"Dad, kenapa wajahmu sangat tenang sekali." jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dingin dan salju yang tak henti-hentinya turun membuat pikiran Lisha tak tenang, dia begitu mencemaskan keadaan anak pertamanya, Galins.
"Kemarilah, dear." keduanya sedang berada didalam kamar, niatnya akan tidur siang tetapi Lisha tak kunjung dapat mengistirahatkan matanya.
Lisha berjalan ke arah Lian yang tengah duduk di sofa sembari melihat ke arah luar, menampilkan hujan salju dan angin yang meliuk-liuk. Pepohonan pun sudah tertutup dengan putihnya salju.
Lian membawa Lisha ke atas pangkuannya, memeluk istrinya dengan erat beberapa kali dia melayangkan ciuman pada Lisha.
"Kau tahu kan siapa aku? Tenang saja, aku tak akan pernah membiarkan anak kita celaka." Lian berucap dengan tenang, "Meskipun aku tahu dia kuat, tetapi aku selalu mengirimkan orang untuk mengawasi anak itu." tutur Lian. Lisha segera menoleh dan menatap suaminya dengan tatapan terkejut.
"Kau serius, dad? Ah aku kira hanya Zea dan Kea saja yang kau beri pengikut." balas Lisha, hatinya mulai tenang mengetahui kalau ternyata Lian sudah menyiapkan semuanya.
"Jadi, kapan kita akan pergi ke rumah X?" Lisha melontarkan pertanyaanya kembali. Besok adalah hari natal, setiap natal tiba keluarga William dan yang lainnya selalu berada dirumah X. Tetapi hari ini, mereka belum juga berangkat.
"Kau lihat didepan sana, kan? Salju turun lebih cepat. Itu artinya kita tak boleh kesana," mendengar jawaban Lian membuat Lisha mendesah kecewa. Sampai-sampai Lian terkekeh melihat kekecewaan yang terlihat di wajah sang istri.
"Oh baby, tenanglah.. aku hanya sedang bercanda barusan, satu jam lagi kita berangkat. Sepertinya jalanan belum tertutup banyak salju. Kita masih bisa pergi kesana."
Lisha membulatkan matanya, "Kau serius?!"
Lian menganggukkan kepala, "Tentu saja."
"Aahhh aku jadi semakin cinta padamu, dad." Lisha antusias mengucapkan kata itu membuat Lian semakin terkekeh.
"Hum, ngomong-ngomong kenapa disini dingin sekali, sepertinya tak apa bermain sebentar." Lisha membulatkan matanya tak percaya dengan kata-kata Lian, tentu saja dia mengerti apa yang diucapkan oleh dia. Detik berikutnya, Lian menciumi seluruh wajah istrinya. Lian mencumbu, membelai tubuh Lisha sampai tak sadar Lisha mengerang; mengeluarkan desahan yang membuat Lian semakin bernafsu.
Di sela ciuman yang tak ada henti-hentinya, Lian menggendong tubuh Lisha didepan seperti koala. Menutup gorden dengan terburu-buru. Lalu membawa istrinya ke atas ranjang.
*
"Mom, Dad!" Lian mengerjap-ngerjapkan matanya kala suara wanita yang cukup nyaring berteriak lalu menggedor-gedor pintunya beberapa kali, bahkan Lisha saja sampai terusik dari tidurnya. Sehabis melakukan hubungan suami istri, Lisha dan Lian memilih tidur dalam keadaan badan tanpa terbalut baju.
"Dad, suara mereka." Lian mengangguk mulai beranjak dan memakai celana dalam beserta celana sebatas lutut yang tadi ia pakai sebelumnya, celana itu berwarna hitam.
"Kau mandi dulu, dear. Pakailah air hangat." Lian mengangkat tubuh Lisha yang terbalut selimut tebal ke kamar mandi. Setelah itu mendudukan istrinya di closet.
"Dad, nanti menyusul setelah menemui anak-anak." jawab Lian segera menutup pintu kamar mandi, dan memunguti baju Lian dan Lisha yang berceceran dilantai lantas memasukannya pada keranjang.
Setelah selesai, Lian segera membuka pintu kamar. Di sana terlihatlah, kedua anaknya Zea dan Kea yang tengah bersedekap d**a. Mereka berdua mengerucutkan bibirnya seperti sedang kesal.
"Kenapa baby?" tanya Lian saat wajah kedua anaknya semakin menatap dirinya tajam. Tatapan yang sama dengan Lisha.
"Dad, ayo berangkat. Mereka sudah berada disana, ah aku sudah menunggu lama."
"Apa kau juga tak memakai baju, kau tahu dad. Sekarang itu sedang dingin, huh." Kea menimpali ucapan kakaknya.
Lian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Kau lupa setiap ruangan dirumah ini hangat?" bahkan Zea dan Kea melupakan hal itu.
"Yasudah, ayo dad. Kalau tidak kita akan pergi sendiri-sendiri saja." ujar Zea.
Lian tersenyum lalu mengangguk. "Tunggu dibawah, daddy akan segera kembali setelah selesai."
Zea dan Kea menggangguk menyetujui, lantas segera berjalan untuk menuju lantai bawah. Mereka berdua akan menunggu kedua orang tuanya disana.
Lian terkekeh pelan dengan kelakuan kedua anak perempuannya yang terbilang lucu dan menggemaskan. Bahkan mereka berdua, sudah memakai baju hangat, sangat siap untuk pergi. Sepertinya dia dan Lisha tidur cukup lama. Kasihan juga istrinya pasti masih ingin bermanja-manja dengan kasur. Lian memutuskan untuk menyusul istrinya mandi air hangat.
*
Lian berjalan menuruni tangga seorang diri, Lisha belum selesai berdandan tetapi malah menyuruh agar Lian pergi ke bawah karena takut kedua anaknya menyusul kembali.
Dengan memakai sweater pas body, celana casual senada. Serta ditambah blazer berwarna krem, yang tebal dan besar membuat Lian merasa hangat. Rambutnya sudah disisir dengan rapi. Lian berjalan ke arah Zea dan Kea yang tengah menonton televisi. Dia duduk diantara keduanya setelah mengecup pipi Zea dan Kea secara bergantian.
"Lama sekali sih, Dad." gerutu Kea. Lian hanya terkekeh lalu meminta maaf.
"Mom mana? Ayo kita berangkat."
"Tunggu dulu, Mom belum selesai. Mungkin sebentar lagi akan turun."
Mereka berdua mengangguk, padahal keduanya sudah tak sabar untuk sampai kesana, tepatnya ke rumah X.
Tak lama kemudian, Lisha turun dengan baju hangatnya juga. Dia melirik pada penampilan kedua anaknya, memeriksa jika Zea dan Kea sudah memakai baju hangat.
"Kau tidak memakai kaus kaki, Zea!"
Zea tersenyum takut, lantas memeluk sebelah lengan daddy-Nya.
"Zea tak suka, Mom." balas Zea masih dalam keadaan memeluk sebelah tangan Lian.
"Tapi Zea, kau harus hangat. Kalau begitu kita tak usah pergi saja,"
Zea berdecak kesal, padahal seperti ini saja dia sudah hangat.
"Yang dikatakan Mom benar, Zea. Kau harus hangat. Disini hangat tetapi diluar sana tidak."
Akhirnya Zea mengalah, lalu menyuruh assisten pribadinya untuk membawakan kaus kaki. Dia tak akan menang melawan Mom dan Daddy nya.
Setelah beberapa saat, semuanya sudah lengkap. Mereka segera berjalan dengan kedua lengan Lian digandeng oleh Zea dan Kea. Mereka akan menuju mobil, dan segera menuju ke rumah X.
*
Mereka segera masuk ke dalam rumah, memasuki lift dan menuju ke ruangan yang sering dipakai mereka semua untuk berkumpul. Ternyata benar, disana sudah ada banyak sekali orang, hanya keluarganya saja yang baru datang.
Zea dan Kea segera berbaur dengan para saudaranya. Begitu juga dengan Lian dan Lisha, kalau sudah berkumpul seperti ini, rasanya tak ada pikiran luar yang hinggap. Saat berkumpul, mereka menghabiskan waktu dengan tertawa atau sesekali bermain catur, billiard atau permainan-permainan seru lainnya.
"Ngomong-ngomong dimana Galins?" tanya Zayn, saat dia menyadari ternyata Galins tak berada disini.
"Galins masih ada urusan, sedang menjemput anak Darwin yang sudah meninggal."
Mereka semua mengangguk mengerti, tak lama datanglah Kenzi bergabung dalam percakapan. "Bagaimana kalau aku susul saja?"
Lian dan Zayn segera menggelengkan kepala. Galins saja sedang bersusah payah mencari jalan keluar karena suruhan keluarga wanita itu sedang berjaga-jaga disana. Lalu apa kata Kenzie barusan? Menyusulnya. Itu hal gila yang pernah ada. Sudah tahu itu adalah kandang singa tetapi Kenzi malah menerobos masuk.
"Tidak usah, Kenzie. Mom juga pasti sependapat dengan kita."
"Tetapi dad, Uncle. Aku tak bisa membiarkan Galins sendirian dan kesusahan seperti itu."
Lian menggelengkan kepalanya pelan, "Galins tak sedang kesusahan. Uncle sudah mengirimkan yang terbaik untuk dia."
Kenzie mendesah, pasrah dengan ucapan kedua orang dewasa itu. Harusnya dia sekarang ini membantu Galins dimasa-masa sulit, bukannya malah bersenang-senang seperti ini.
"Ah yasudah kalau begitu, aku akan bergabung dulu bersama mereka."
Galins dan Zayn mengangguk setuju. "Kau percaya pada anakmu, Zayn?" tanya Lian sambil menatap Kenzie anaknya, wajahnya nampak kesal.
"Bohong kalau aku bilang percaya, tunggu sebentar lagi. Apa yang akan dilakukan oleh anak itu,"
Lian tertawa dengan jawaban dari Zayn. Sikap dan Sifat Arabella yang keras kepala diturunkan sepenuhnya pada Kenzie. Sedangkan sifat lemah lembut milik Zayn menurun pada Rora. Lihatlah disaat Kea, Esme dan Stela lebih senang menyakiti orang lain. Rora dan Kea malah berbanding terbalik, mereka berdua tak menyukai kelakuan saudara-saudara lainnya.
"Lian, apa kau tak tahu. Beberapa hari yang lalu anakmu Zea pergi ke hotel bersama seorang pria. Mereka memesan kamar, tetapi setelah beberapa menit mereka berdua keluar kembali. Sepertinya hanya sekitar lima menit." Lian menoleh ke arah Victor lalu mengerutkan keningnya.
"Ah sial! Kenapa bisa aku kecolongan seperti ini."
"Coba kau tanya baik-baik."
Lian mengangguk, "Sebentar." Lian segera berjalan ke arah anak-anak dan keponakannya.
"Jadi, siapa yang kemarin pergi ke hotel bersama seorang pria."
Semua orang diam mematung, Lian masih berdiri tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Lian.
"Zea, kau ikut dengan dad." semua mata tertuju pada Zea, bahkan Lisha saja sampai membulatkan mata lalu menggeleng-gelengkan beberapa kali. Tak percaya jika Zea pergi ke hotel bersama seorang pria. Ah apakah anaknya sudah melakukan..
"Tidak!" lirih Lisha. Dia segera menyusul Lian dan Zea yang berjalan menunduk. Lisha masih waras membiarkan Lian dan Zea dalam satu ruangan dengan keadaan seperti itu. Lian pasti tak akan segan-segan menghukum anaknya sendiri. Mengingat jika hal seperti ini sudah dibatas wajar. Tetapi sumpah demi apapun Lisha juga kecewa pada Zea. Lebih baik mendengar alasan anaknya secara langsung daripada mengambil opini sendiri.
***
"Dad, kenapa wajahmu sangat tenang sekali." jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dingin dan salju yang tak henti-hentinya turun membuat pikiran Lisha tak tenang, dia begitu mencemaskan keadaan anak pertamanya, Galins.
"Kemarilah, dear." keduanya sedang berada didalam kamar, niatnya akan tidur siang tetapi Lisha tak kunjung dapat mengistirahatkan matanya.
Lisha berjalan ke arah Lian yang tengah duduk di sofa sembari melihat ke arah luar, menampilkan hujan salju dan angin yang meliuk-liuk. Pepohonan pun sudah tertutup dengan putihnya salju.
Lian membawa Lisha ke atas pangkuannya, memeluk istrinya dengan erat beberapa kali dia melayangkan ciuman pada Lisha.
"Kau tahu kan siapa aku? Tenang saja, aku tak akan pernah membiarkan anak kita celaka." Lian berucap dengan tenang, "Meskipun aku tahu dia kuat, tetapi aku selalu mengirimkan orang untuk mengawasi anak itu." tutur Lian. Lisha segera menoleh dan menatap suaminya dengan tatapan terkejut.
"Kau serius, dad? Ah aku kira hanya Zea dan Kea saja yang kau beri pengikut." balas Lisha, hatinya mulai tenang mengetahui kalau ternyata Lian sudah menyiapkan semuanya.
"Jadi, kapan kita akan pergi ke rumah X?" Lisha melontarkan pertanyaanya kembali. Besok adalah hari natal, setiap natal tiba keluarga William dan yang lainnya selalu berada dirumah X. Tetapi hari ini, mereka belum juga berangkat.
"Kau lihat didepan sana, kan? Salju turun lebih cepat. Itu artinya kita tak boleh kesana," mendengar jawaban Lian membuat Lisha mendesah kecewa. Sampai-sampai Lian terkekeh melihat kekecewaan yang terlihat di wajah sang istri.
"Oh baby, tenanglah.. aku hanya sedang bercanda barusan, satu jam lagi kita berangkat. Sepertinya jalanan belum tertutup banyak salju. Kita masih bisa pergi kesana."
Lisha membulatkan matanya, "Kau serius?!"
Lian menganggukkan kepala, "Tentu saja."
"Aahhh aku jadi semakin cinta padamu, dad." Lisha antusias mengucapkan kata itu membuat Lian semakin terkekeh.
"Hum, ngomong-ngomong kenapa disini dingin sekali, sepertinya tak apa bermain sebentar." Lisha membulatkan matanya tak percaya dengan kata-kata Lian, tentu saja dia mengerti apa yang diucapkan oleh dia. Detik berikutnya, Lian menciumi seluruh wajah istrinya. Lian mencumbu, membelai tubuh Lisha sampai tak sadar Lisha mengerang; mengeluarkan desahan yang membuat Lian semakin bernafsu.
Di sela ciuman yang tak ada henti-hentinya, Lian menggendong tubuh Lisha didepan seperti koala. Menutup gorden dengan terburu-buru. Lalu membawa istrinya ke atas ranjang.
*
"Mom, Dad!" Lian mengerjap-ngerjapkan matanya kala suara wanita yang cukup nyaring berteriak lalu menggedor-gedor pintunya beberapa kali, bahkan Lisha saja sampai terusik dari tidurnya. Sehabis melakukan hubungan suami istri, Lisha dan Lian memilih tidur dalam keadaan badan tanpa terbalut baju.
"Dad, suara mereka." Lian mengangguk mulai beranjak dan memakai celana dalam beserta celana sebatas lutut yang tadi ia pakai sebelumnya, celana itu berwarna hitam.
"Kau mandi dulu, dear. Pakailah air hangat." Lian mengangkat tubuh Lisha yang terbalut selimut tebal ke kamar mandi. Setelah itu mendudukan istrinya di closet.
"Dad, nanti menyusul setelah menemui anak-anak." jawab Lian segera menutup pintu kamar mandi, dan memunguti baju Lian dan Lisha yang berceceran dilantai lantas memasukannya pada keranjang.
Setelah selesai, Lian segera membuka pintu kamar. Di sana terlihatlah, kedua anaknya Zea dan Kea yang tengah bersedekap d**a. Mereka berdua mengerucutkan bibirnya seperti sedang kesal.
"Kenapa baby?" tanya Lian saat wajah kedua anaknya semakin menatap dirinya tajam. Tatapan yang sama dengan Lisha.
"Dad, ayo berangkat. Mereka sudah berada disana, ah aku sudah menunggu lama."
"Apa kau juga tak memakai baju, kau tahu dad. Sekarang itu sedang dingin, huh." Kea menimpali ucapan kakaknya.
Lian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Kau lupa setiap ruangan dirumah ini hangat?" bahkan Zea dan Kea melupakan hal itu.
"Yasudah, ayo dad. Kalau tidak kita akan pergi sendiri-sendiri saja." ujar Zea.
Lian tersenyum lalu mengangguk. "Tunggu dibawah, daddy akan segera kembali setelah selesai."
Zea dan Kea menggangguk menyetujui, lantas segera berjalan untuk menuju lantai bawah. Mereka berdua akan menunggu kedua orang tuanya disana.
Lian terkekeh pelan dengan kelakuan kedua anak perempuannya yang terbilang lucu dan menggemaskan. Bahkan mereka berdua, sudah memakai baju hangat, sangat siap untuk pergi. Sepertinya dia dan Lisha tidur cukup lama. Kasihan juga istrinya pasti masih ingin bermanja-manja dengan kasur. Lian memutuskan untuk menyusul istrinya mandi air hangat.
*
Lian berjalan menuruni tangga seorang diri, Lisha belum selesai berdandan tetapi malah menyuruh agar Lian pergi ke bawah karena takut kedua anaknya menyusul kembali.
Dengan memakai sweater pas body, celana casual senada. Serta ditambah blazer berwarna krem, yang tebal dan besar membuat Lian merasa hangat. Rambutnya sudah disisir dengan rapi. Lian berjalan ke arah Zea dan Kea yang tengah menonton televisi. Dia duduk diantara keduanya setelah mengecup pipi Zea dan Kea secara bergantian.
"Lama sekali sih, Dad." gerutu Kea. Lian hanya terkekeh lalu meminta maaf.
"Mom mana? Ayo kita berangkat."
"Tunggu dulu, Mom belum selesai. Mungkin sebentar lagi akan turun."
Mereka berdua mengangguk, padahal keduanya sudah tak sabar untuk sampai kesana, tepatnya ke rumah X.
Tak lama kemudian, Lisha turun dengan baju hangatnya juga. Dia melirik pada penampilan kedua anaknya, memeriksa jika Zea dan Kea sudah memakai baju hangat.
"Kau tidak memakai kaus kaki, Zea!"
Zea tersenyum takut, lantas memeluk sebelah lengan daddy-Nya.
"Zea tak suka, Mom." balas Zea masih dalam keadaan memeluk sebelah tangan Lian.
"Tapi Zea, kau harus hangat. Kalau begitu kita tak usah pergi saja,"
Zea berdecak kesal, padahal seperti ini saja dia sudah hangat.
"Yang dikatakan Mom benar, Zea. Kau harus hangat. Disini hangat tetapi diluar sana tidak."
Akhirnya Zea mengalah, lalu menyuruh assisten pribadinya untuk membawakan kaus kaki. Dia tak akan menang melawan Mom dan Daddy nya.
Setelah beberapa saat, semuanya sudah lengkap. Mereka segera berjalan dengan kedua lengan Lian digandeng oleh Zea dan Kea. Mereka akan menuju mobil, dan segera menuju ke rumah X.
*
Mereka segera masuk ke dalam rumah, memasuki lift dan menuju ke ruangan yang sering dipakai mereka semua untuk berkumpul. Ternyata benar, disana sudah ada banyak sekali orang, hanya keluarganya saja yang baru datang.
Zea dan Kea segera berbaur dengan para saudaranya. Begitu juga dengan Lian dan Lisha, kalau sudah berkumpul seperti ini, rasanya tak ada pikiran luar yang hinggap. Saat berkumpul, mereka menghabiskan waktu dengan tertawa atau sesekali bermain catur, billiard atau permainan-permainan seru lainnya.
"Ngomong-ngomong dimana Galins?" tanya Zayn, saat dia menyadari ternyata Galins tak berada disini.
"Galins masih ada urusan, sedang menjemput anak Darwin yang sudah meninggal."
Mereka semua mengangguk mengerti, tak lama datanglah Kenzi bergabung dalam percakapan. "Bagaimana kalau aku susul saja?"
Lian dan Zayn segera menggelengkan kepala. Galins saja sedang bersusah payah mencari jalan keluar karena suruhan keluarga wanita itu sedang berjaga-jaga disana. Lalu apa kata Kenzie barusan? Menyusulnya. Itu hal gila yang pernah ada. Sudah tahu itu adalah kandang singa tetapi Kenzi malah menerobos masuk.
"Tidak usah, Kenzie. Mom juga pasti sependapat dengan kita."
"Tetapi dad, Uncle. Aku tak bisa membiarkan Galins sendirian dan kesusahan seperti itu."
Lian menggelengkan kepalanya pelan, "Galins tak sedang kesusahan. Uncle sudah mengirimkan yang terbaik untuk dia."
Kenzie mendesah, pasrah dengan ucapan kedua orang dewasa itu. Harusnya dia sekarang ini membantu Galins dimasa-masa sulit, bukannya malah bersenang-senang seperti ini.
"Ah yasudah kalau begitu, aku akan bergabung dulu bersama mereka."
Galins dan Zayn mengangguk setuju. "Kau percaya pada anakmu, Zayn?" tanya Lian sambil menatap Kenzie anaknya, wajahnya nampak kesal.
"Bohong kalau aku bilang percaya, tunggu sebentar lagi. Apa yang akan dilakukan oleh anak itu,"
Lian tertawa dengan jawaban dari Zayn. Sikap dan Sifat Arabella yang keras kepala diturunkan sepenuhnya pada Kenzie. Sedangkan sifat lemah lembut milik Zayn menurun pada Rora. Lihatlah disaat Kea, Esme dan Stela lebih senang menyakiti orang lain. Rora dan Kea malah berbanding terbalik, mereka berdua tak menyukai kelakuan saudara-saudara lainnya.
"Lian, apa kau tak tahu. Beberapa hari yang lalu anakmu Zea pergi ke hotel bersama seorang pria. Mereka memesan kamar, tetapi setelah beberapa menit mereka berdua keluar kembali. Sepertinya hanya sekitar lima menit." Lian menoleh ke arah Victor lalu mengerutkan keningnya.
"Ah sial! Kenapa bisa aku kecolongan seperti ini."
"Coba kau tanya baik-baik."
Lian mengangguk, "Sebentar." Lian segera berjalan ke arah anak-anak dan keponakannya.
"Jadi, siapa yang kemarin pergi ke hotel bersama seorang pria."
Semua orang diam mematung, Lian masih berdiri tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Lian.
"Zea, kau ikut dengan dad." semua mata tertuju pada Zea, bahkan Lisha saja sampai membulatkan mata lalu menggeleng-gelengkan beberapa kali. Tak percaya jika Zea pergi ke hotel bersama seorang pria. Ah apakah anaknya sudah melakukan..
"Tidak!" lirih Lisha. Dia segera menyusul Lian dan Zea yang berjalan menunduk. Lisha masih waras membiarkan Lian dan Zea dalam satu ruangan dengan keadaan seperti itu. Lian pasti tak akan segan-segan menghukum anaknya sendiri. Mengingat jika hal seperti ini sudah dibatas wajar. Tetapi sumpah demi apapun Lisha juga kecewa pada Zea. Lebih baik mendengar alasan anaknya secara langsung daripada mengambil opini sendiri.
Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan
"Apa kau mempercayai ku, Keana?"
Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati.
***
Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun.
Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat.
"Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut."
Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?"
" Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung
"Katakan cepat!"
"Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas."
Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu?
"Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar.
Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri.
"Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi."
Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald."
Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan.
Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang,
Terbunuh atau ____ Membunuh
***
Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar.
"Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya.
Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu
Wushhh...
Wushh...
Wushhh..
Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak.
Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha.
Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya.
"Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal.
"Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha.
Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan.
Dorrr ...
Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang.
"Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar.
"Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana."
Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza.
Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya.
"Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya"
Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya.
Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya.
**
"Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti.
Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya.
"Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?"
"Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya.
"Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk.
"Dimana saudari ku?"
"Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?"
Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!"
Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk.
"Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan.
Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar.
"Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk.
"Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah."
Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya.
"Kenapa kaki mu?" Tanya Reza.
"Hanya sedikit terluka."
Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering.
Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya.
"Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya"
Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza.
Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan
"Apa kau mempercayai ku, Keana?"
Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati.
***
Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun.
Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat.
"Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut."
Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?"
" Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung
"Katakan cepat!"
"Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas."
Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu?
"Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar.
Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri.
"Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi."
Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald."
Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan.
Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang,
Terbunuh atau ____ Membunuh
***
Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar.
"Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya.
Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu
Wushhh...
Wushh...
Wushhh..
Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak.
Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha.
Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya.
"Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal.
"Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha.
Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan.
Dorrr ...
Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang.
"Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar.
"Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana."
Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza.
Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya.
"Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya"
Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya.
Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya.
**
"Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti.
Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya.
"Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?"
"Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya.
"Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk.
"Dimana saudari ku?"
"Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?"
Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!"