Detik pertama
Kaki jenjang yang dibalut dengan kulit putih mulus bak model profesional, menyusuri jalanan kota nan padat dan berdebu.
Langkah gadis berparas bidadari itu, super cepat kali ini. Semua ia lakukan agar segera tiba di kediamannya. Bukan tanpa sebab. Saat ini, sang mama, membutuhkan obat yang tengah ia bawa demi menyambung hidupnya.
Sambil menyeka bulir-bulir keringat di dahi, Aurora memicingkan mata untuk mengintip matahari.
'Aku ingin seperti matahari, walau ia tampak begitu bengis dengan sorot cahaya yang tajam. Tetapi ia adalah pelindung dari ketakutan dan gelapnya malam.' Kata Aurora tanpa suara.
Bibir itu terus tersenyum, meskipun ia sedang menelan pahitnya air liur karena tidak mampu membeli minuman yang dapat menyegarkan tenggorokannya.
Semua uang yang ia dapatkan dari hasil bekerja keras, habis untuk membeli obat sang mama yang mengidap penyakit jantung.
Sementara di halaman rumahnya yang sederhana, sudah berjajar enam orang laki-laki bertubuh kekar, berkepala plontos, dengan mata yang ditutupi oleh kacamata hitam, serta bibir kaku tanpa senyum.
Aurora bergidik ketika melihat keenam orang asing yang sama sekali tidak ia kenali. Apalagi arah pandangan mereka tidak tahu ke mana dan seterjal apa.
"Pa," sapa Aurora dari arah pintu rumah dengan suaranya yang halus dan lembut. Sementara matanya yang bingung, juga tertuju kepada laki-laki asing yang memiliki wajah seperti Dewa Perang.
Saat pertama kali menatap Aurora, Hans merasakan angin segar di sekitar wajahnya. Ia pun terbelalak ketika menatap mata bulat besar berbinar, milik Aurora yang berkilauan seperti bintang di malam hari.
"Ara, kamu sudah pulang?"
Aurora mengangguk, "Ada apa ini, Pa? Kenapa ramai-ramai?" tanya Aurora sambil menatap cemas dengan alisnya yang menukik penuh kekhawatiran.
"Antar obatnya ke dalam! Mamamu sangat membutuhkannya."
Paham dengan ucapan sang papa yang mengisyaratkan bahwa ini adalah urusan dan percakapan orang dewasa, Aurora pun segera meninggalkan ruang tamu dan langsung mengurus mamanya.
'Siapa laki-laki itu? Rasanya, aku tidak pernah melihatnya selama ini.' Aurora mulai penasaran.
'Tatapan matanya sangat tajam dan dingin. Semua itu berhasil menutupi ketampanan wajahnya.' Ujarnya kembali dan ia langsung menghafal mimik wajah laki-laki asing tersebut.
'Sayang sekali, padahal tubuhnya yang kekar, besar, dan tinggi itu, seperti gambaran pahlawan di n****+-n****+, maupun komik-komik yang sering aku baca.'
'Apalagi ditambah dengan bentuk dagunya yang berbelah, dia pasti bisa menjadi artis terkenal.'
Aurora terus berkata di dalam hati, hingga tiba di dalam kamar mamanya.
"Mama, minum dulu ya obatnya?! Sudah makan siang, kan?"
Mama Camila yang terbaring lemah di atas tempat tidur mengangguk, "Ternyata, Mama sudah menyusahkan kamu ya, Sayang?" tanyanya dengan manik mata yang mulai ditutupi air bening, penuh luka.
Gadis itu tersenyum manis "Maafin Ara ya, Ma! Hanya bisa melakukan hal kecil seperti ini saja untuk Mama."
"Kamu putri yang hebat, Sayang." Mama mengelus rambut panjang milik Aurora yang ikal dan lebat. "Mama bangga sama kamu." Bulir-bulir air mata mama menetes, disambut dengan bibirnya yang bergetar.
"Kalau begitu, Mama harus berjuang buat sembuh. Ara dan Hazel membutuhkan Mama. Ara janji, setelah bisa menebus ijazah nanti, akan segera mencari pekerjaan yang bagus, supaya Mama bisa berobat dan sembuh."
Mama mengangguk, "Mama percaya kepadamu, Sayang."
"Ayo, Ma!" Aurora menyuapi mamanya dengan empat jenis obat. Setelah selesai, ia langsung mengintip papanya kembali karena khawatir dengan kondisi beliau.
"Tuan, tolong jangan usir kami dari sini!" pinta tuan Aksara Jorda dengan suara memelas. "Istri saya tengah sakit parah." sambungnya hampir bersimpuh.
"Jangan membuatku tertawa! Jujur saja, aku tidak perduli dengan semuanya," jawab laki-laki tampan tersebut, tampak angkuh.
"Tuan ... bukankah selama ini kerja sama perusahaan kita sangat baik? Tolong berikan saya sedikit waktu untuk melunasinya!?"
"Apa Anda punya barang lain yang berharga dan bisa menyelesaikan hutang-hutang kepadaku?" tanya laki-laki tersebut sambil mengangkat kaki kanan ke atas kaki kirinya.
Dengan tangan yang bergetar, tuan Jorda menunduk dan meletakkan wajahnya sama datar dengan lantai. Lalu, ia memohon sebuah kesempatan dan waktu.
Dari ekspresi wajah dan usaha sang papa, Aurora dapat menyadari betapa beratnya urusan kali ini. Ia tidak mungkin hanya diam dan berpangku tangan saja.
"Berikan saya waktu, Tuan?! Saya mohon ... ."
'Tak lama, Aurora yang tidak sanggup melihat kepala papanya terus terperosok ke bawah, langsung berlari dan menegakkan pundak sang papa.
"Sudah, Pa. Cukup!" Aurora mengusap punggung papanya dan menatap tajam ke arah laki-laki, tanpa ekspresi perduli yang berada di hadapannya.
Mendapat sorot mata tajam seperti itu, biasanya Hans akan segera bangkit dari kursi dan menerjang lawannya.
Namun kali ini tidak. Tiba-tiba saja, jantung Hans berdebar kencang, hingga membuatnya susah menelan air liur.
"Sudah cukup bersikap seperti dewa, Tuan!" kata Aurora terdengar berani di telinga Hans Prawira.
"Ara, jangan ikut campur!" pinta tuan Aksara Jorda sambil menatap putrinya. Beliau tidak ingin Ara ikut terseret ke dalam masalah besar seperti ini.
"Tolong penuhi permintaan papaku! Apa pun akan aku lakukan," pinta Aurora sambil menyatukan kedua tangan yang ia letakkan di depan d**a.
"Itu yang aku katakan sejak kemarin." Hans menyambung tatapan Aurora bersama bibirnya yang menyeringai jahat.
Saat itu, Hans terus saja memperhatikan mata bulat milik gadis tersebut dan ia merasa suka.
'Bagaimana bisa gadis ini memiliki mata bening dengan warna pekat seperti itu? Siaaal! Ketika melihatnya, aku merasa seperti menggenggam dunia.'
Hans terus menatap mata Aurora yang sudah dipenuhi air, seperti membentuk kolam kecil di sana.
"Tolonglah, Tuan! Kali ini, aku yang memintanya!"
"Tidak, Ara! Jangan!" tepis sang papa dengan tubuh yang semakin bergetar hebat.
Aurora tidak perduli. Ia terus memohon hingga Hans mendapatkan keinginannya. Sebenarnya, gadis ini adalah ujung tombak rencana balas dendam yang Hans rencanakan.
Tak lama, terdengar suara batuk keras dan muntahan dalam jumlah yang banyak dari dalam kamar. Tuan Jorda pun langsung berlari mengejar istrinya.
"Tuan?!" Aurora semakin ketakutan. Ia tidak ingin kehilangan mamanya.
Melihat Aurora sudah menangis, Hans menepuk kedua tangan dengan gayanya yang angkuh.
Kemudian tiga orang laki-laki yang berdiri di halaman rumah, masuk sambil menundukkan kepala mereka.
"Bawa nyonya Jorda ke rumah sakit! Dan kamu Moza, selesaikan urusan ini!"
"Baik, Tuan," ucap perempuan super seksi yang selalu berada di samping Hans.
"Kamu ikut aku sekarang juga!" perintahnya sambil menatap Ara penuh kebencian.
"Tidak, Tuan Hans. Jangan putri saya!" Tuan Jorda kembali berlari keluar dan langsung memegang kedua kaki Hans Prawira yang besar dan kokoh.
"Apa boleh aku melihat mama sebelum pergi, Tuan?" Aurora masih bersimpuh dan air matanya menggenang.
Tuan Hans melihat jam tangan mahal miliknya, "Lima menit, tidak lebih!" sahutnya yang sama sekali tidak memperdulikan tuan Jorda.
"Terima kasih, Tuan." Aurora langsung berlari ke arah kamar.
"Ara-Ara," panggil sang papa dengan suara bergetar. "Tunggu dulu! Papa mohon!" Tubuh tua papanya tampak bergetar tidak terkendali dan ia terus menahan tangan putrinya.
"Ara sayang Papa," ucapnya sambil membendung air mata. Lalu ia menepis tangan laki-laki yang begitu ia cintai dengan lembut.
Ara memantapkan langkah untuk menemui mamanya. "Mama, terima kasih untuk semuanya." Ara mencium punggung tangan wanita yang sudah memberikannya banyak cinta.
"Ara, kamu kenapa?"
"Sudah waktunya Ara membalas semua kebaikan Papa dan juga Mama. Mama musti sehat dan papa juga harus bangkit kembali, demi Hazel!"
Hazel adalah adik bungsu Aurora yang dititipkan pada pamannya. Usianya 11 tahun dan ia harus berpisah dengan seluruh anggota keluarga, demi dapat bertahan hidup.
"Apa yang ingin kamu lakukan, Nak?"
Aurora menunduk, lalu tersenyum kecil. "Apa pun itu, demi membantu kehidupan kita."
"Tapi, Sayang ... ?"
"Ara pamit Ma, Pa. Ara Sayang kalian berdua."
"Tidak Ara, jangan pergi! Papa mohon! Itu bukan jalan keluar, Nak!" Papa masih berusaha menahan.
"Ara sayang Papa dan Mama," ucap Aurora sekali lagi.
Kemudian ia memberikan kecupan hangat di dahi mama dan juga papanya. Setelah itu, ia berdiri dan berlari meninggalkan kedua orang tua yang begitu ia cintai.
"Aurora ... tidak, jangan ... ! Araaa!" pekik papa terdengar menyayat hati, namun kedua kakinya tidak lagi mampu mengejar sang buah hati. "Araaa!" Tangisan kuat terdengar dari bibir itu.
'Maafin Ara, Pa! Kali ini Ara memilih menjadi anak pembangkang.' Kata Aurora sambil menghapus bulir-bulir air mata dan menghisap air hidungnya.
Bersambung.