Rencana Terselubung

1234 Kata
Air mataku mengalir mendengar kalimat akad dilafazkan dengan satu tarikan napas oleh dia yang tidak aku harapkan. Sah! “Tidak sah …!” teriakku. Semua yang ada di ruangan ini terdiam dan semua pandangan tertuju padaku. “Vanya!” bentak Ibu tak terima. “Tolong, Ibu … Ayah … Vanya tidak mau menikah dengan Zein,” mohonku pada kedua orang tuaku. Ibu memanggil Ayah yang tengah menyentuh dadanya dan napasnya terengah-engah. “Ayah,” panikku mendekati Ayah yang sudah kejang dan ibu memakiku. “Puas kamu, Vanya! Puas!” Aku kembali memanggil Ayah— menggoyangkan tubuh beliau yang sudah membeku. “Ayah.” “Ayah.” Aku merasakan seseorang mengusap pelipisku dan suara lembut menyapaku. “Vanya, Vanya bangun. Ayah di sini, Nak.” Aku tersentak membuka mataku dan mendapati Ayah terlihat bugar—duduk di pinggir ranjangku. Melihat beliau tersenyum, aku langsung bangkit dan memeluk beliau. Ayah terlihat bingung, tapi tetap memeluk juga menenangkanku. “Mimpi buruk, hm?” tanya Ayah dan aku mengangguk. Aku bermimpi, tapi terasa begitu nyata. Bahkan ketika terbangun, aku dalam keadaan menangis. “Ayo, shalat sekarang. Kamu hampir melewatkan subuh.” Aku melepas pelukanku menyentuh pipi Ayah dan beliau tersenyum. “Hari ini ikut Ayah ke kantor. Zein berhasil membuat kerjasama Infinita Teknologi dengan Tama Grup cab. Bandung. Mereka bersedia memakai jasa kita untuk membantu sistem kerja mereka.” Usaha Zein tidak main-main, dia benar-benar membantu Ayah memulihkan perusahaan. *** Seperti yang Ayah sampaikan pagi ini aku ikut bersama beliau ke kantor. Ayah memperkenalkanku pada staf di kantor. Beliau mengatakan kalau ke depannya aku yang akan mengambil alih jabatannya. “Tidak kaget ‘kan diperkenalkan sebagai pengganti Ayah?” Aku menggeleng—merangkul lengan Ayah menuju ruangannya. “Sebelum acara pernikahan, setiap hari wajib ikut Ayah ke kantor, bantu Ayah,” ujar Ayah. “Setelah menikah pun Vanya akan tetap ke kantor kok.” “Harus atas persetujuan Zein, dong. Seingin apa pun Ayah kamu menggantikan Ayah di kantor, kalau suamimu tidak Ridho—” Aku cepat memangkas kalimat Ayah, meminta beliau tidak perlu berpikir jauh ke sana. Zein pernah memintaku untuk kembali lebih cepat dan membantu Ayah. Jangan sok mengatur hingga mengekangku setelah menikah nanti. Ayah memperkenalkan skema pekerjaan padaku. Beliau juga meminta sekretarisnya membantuku jika aku kesulitan memahami pekerjaan. Suara ketukan dari pintu ruangan mengintrupsi pekerjaanku dan memandangi Ayah yang sudah menyahut. Sinta, sekretaris Ayah mengatakan bahwa Zein sudah tiba dan sedang menunggu di ruang tunggu sendirian. Zein datang lebih dahulu karena direkturnya masih ada pertemuan di tempat lain dan akan langsung ke sini bersama sekretarisnya. Ayah tampak risau dan meminta Sinta memanggil Zein masuk ke ruangannya. Masih tidak puas Ayah juga memintaku menjemput Zein. Sebelumnya aku menolak, tapi akhirnya menurut. Kulihat Sinta berjalan ke arah ruang tunggu yang merupakan ruang tamu di lantai dua ini—lantai khusus direktur. Aku menghentikan langkahku menyaksikan interaksi keduanya. Sinta tampak berbicara dengan Zein. Entah kenapa sikap Sinta sedikit berbeda. Dia terlihat begitu sumringah. Percaya deh, kita bisa melihat gelagat seseorang yang biasa saja dengan yang sedang mencari perhatian, dua hal itu jelas kontras berbeda. Sinta mempersilakan Zein jalan lebih dahulu dan menyusul berjalan cepat di samping Zein. “Sayang.” Aku menerjap saat Zein memanggilku dengan sebutan Sayang—melirik Sinta yang juga tampak kaget. “Ternyata hari ini kamu ikut ke kantor,” ujarnya ketika mendekat dan mengelus lembut puncak kepalaku. “I—iya,” lirihku kembali melirik Sinta yang tengah melihat tangan Zein yang meraihku. Zein meraih tanganku—menggandengku terus ke ruangan kerja Ayah. Semula aku menolak, tapi dia kekeh tak ingin melepas genggamannya. Kami jalan mendahului Sinta yang melambat di belakang. Tepat saat di depan pintu ruangan Ayah, Zein menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya—menunduk menatapku. “M—mau apa kamu?” tanyaku. “Melihatmu sedekat ini,” jawabnya apa adanya. “Sinta harus tahu kalau aku sudah ada yang punya. Sekalipun atasannya yang menjadi milikku ini belum dapat menerimaku. Aku tetap akan menunggu.” Aku melirik ke arah Sinta yang tampak terkejut dan salah tingkah karena tertangkap olehku dia tengah menatap kami saat ini. Aku kembali menatap Zein dan dia mengedipkan sebelah matanya, lalu membuka pintu ruangan Ayah mempersilakanku masuk lebih dahulu. *** Kerjasama berhasil terjalin, Ayah tampak bahagia. Beliau merasa bangga pada Zein, sedangkan yang dipuji terus menolak menerima pujian—mengatakan bahwa kerjasama terjalin murni karena jam terbang teknis pekerjaan perusahaan sendiri. Setelah meeting tadi, Zein tidak langsung kembali ke kantornya dan menghabiskan waktu istirahatnya dengan makan siang bersama aku dan Ayah. Aku tidak banyak bicara, selain karena aku belum paham seluk beluk pekerjaan, aku memang malas berbicara dengan Zein. Seorang pelayan mendekat menanyakan menu yang ingin kami pesan. Ayah dengan cepat menyebutkan menu pilihannya dan aku masih sibuk mencari menu yang aku sukai barangkali ada di sini. “Iga bakar dan nasi daun jeruk satu,” ujar Zein. Aku menoleh ke arah Zein dan dia menaikkan alisnya. “Maaf, aku kira kamu mau yang itu atau ganti?” tanyanya seolah tahu keresahanku akan sikapnya. “Yang itu saja, Vanya memang suka menu itu,” potong Ayah. Aku mengangguk kemudian Zein menyebutkan pilihan menunya yang juga adalah menu yang aku sukai. Sepanjang menikmati makan siang, Zein memanjakanku dengan membagi potongan empal goreng miliknya padaku. Rasanya enak, aku suka. Zein menawarkan padaku untuk menambah menu lauk, tapi aku menolak. Zein dan Ayah berlibat pembicaraan yang sedikit serius perihal pekerjaan. Susah payah aku membuka botol mineral, aku menerjap saat Zein meraih botol dari tanganku dan membukanya, lalu memberikan kembaliku padahal dia tengah berbicara pada Ayah. *** Dua minggu kemudian Seminggu lagi pesta pernikahanku akan digelar. Undangan sudah dibagikan. Persiapan sudah sembilan puluh delapan persen. Akan ada pula prosesi tradisi menyambut datangnya hari sakral itu. Kami juga akan melewati pingitan. Benar-benar seperti pernikahan pada umumnya. “Mama dan Ibu masih mengizinkan aku menemuimu,” ujar Zein. Saat ini kami berada di dalam mobil, tepatnya di perjalanan pulang dari kantor menuju rumah. Belakangan ini, aku ikut Ayah dan pulang bersama, tapi hari ini Zein meminta izin ingin menjemputku. Tentu saja Ayahku mengizinkan. Aku mengabaikan kalimatnya. Oh, ya, tidak lupa ‘kan? Kalau aku tinggal di Jakarta, sementara Zein bekerja di Bandung. Saat ingin bertemu denganku dia rela menempuh perjalanan Jakarta Bandung. “Besok sudah tidak boleh bertemu lagi dan aku akan berada di Bandung sampai dengan hari H nanti,” lanjutnya. “Selamanya tidak usah bertemu kalau perlu,” gumamku. Zein menghentikan mobil di taman dekat perumahanku. Dia memiringkan duduknya dan meraih tanganku hingga aku menoleh ke arahnya. Berusaha menarik tanganku, tapi dia menahannya. “Kamu bersedia menerima pernikahan kita ‘kan, Zee?” tanyanya membuat aku menyernyitkan dahiku. Aku ingin sekali menolaknya, menjawab kalau aku tidak bersedia. Namun, mimpiku hari itu terus terbayang. Aku tidak ingin Ayah kecewa padaku. “Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu, Zein.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Bukannya marah atau kecewa Zein tersenyum seraya menggangguk. Katanya, tidak akan semudah itu bisa mencintainya itu hal yang wajar. Bukan hanya karena perjodohan ini, tapi juga karena dihatiku masih ada yang bertahta. Sepengertian itu Zein padaku, tapi tidak mengurangi rasa benciku padanya. Aku akan mengikuti jalannya dan bertindak sesuai keinginanku. Aku akan membuat pernikahan yang diinginkannya menjadi neraka bagi dirinya. Sakit yang aku rasakan, dia juga harus merasakannya. Tidak akan ada pernikahan indah nan harmonis, tidak akan pernah ada. Aku pastikan dia akan menyerah dan menceraikanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN