan di Tokyo. Radit lulus lebih dulu, bahkan dia bersedia menungguku menyelesaikan kuliah dan kami kembali bersama ke Indonesia demi menghindari hubungan jarak jauh. Sebucin itu memang kami.
Radit bekerja sama dengan sahabatnya sebagai freelance di bidang web development.
Radit begitu menyayangiku, kalau aku jangan ditanya. Aku sangat-sangat menyayanginya. Dia adalah cinta keduaku karena cinta pertamaku adalah Ayah.
Kami kembali ke apartemen menggunakan transportasi umum. Hal yang sudah biasa kami gunakan selama di sini. Oh, ya, aku juga tinggal di apartemen yang sama dengan Radit. Dia di lantai tiga sementara aku di lantai empat. Pokoknya kami pacaran versi hemat dan cermat. Ya, hemat tenaga, hemat waktu. Begitu rindu tinggal sat set bertemu tanpa harus menunggu. Tentu saja itu akalanku karena ingin selalu di dekatnya. Meski kami sedekat ini, tapi gaya pacaran kami tetap positif. Positif dalam artinya kami tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas perempuan dan lelaki. Bahkan, kami belum pernah berciuman bibir. Itu permintaanku sedari awal menjalin hubungan dengannya dan dia sangat menghargai itu. Dia menjagaku tetap utuh.
Radit membantu aku menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Sesekali memberiku kesempatan ikut bekerja paruh waktu di bidang yang sama dengannya saat dia memerlukan tenaga lebih. Sampai aku bahkan tak perlu uang bulanan dari orang tuaku, meski Ayah terus mengirimkan untukku.
Ayah dan Ibu sampai terkesima dengan perubahanku selama di Tokyo. Selain negaranya yang membuat aku harus menjadi pribadi yang taat, aku jadi terbiasa mandiri juga berkat bimbingan Radit. Banyak hal positif yang aku dapat ketika bersamanya.
Aku menghalangi Radit saat dia akan menekan lantai di mana unitku berada dan malah menekan lantai unitnya hingga membuat dia bingung. Dia tidak perlu mengantarku sampai ke depan pintu unitku, bahaya. Aku tidak tahu Ayah dan Ibu masih di luar atau sudah kembali. Bisa-bisa Ibu akan meradang melihat Radit masih bersamaku.
“Sayang,” lirihnya saat aku enggan berpisah dan masih memeluknya.
“Masih mau peluk,” gumamku manja.
Aku merasakan usapan lembutnya pada puncak kepalaku.
“Memang boleh semanja ini?”
Aku mendongak dan tersenyum manis padanya. Radit bilang besok seharian dia akan berada di kantor Tomo, sahabatnya. Dia juga meminta maaf karena tidak bisa menemuiku besok.
Tidak masalah, tentu saja dia tidak perlu menemuiku, bahaya. Aku mengangguk setuju, tapi masih enggan melepas pelukanku.
“Sudah boleh dilepas pelukannya?” Kali ini aku menggeleng, Radit mengulum senyumnya, lalu mencubit gemas hidungku.
Radit menarik tanganku setelah menekan sandi pintu unitnya. Dia menyandarkan tubuhku di balik pintu dan menatapku lekat setelah kami masuk ke dalam unitnya.
Oh, wow, aku menghalangi pandangannya dengan kedua tanganku menghindari tatapannya.
“Kenapa hari ini kamu semanja ini, hm? Aku semakin berat melepasmu,” ujarnya.
Aku menurunkan kedua tanganku, mengerutkan kening setelah mendengar kalimatnya.
“Melepasku?” Aku yang semula ceria mendorong tubuhnya hingga dia mundur beberapa langkah.
Radit mengelak—meminta maaf tidak bermaksud mengatakan hal itu. Aku kembali mendorong tubuhnya saat dia melangkah mendekatiku. Radit meminta maaf karena telah salah bicara, dia tampak panik saat melihat air mataku mengalir. Meski saling mencintai, tapi sebenarnya hubungan kami ini rumit.
“Jangan semudah itu melepas aku, Kak. Aku nggak mau kamu pergi.”
“Tidak ada yang pergi, Sayang. Maafkan aku.” Radit menarikku masuk ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Sayang. Sungguh, aku tidak bermaksud seperti itu.”
Aku merasakan kecupan berkali-kali di puncak kepalaku. Air mataku tak kunjung berhenti mengalir. Sadar aku masih menangis, Radit mengurai pelukannya, mengecup keningku dan mengusap air mataku.
Radit tidak ingin aku pergi meninggalkannya jika suasana hatiku masih belum membaik, untuk itu dia memintaku untuk tetap bersamanya.
Aku menggeleng cepat dan kembali mendorong tubuhnya pelan. “Vanya pulang sekarang saja, Kak,” lirihku.
Radit hanya diam, sebelum meninggalkannya aku mengusap lembut pipinya. Saat aku berbalik Radit menahanku dan memelukku dari arah belakang.
“Setelah kembali ke Indonesia, aku akan menemui orangtuamu dan menjelaskan hubungan kita.”
Tak segampang itu.
Lagi-lagi air mataku jatuh, tapi aku cepat mengusapnya dan mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
***
Sejak masuk ke dalam unitku, tatapan Ibu seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku terus menghindari tatapannya.
Setelah membersihkan diri, aku ikut bergabung bersama Ayah dan Ibu yang sedang mengemasi barang bawaan mereka. Aku pun ikut merapikan barang-barangku yang akan aku bawa ke Jakarta.
Aku mendekat ke arah Ayah, menyandarkan kepalaku di bahunya saat beliau sedang sibuk dengan ponselnya. Ayah melepas kacamatanya dan meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu merangkulku.
Ponselku bergetar terputus-putus menandakan ada pesan singkat masuk berturut-turut.
Kesayangan :
Maafkan kesalahanku tadi, Sayang. Bagaimana sekarang perasaan kamu, lebih baik?
Kamu sudah packing, Sayang?
Besok aku bawakan beberapa oleh-oleh untuk kamu bawa ke Jakarta. Kamu tidak perlu beli lagi.
Sampai jumpa lusa, Sayang. Love you, Vanya.
Seutas senyumku terbit, membaca pesan dari Radit. Sesaat kemudian senyumku memudar dan mendongak saat Ayah memanggilku.
Ayah memberikan ponselnya, memperlihatkan foto seorang lelaki yang sedang tersenyum—memintaku menilai ketampanannya.
Aku mengerutkan keningku, dengan polosnya aku memikirkan angka yang tepat untuknya.
“Delapan,” jawabku membuat Ayah dan Ibu menyemburkan tawanya.
Memang apa yang salah dengan penilaianku? Angka delapan itu sudah bagus. Jujur lelaki itu memang tampan, tapi maaf angka sepuluh sudah ada pemiliknya tentu saja kekasihku, Radit. Aku mengulum senyumku saat isi kepalaku dipenuhi oleh wajah tampan kekasihku.
“Tidak sepuluh saja?” tanya Ayah.
Ayah memperkenalkan lelaki yang berada di dalam foto itu—namanya Zein, anak Tante Seina. Dia lelaki yang akan selalu aku lihat malam hari saat tidur dan pagi hari saat aku membuka mata, ujar Ayah, membuat aku menjauh dari beliau seraya mengerutkan keningku—tidak paham dengan maksud Ayah.
“Dia lelaki yang akan Ayah jodohkan padamu, Vanya.”
“Dijodohkan?” tanyaku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
Aku cepat menolak dan refleks mengatakan bahwa aku memiliki kekasih.
Baik Ayah dan Ibu keduanya membulatkan mata dengan sempurna.
“Vanya menjalin hubungan dengan Radit, Yah,” jawabku lantang.
Ayah bersikap acuh, meraih ponsel dan kacamatanya. Beliau bangkit dari duduknya seraya berkata, “Kalau yang kamu maksud itu adalah Raditya Brandon Alizky, putusin dia.”
“Ayah.”
“Ayah tidak akan merestui kalian.”