Si Kejam Yang Manja

1134 Kata
Mata safir terbuka lebar bersama cahaya matahari yang menyinari wajahnya dari sela-sela kandang kuda yang sudah tampak tua. Aurora kembali menegakkan tubuh sembari menggeliat, demi meregangkan otot-otot yang terasa sudah begitu kaku dan sakit. Namun, ia tidak boleh mengeluh karena targetnya adalah hari ini pekerjaan yang seharusnya diselesaikan 4 hari ke depan sudah bisa ia tuntaskan. "Setelah ini, aku akan membakar gundukan sampah itu. Kemudian, membersihkan bagian samping yang tidak seberapa berat. Kalau sudah selesai semua, aku bisa segera pulang. Lagipula, mbak Ratih janji akan menjemputku hari ini." Aurora langsung berdiri dan melaksanakan semua rencananya. Sementara Hans, masih tertidur pulas bersama kemarahannya. Sekitar pukul 14.30 WIB, Aurora sedah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia pun berkemas dan membersihkan diri agar ketika Ratih datang nanti, ia bisa langsung menuju ke kediaman laki-laki angkuh tersebut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Apa yang dipikirkan dan dibayangkan Aurora terjadi. Ketika ia sudah rapi dan bersih, Ratih menjemput, sembari membawakan makanan agar Aurora kuat melakukan perjalanan menuju ke kediaman Hans. "Mbak, makasih ya. Sudah repot-repot menjemputku, membawa makanan lagi," ucap Aurora dengan suara yang samar-samar terdengar. Tampaknya ia begitu kelelahan. "Sama-sama, Ara. Saya harap, hubungan kamu dan tuan Hans semakin membaik agar dia tidak melakukan hal seperti ini lagi kepadamu. Kasihan! Kamu masih terlalu muda dan saya yakin kamu tidak pernah melakukan pekerjaan seperti ini sebelumnya." Aurora tersenyum, "Tapi ini sepadan dengan apa yang aku dapatkan, Mbak. Tuan Hans sudah bersedia untuk mengobati mama dan memberikan modal untuk papa, supaya bisa kembali bangkit untuk membuka usaha baru. Dengan begitu, Hazel bisa kembali bersekolah dan kehidupan kami akan kembali membaik." "Lalu, bagaimana kalau kamu tidak bisa kembali lagi ke pangkuan keluargamu?" tanya mbak Ratih sambil membuka botol air mineral dan memberikannya kepada Aurora. Aurora menunduk, lalu ia tersenyum kembali, "Tidak apa, Mbak. Asalkan Hazel bisa kembali sekolah dan sukses, aku rela. Semoga saja, dia tidak melupakanku." Aurora menatap langit yang luas dan masih terang benderang. "Kamu benar-benar kakak dan anak yang baik, Ara. Saya tidak tahu apa urusan dan hubungannya tuan Hans dengan keluarga kamu. Tapi yang jelas, kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik." "Makasih ya, Mbak. Berkat Mbak, aku tidak merasa sendiri." "Sama-sama, Ara. Saya hanya berusaha untuk mewujudkan keinginan ibu dan almarhum nyonya besar. Mereka ingin, semua orang yang bekerja di rumah itu merasa nyaman. Meskipun itu tidak mungkin." "Harusnya Mbak pergi kalau tidak nyaman." "Tidak bisa. Saya banyak berhutang. Mulai dari janji hingga uang. Hanya dengan pengabdianlah saya bisa membayarnya. Lagipula, kehidupan di luar sana juga sangat kejam. Saya hampir mati putus asa karenanya." Ara menatap mbak Ratih dalam-dalam. Ia ingin sekali bertanya, tapi lebih memilih untuk diam dan menahan diri. Aurora yakin, jika waktunya tiba nanti, ia akan mendengarkan setiap keluh kesah dari bibir mbak Ratih. "Sudah siap? Sebaiknya kita bergegas! Udara akhir-akhir ini tidak menentu," kata Ratih sambil menatap langit yang tiba-tiba menghitam. "Ayo, Mbak!" ajak Aurora yang langsung berdiri dan menghabiskan potongan terakhir dari rotinya. *** Hari mulai gelap, Ratih dan Ara pun tiba di pagar belakang kediaman tuan Hans. Saat itu, Ratih meminta Ara untuk segera membersihkan diri. Waktu makan malam tiba. Hans tidak ingin keluar dari kamarnya. Saat itu, mbak Ratih memutuskan untuk mengirim Aurora ke dalam kamar Hans dan melayaninya. Tanpa menolak dan takut, Aurora mengiyakan perintah tersebut. "Ganti pakaianmu, Ara! Ini gunakan!" pinta Ratih sambil meletakkan pakaian khusus pramusaji yang tergolong seksi menurut Aurora. "Mbak, ini seksi banget. Saya kan lumayan tinggi, jadi rok ini sangat dekat dengan pangkal paha." Ara membuka pakaian tersebut dan mengamatinya. "Lusa, kamu bisa menjahit sendiri pakaian dengan ukuranmu. Untuk sementara waktu, kamu kenakan saja seragam itu atau tuan Hans tidak akan makan sebiji nasi pun," jelas Ratih dan mampu membungkam bibir Aurora. Tidak ingin beradu argumentasi pada orang yang sudah sangat membantu dan baik kepadanya, Aurora langsung mengenakan pakaian tersebut dan menatap dirinya di depan cermin. Sebenarnya, Aurora sudah biasa mengenakan pakaian terbuka ketika sedang show. Dia adalah seorang ballerina yang handal dan sering tampil memukau diberbagai acara. Jadi, sama sekali tidak sulit, apalagi canggung baginya. Hanya saja, kali ini ia akan menemui seseorang yang sudah sangat jahat kepadanya dan itu membuat Aurora menjadi malas sekaligus cemas. Setelah 15 menit, "Aku sudah siap, Mbak." Ara memperlihatkan dirinya yang sudah mengenakan seragam tersebut. "Rambutmu harus digulung ke atas, Ara! Jangan sampai bagian itu terjatuh ke dalam makanan! Tuan muda akan sangat marah." 'Ya ampun, repot sekali. Seharusnya panggil dia yang mulia raja angker, bukan tuan muda,' katanya di dalam hati dan entah mengapa kali ini, Aurora mulai menggerutu. "Ara?" panggil mbak Ratih, tapi Ara masih berdiam diri. "Ara!" panggilnya dengan nada yang lebih tinggi. "I-iya, Mbak?" "Jangan melamun! Atau tuan muda akan memasukkanmu ke dalam gudang yang jauh di belakang. Di sana, tikusnya ramai sekali. Sangat menjijikkan," beber Ratih yang tidak bermaksud untuk menakuti. "Hiii ... ." Aurora merinding setengah mati. "Iya, Mbak." "Kalau sudah, mari kita ke dapur!" ajaknya dan Aurora mengangguk. "Perhatikan ini ya! Mana saja menu yang saya letakkan terlebih dahulu di atas meja dorong, itulah yang harus kamu turunkan terlebih dahulu di atas meja makan tuan Hans. Paham?" "Ya," jawab Aurora yang memang cepat dalam menangkap informasi. "Pergilah! Semoga sukses." "Emh," sahut Aurora sembari mengangguk. Aurora mengetuk, setelah diizinkan masuk, ia pun mulai berdebar-debar. Rasa takut hampir membunuhnya, namun ia percaya bahwa Tuhan selalu menjaga. Kaki jenjang nan indah, menapaki lantai yang tiba-tiba terasa dingin baginya. Hal itu semakin menciutkan nyali Aurora. "Makan malam Anda, Tuan," sapa Aurora dengan lembut. 'Suara itu? Dia, cepat sekali ia kembali. Siaaal!' Kata Hans di dalam hatinya. Seketika, mata jahat Hans terbuka lebar. Ia yang semula terbaring dan terpejam, langsung terbangun, serta ingin kembali menyakiti Aurora. "Apa yang kamu lakukan di sini?" bentak Hans dengan cepat dan mata yang terbuka lebar. Tapi tiba-tiba saja, ia tampak begitu kesakitan. "Agh," keluhnya dan kembali terjatuh di atas tempat tidur ekstra besar serta empuk. Ternyata Hans mengalami keram pada leher hingga pundaknya, sehingga ia sulit untuk menggerakkan kepala. "Agh," rengeknya sekali lagi. "A-anda baik-baik saja, Tuan?" Aurora berlari ke arahnya dengan cepat. Rasa takut di dalam diri gadis tersebut langsung hilang dan keinginannya untuk membantu, lebih besar dari apa pun juga saat ini. "Aaagh ... ." Tuan Hans memaksa untuk menggerakkan kepalanya, namun ia semakin kesakitan dan menjerit. "Sebentar, Tuan! Jangan banyak bergerak dulu!" pinta Aurora yang langsung duduk di belakang Hans dan memijat bagian kuduk laki-laki kejam tersebut. Nyaman, itulah rasa yang ada di dalam benak dan pikiran Hans. Tiba-tiba saja, ia teringat sentuhan mamanya yang telah tiada. Satu-satunya wanita yang begitu perduli kepada dirinya. Aurora terus memijat hingga ke belakang telinga. Tanpa sengaja, ia menarik kepala Hans dan laki-laki tersebut merebahkannya di dadaa Aurora yang terasa kenyal. Hans pun kembali memejamkan mata dan ia tertidur sembari mendapatkan pijatan lembut, dari musuhnya yang begitu hangat. Bersambung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow Tinta Emas ya. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN