Aurora Dan Cahayanya

1223 Kata
"Selamat pagi, Tuan," sapa Ratih seraya merapikan meja makan di dalam kamar tuan muda. "Ah ... kamu." Hans tampak tidak bahagia ketika melihat Ratih lah yang melayaninya pagi ini. "Di mana dia?" "Siapa, Tuan?" tanya Ratih yang tidak menyangka bahwa pertanyaan seperti ini akan muncul dari bibir laki-laki terangkuh yang pernah ia kenali. "Gadis bermata safir." "Oh, Ara," jawab kepala pelayanan itu bersama nada suara tenang. "Tadi pagi, saya memintanya untuk merapikan taman dan mengukur pakaian pelayan. Apa saya perlu memanggilkan Aurora untuk Anda, Tuan?" "Tidak! Dia tidak penting." Bibir Hans menolak, tapi hatinya memanggil. "Keluarlah dari sini!" pinta tuan muda, sambil memalingkan wajah dan mengangkat kaki kanan, serta ditumpu di atas kaki kirinya. "Saya mengerti, Tuan. Permisi." Ratih menunduk dan meninggalkan Hans bersama keangkuhannya. Sesaat setelah Ratih keluar dari kamar, "Hemh, nyenyak sekali," puji Hans tanpa sadar. Kemudian ia menyandarkan tubuh pada punggung kasurnya. Mata kejam milik Hans, menatap langit-langit kamar mewah miliknya yang tampak putih dan bersih. Ia kembali dapat merasakan sentuhan Aurora yang begitu lembut dan mampu menenangkan. Baru kali ini ia merasakan sentuhan yang mampu membuatnya terlelap, tanpa mimpi buruk dan bayangan masa lalu ketika ia mendapati kedua orang tuanya berlumuran darah dalam satu ruangan yang sama, namun dalam kondisi berbeda. Mama Hans mengakhiri hidupnya dengan memotong urat nadi, sehingga darah tampak mengalir seperti tetesan hujan dari atap ke tanah. Sementara sang papa, memilih untuk menembakkan pistol tepat di dahi kanannya. Kemudian tubuh laki-laki berbadan tegap itu, jatuh begitu saja di atas lantai berwarna putih. Hanya ada satu petunjuk tentang kematian kedua orang tuanya yang mengenaskan tersebut, yaitu surat yang dituliskan oleh mamanya Hans. Surat tersebut berisikan curahan isi hati sang mama yang kecewa atas skandal antara papanya dan seorang perempuan yang merupakan sekertaris di perusahaan tersebut. Parahnya lagi, nama belakang wanita itu adalah Jorda. Dira Jorda adalah adik kandung dari Aksara Jorda (papa Aurora). Namun sebenarnya, Dira sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga Hans Prawira. Dia adalah kambing hitam dari sebuah konspirasi besar yang direncanakan oleh seseorang untuk menghancurkan kedua keluarga yang sudah lama bekerja sama dan memiliki hubungan yang baik tersebut. Hans, menarik laci coklat kilap di sisi meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Ia mengambil foto sang mama yang sangat dicintai. Sedangkan sejak saat itu, Hans begitu membenci papanya hingga ke tulang. Walau demikian, orang yang paling ia benci dan salahkan adalah Dira Jorda. Perempuan yang dikira sebagai sumber kehancuran semua kebahagiaan dan kehangatan keluarga terpandang ini. "Ma, ternyata di dunia ini, masih ada sentuhan lembut seperti jari-jemari tangan mama." Hans memeluk erat bingkai foto tersebut dan ia benar-benar terlihat rapuh. 'Tak lama, terdengar suara ponsel yang mengisyaratkan sebuah pesan masuk dari aplikasi terkemuka. Hans pun, segera melihatnya. "Tuan, siang ini Anda ada pertemuan penting. Kali ini tidak boleh terlambat!" Moza mengirimkan pesan menohok karena pertemuan ini berkaitan dengan keuangan perusahaan yang tengah goyang, akibat ulah seseorang yang sudah membobol atau membocorkan akses keuangan milik Hans di bank internasional. "Hah, menyebalkan." Hans mulai menikmati sarapannya dengan perasaan yang kesal. Di dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa membuatnya takut. Meskipun keuangan perusahaan sedang kritis. Sebab, ia punya banyak bisnis hitam yang mampu menopang dan hal itu hanya dirinya seorang lah yang tahu. Sekitar pukul 11.00 WIB, Hans berangkat dari rumahnya yang megah. Kali ini, ia sedang tenang dan ingin sedikit berjalan ke arah luar sembari menikmati taman mungil kesayangan almarhum mamanya yang tengah dibersihkan oleh Aurora. Ketika mata Hans fokus menatap Aurora, ia kembali terpengaruh pada pesona gadis tersebut. Terkadang, bayangan sang mama seolah mengikuti gerak tubuh Aurora yang tampak ringan dan nyaman dengan pekerjaannya. "Tuan!" sapa Aurora sambil menundukkan kepala dan sebagian tubuhnya. Seketika, Hans membuang pandangan dan kembali memasang wajah bengis di hadapan Aurora. Jarak mereka cukup jauh. Saat itu, Hans berada di luar pagar yang terbuka lebar. Sedangkan Aurora berada di dalam dan terus memperhatikan laki-laki yang tampak manja tadi malam. Tanpa membalas tatapan Aurora, Hans menaiki mobil mewah berwarna hitam begitu saja. Aurora pun sama sekali tidak berkecil hati, ia sadar, saat ini, ia hanyalah seorang pelayan, bukan tuan putri seperti dulu. Namun siapa yang menyangka, laki-laki dengan tinggi badan 180 cm itu, mengintip Aurora dari spion mobilnya. *** Lima jam berlalu dan Hans mulai meninggalkan ruang meeting untuk kembali ke kediamannya. Wajahnya yang datar sangat sulit dinilai oleh siapa pun, termasuk Moza. "Tuan, malam ini ada acara makan malam dan pesta dansa. Anda harus pergi demi menghormati kolega yang baru saja menyuntikkan dana di perusahaan Anda!" Moza kembali mengirimkan pesan sesaat setelah Hans meninggalkan ruang meeting. "Oke." Hana menjawab sesingkat-singkatnya. "Apa yang terjadi?" tanya Moza mukai penasaran. Bukan tanpa alasan, selama ini, Hans lebih dari bersikap baik kepada dirinya. Perlakuan laki-laki kejam itu kepada Moza, berbeda dengan yang lainnya. "Apa?" tanya Hans dalam tatapan dingin. "Sejak tadi, Anda terlihat kaku dan dingin kepada saya." "Itu hanya perasaanmu saja, Moza. Bukankah kamu perempuan satu-satunya yang sudah merasakan hangatnya otot saya?" Hans menepis kalimat tajam dari bibir tipis sekertaris pribadinya tersebut. "Saya mengerti, Tuan. Maaf!" pintanya dengan kepala tertunduk. "Good." Hans melempar ponselnya ke kursi mobil. Ia tampak bosan dengan aktivitas hidup yang selalu ia lakukan dengan orang-orang dan urusan itu-itu saja. "Anda butuh hiburan, Tuan muda." Sopir menyapa sambil mengintip dari kaca tengah. "Sejak kejadian itu, Anda tidak pernah bersenang-senang." "Bukankah Anda sering melihat saya bersama Moza?" tanya Hans, seolah perempuan itu adalah pusat kesenangannya. "Maaf, Tuan. Saya sangat mengenali Anda. Mata Anda, sama sekali tidak bisa berbohong." "Hemh." Hans tiba di kediamannya. Tanpa ia sadari, ketika baru masuk ke dalam rumah, matanya langsung mencari seseorang yang sangat ia inginkan. "Anda ingin kudapan, Tuan?" tanya Ratih sambil tertunduk. "Tidak." Hans meninggalkan Ratih begitu saja. 'Tuan muda, apa yang Anda cari?' Tanya Ratih tanpa suara. Sekitar pukul 18.00 WIB, Moza kembali mengirimkan pesan. "Maaf, Tuan. Malam ini saya tidak bisa menemani Anda. Tiba-tiba saja, saya sakit kepala berat." Moza memberi kabar secara mendadak, padahal sebentar lagi Hans harus segera ke pesta bersama wanitanya. Namun, semua adalah kebohongan yang biasa Moza lakukan. Di kediamannya, Moza menikmati buah potong di atas tempat tidur sembari tertawa. Ia mengejek Hans yang memang selalu mengandalkan dirinya, untuk menemani di setiap acara pesta. "Bisa apa kamu tanpa saya? Kali ini, Anda pasti malu banyak." Moza ingin Hans diejek sebagai pria yang gagal dalam urusan pribadi maupun bisnis. Hans yang membaca pesan tersebut langsung terduduk tanpa suara. Mana mungkin ia pergi tanpa wanita. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Ratih yang tidak pernah bosan. Hans melempar ponsel di atas meja kayu dan Ratih langsung membaca pesan dari Moza. Ratih terdiam sejenak, "Jika Anda mau, Tuan. Aurora pasti bisa membantu Anda. Dia sangat cantik dan pandai menari." "Siapkan dia dalam waktu 30 menit!" "Dimengerti, Tuan." Setelah 30 menit, "Tuan, Ara sudah siap," kata Ratih dengan kepala tertunduk. Di ruang tengah yang sangat besar, Aurora berdiri tegak dengan dress berwarna merah menyala dan potongan d**a rendah, hingga menyembulkan bagian atas hingga tengah buah dadanya. Sementara di bagian belakang busana tersebut, memperlihatkan punggung gadis itu yang mulus dan indah. 'Sempurna, dia tampak cantik dan berkilauan.' Puji Hans di dalam hati dengan mata yang terus menatap dan memuja. Tanpa disadari, hati laki-laki angkuh itu terus bercakap-cakap pada dirinya sendiri. Ia pun terus mengakui keelokan tawanannya. "Hah ... ," keluh Hans yang begitu ingin menyekap dan menikmati bagian terindah tersebut. Bersambung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love, dan follow ya. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN