“Saya terima nikah dan kawinnya Zevanya Alsavarega Putri binti Rega Negara dengan mas kawin tersebut tunai.”
Sah!
Air mataku mengalir mendengar suara lantang Zein dan wajah tegasnya mengucap akad melalui sebuah layar. Serta sahutan saksi pernikahan diikuti tetamu yang juga menyahut sah pernikahanku dan Zein.
Ini bukan air mata bahagia, aku sama sekali tidak bahagia. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Ibu yang sudah berlinangan air mata.
“Percayalah, Vanya. Ayah dan Ibu tidak sembarangan memilih suami untukmu,” ucap Ibu seolah tahu kegundahanku.
Aku terus menangis, aku menjadi serapuh ini. Sungguh, aku tidak bisa menapikkan hatiku yang masih menyerukan nama yang sama.
Perias yang membantu merapikan riasan di wajahku terheran-heran, kenapa aku menangis sampai sebegitunya. Mbak Puji—periasku mengelus punggung belakangku dengan lembut menenangkanku.
Aku melangkah keluar dari ruangan berjalan untuk menemui lelaki yang kini menjadi suamiku.
Begitu melihat Zein di ujung sana kakiku terasa berat untuk melangkah. Zein tersenyum sumringah melihatku, perlahan senyuman itu memudar karena aku tak kunjung berjalan kepadanya.
“Vanya,” tegur Ibu.
Zein kembali tersenyum melangkah mendekatiku—mengulurkan tangannya begitu tepat di hadapanku. Dengan ragu aku meraih tangannya.
“Manja sekali maunya dijemput, hm?” ujarnya tersenyum, lalu mencium punggung tanganku.
Aku menerjap saat suara riuh tetamu menggoda kami, malu. Aku menoleh ke arah Ibu yang memukul lenganku pelan.
“Dasar manja,” seru Ibu ikut tersenyum.
Zein menuntunku berjalan ke meja akad melanjutkan prosesi berikutnya. Ku lihat Ayah sudah tersenyum bahagia menyambutku. Ayah tetap tersenyum hingga akhir, aku bernapas lega karena suasana hari ini tidak sesuram mimpiku waktu itu.
Aku mencium punggung tangan Zein dan dia mengecup keningku.
Semua wajah berseri-seri memandangi kami.
Aku lihat Siska di kursi sana menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku sudah menceritakan semuanya pada Siska dan dia mendukung hubunganku dengan Zein.
“Aku rasa Mas Zein adalah titik terang itu Vanya. Just follow him, dia yang akan membawa kamu keluar lagi lingkaran kegundahanmu selama ini bersama Kak Radit.” Kalimat yang Siska ucapan hari itu masih melekat dalam ingatanku.
“Zee.” Aku tersentak menoleh ke arah Zein. Dia tersenyum menatapku begitu dalam—meraih sebelah tanganku. “Kamu cantik, Zee,” pujinya padaku.
Aku menarik tanganku hingga terlepas darinya. Tidak perlu diingatkan, aku memang cantik sedari dulu.
***
Ibu dan Mama Seina tertawa lepas saat aku bernegosiasi hendak ikut ke kamar Ibu untuk mengganti baju dengan alasan ragu sekamar dengan Zein.
Acara akad sudah selesai, semua berjalan lancar. Malam nanti resepsi dimulai pukul tujuh hingga sembilan malam. Untuk itu, aku diminta beristirahat.
“Mama sudah ingatkan Zein untuk tidak mencuri kesempatan. Setelah resepsi nanti Mama tidak jamin.” Kini keduanya kembali tertawa.
Zein menggenggam tanganku berpamitan pada Ibu dan Mama Seina.
“Kamu hanya akan terus digoda Ibu dan Mama kalau banyak bernegosiasi. Aku tidak akan menyentuhmu—”
Zein berhenti saat aku menahan langkahku—mengangkat sebelah tanganku memperlihatkan tangannya yang menggenggam tanganku.
“Kamu sedang menyentuhku, lepas kalau begitu,” pintaku.
Zein mengembuskan napas panjang. Menarikku dan mendorong tubuhku ke arah pintu kamar.
“Bukan sentuhan itu yang aku maksud, Sayang,” ucapnya dengan nada lirih yang menggoda tepat di telingaku. Dia menggesekkan wajahnya di telingaku—lalu menautkan kening dan hidung kami bersama. “Sentuhan yang memabukkan. Atau kamu memang ingin merasakan sentuhan itu sekarang juga?”
Aku menggeleng hingga hidung kami saling menggesek.
“Sayang sekali tidak mau. Kalau begitu masuk dan istirahatlah,” titahnya dan aku mengangguk.
Dengan jarak sedekat ini, aku tidak berani melawan Zein. Aku takut dia menyerangku seperti apa yang dia lakukan di villa malam itu.
Zein membuka pintu kamar—menganggukkan kepalanya mengisyaratkan padaku untuk masuk.
Ini bukan kamar yang aku gunakan semalam, tapi aku lihat koperku sudah ada di sini.
“Kamu sudah terima pemberianku dari Mama ‘kan?” tanya Zein dan aku berbalik menghadapnya—mengangguk. “Kamu sudah lihat isi paperbag-nya?”
“Belum.”
Aku mendengar Zein mengembuskan napas kasar, tapi tangannya terulur mengacak rambutku lalu berpamitan untuk membersihkan diri.
“Apa kita harus satu kamar?” tanyaku saat Zein hendak melangkah masuk ke kamar mandi.
Dia menoleh ke arahku seraya berkata, “harus, kita juga harus berada di bawah selimut yang sama.”
Aku menerjap dan segera berbalik menyembunyikan rasa takutku.
***
Aku merasakan sesuatu mengusik tidurku. Seolah ada yang menyentuh hidungku. Aku meraih merasakan sebuah tangan dan mendekapnya dalam pelukanku.
Sebentar, tangan? Tangan siapa?
Aku membuka mata dan mendapati wajah Zein tepat di hadapanku. Dia terlihat salah tingkah.
“Z-Zee, t-tanganku,” lirihnya.
“Ah …!” Aku berteriak dan mundur hingga aku akan terjatuh ke lantai, kalau saja Zein tidak cepat menangkapku.
“Hati-hati, Zee.”
Aku merutuki diriku yang membawa tangan Zein tepat di dadaku.
“Zein! Pergi!” amukku.
“Kamu yang menarik tanganku, Zee,” belanya dan aku melemparinya dengan semua bantal yang ada di kasur mengusirnya.
Jujur tadi aku sangat takut, tapi entah kenapa aku malah tertidur pulas dengan posisi melintang di ujung ranjang.
“Aku tidak akan minta maaf kalau bukan salahku. Aku hanya ingin membangunkanmu karena sebentar lagi perias akan datang, tapi kamu malah menarik tanganku—”
“Diam! Pergi!” amukku lagi.
“Iya … iya … aku bersiap di kamar Mama. Setelahnya aku akan menjemputmu di sini.”
Aku tidak mau mendengar Zein lagi. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku.
“Sayang, aku jemput kamu lagi nanti.”
Sayang! Sayang!
***
“Ya ampun cantik sekali, saya izin foto, ya, Mbak,” izin Mbak Puji padaku mengambil beberapa tangkapan foto diriku.
Aku sudah bersiap dengan riasan dan gaun yang melekat di tubuhku. Ini gaun pilihan Zein, gaunnya simple, tapi tetap elegan. Sangat pas di tubuh kecilku. Gaun dengan lengan panjang, tapi tetap terlihat seksi karena lekukan tubuhku.
Mbak Puji membuka pintu kamar dan Zein masuk. Dia terlihat berbeda malam ini, tapi aku tidak berani melihat matanya lebih lama karena insiden tadi sore.
Seperti biasa Zein menatapku dengan tatapan memuja, senyumnya tercetak manis di wajahnya.
“Cantiknya, istri siapa, sih?” tanyanya dan aku mengabaikannya, sementara Mbak Puji mengulum senyum.
***
Aku berjalan beriringan dengan Zein menuju pelaminan. Para tetamu sudah berkumpul memperhatikan setiap langkah kami memancarkan aura bahagia.
Kali ini tamu yang datang jauh lebih ramai dari akad pagi tadi.
Dari sekian banyak tamu entah kenapa mataku langsung tertuju pada Tante Vero—Mama Radit. Beliau melambaikan tangan ke arahku dan aku membalasnya dengan senyuman. Aku tidak melihat Radit, aku juga tidak tahu apakah dia benar akan datang atau tidak.
Resepsi hanya dua jam, tapi terasa begitu lama bagiku. Aku sama sekali tidak menikmati acara ini. Padahal ballroom ini sangat megah dengan dekorasi pilihanku. Aku menunjuk asal hari itu, ternyata sebagus ini.
Satu per satu tetamu berpamitan pada kami dan mendoakan hal baik untukku dan juga Zein.
“Kamu lelah, Zee?” tanya Zein seraya memberiku air mineral dan aku menerimanya.
“Iya, aku lelah.”
“Ayo, kita kembali ke kamar dan beristirahat,” ajaknya padaku.
“E—eh, t-tamunya?” tanyaku karena ada keluarga yang masih berkumpul.
Zein bilang ini acara ramah tamah keluarga saja dan sudah jadi tradisi mereka akan berkumpul hingga larut malam karena sebagian menginap di hotel ini.
“Tunggu saja kalau begitu, tapi aku tidak akan menghampiri mereka satu persatu,” pintaku dan Zein mengangguk setuju.
Zein meraih tanganku membuat aku menoleh ke arahnya.
“Terima kasih, Zee. Terima kasih telah menerima pernikahan ini.”
“Terpaksa,” ketusku.
***
Acara sudah benar-benar selesai, aku dan Zein sudah kembali ke kamar. Aku membersihkan tubuhku lebih dahulu. Lalu, Zein setelahku. Aku sudah memindahkan bantal ke sofa dan merebahkan tubuhku di sofa. Ya, aku akan tidur di sofa malam ini.
Deringan dari ponselku mengalihkan perhatianku. Aku mencari ponselku yang terus berdering di tasku—menyernyitkan dahi begitu melihat nomor yang sangat jarang menghubungi, tapi kini menghubungi larut malam begini.
“Halo,” sapaku lebih dahulu.
“Vanya, tolong … tolong, Tante, Vanya,” pinta Tante Vero menyapa pendengaranku. “Radit kecelakaan, Vanya.”
Darahku berdesir mendengar kabar yang baru saja aku dengar. Bagai tersambar petir aku bahkan bisa mendengar lirih suara Radit memanggil namaku meski tidak begitu jelas.
“Tante di mana?”
“Rumah sakit Harapan Nusa. Tante tidak paham, tapi Radit terus memanggil kamu.”
Aku tidak banyak basa-basi dan memutuskan sambungan telepon setelah mengatakan kalau aku akan datang ke rumah sakit.
“Zein.” Aku menggedor pintu kamar mandi, tapi tak kunjung dibuka dan aku gegas kembali ke kamar meraih tas juga jaketku.
Aku menerjap saat Zein keluar dari kamar mandi dalam keadaan top-less memamerkan tubuh atletisnya dan rambutnya yang basah. Aku menerjap saat dia melangkah maju mendekatiku, sementara aku mundur perlahan.
“Ada apa, Zee? Mau ke mana?”
“Aku mau menemui Kak Radit.” Aku meneruskan langkahku, tapi Zein menahanku.
“Aku tidak izinkan kamu menemuinya, Zee.”
“Aku tidak peduli.” Aku menghempas keras tangannya hingga terlepas.
“Aku tidak mengizinkanmu. Kamu pasti dengar dan aku tidak akan mengulanginya,” tegasnya.
Zein berbalik meninggalkanku dan aku menahannya. Bersimpuh dan memohon di hadapannya. Aku menceritakan bahwa Radit mengalami kecelakaan dan terus memanggil namaku. Aku rela bersujud memohon izinnya, tapi dia menahanku dan mengangkat tubuhku.
“Jangan begini, Zee.”
“Tolong aku, Zein,” lirihku dalam isakan tangis.
Zein menggeleng, aku meraih pisau di antara buah di atas meja dan mengarahkan ke pergelangan tanganku mengancamnya.
“Izinkan aku, Zein. Aku hampir mati memikirkannya. Atau sebaiknya memang aku mati saja?”