"Apa yang terjadi, ceritakan semuanya padaku Alice?" Alice masih menatap kosong ke arah kakinya yang hanya terbalut celana pendek, harusnya musim dingin seperti ini Alice tak nekad untuk menjadikan tubuhnya beku. Alice enggan untuk membicarakan perihal semua ini pada Galins, tetapi apa yang harus dia perbuat dan lakukan jika tak mengadu kepada Galins. Sedangkan bunuh diri bukanlah hal yang tepat dilakukan untuk sekarang ini.
Alice menoleh ke arah Galins, tersenyum miris lalu kembali memandang kakinya, "Apa kau tau tempat persembunyian yang aman untukku?" Galins tak berniat menjawab pertanyaan Alice, ia yakin pasti kata berikutnya yang akan Alice sampaikan.
"Sungguh, kau tak tahu?" Alice berdecak kesal. "Kalau kau tahu, aku akan pergi kesana."
Galins tersenyum kecil, dia membawa Alice ke atas pangkuannya, menyibakkan rambut wanita yang sudah resmi menjadi kekasihnya. "Kenapa kau ingin bersembunyi, hmm?" Galins membawa tangan Alice untuk ia kecup. "Kau tahu? Sembunyi itu tidak enak. Lebih baik hidup bebas bukan?"
Alice mengangguk membenarkan, "Ya kau benar! Tetapi sepertinya tidak ada pilihan lain untukku, aku harus bersembunyi daripada mati ditangan para b******n sialan itu."
Kening Galins mengkerut, "Apa yang kau maksud itu adalah Darwin?"
Alice berdecih mendengar nama orang yang tak seharunya hidup. Lebih baik diam daripada membicarakan suatu hal pada Galins, dia tak ingin suasana semakin memburuk. Dia juga masih harus memastikan kalau Galins adalah kekasihnya atau malah musuh yang menyamar jadi kekasihnya.
"Galins, boleh aku bertanya beberapa hal padamu?"
Galins tersenyum, mengecup kembali punggung tangan kekasihnya. "Tanyakan semua hal yang mengganjal di hatimu."
"Jika kau di antara dua pilihan. Menyerahkan diri pada seorang b******n atau tetap tinggal walau semesta tak menginginkanmu, kau pilih yang mana?"
Galins menyunggingkan senyum, "Aku akan melawan orang itu! Sampai dia..." Galins membawa tubuh Alice agar semakin dekat dengannya, Galins mencium pelipis Alice ciuman itu turun ke pipi, dagu dan terakhir di telinga Alice, membuatnya dirinya merinding karena sentuhan Galins, "Mati di tanganku."
Mata Alice meremang, kala Galins menyentuh punggung dingin dengan tangan hangatnya dia lebih merapatkan tubuhnya ke tubuh Galins, mengalungkan tangannya membuat Galins tersenyum kecil.
Ciuman Galins semakin intens membuat Alice tak dapat menahan desahan dari bibir kecilnya.
"Kau ikut denganku, menikah bersamaku, hidup bahagia bersamaku, apa kau mau?"
Alice menatap mata Galins yang tampak sayu, dia berpikir dalam hati mungkin ini adalah kesempatan dirinya untuk keluar dari lingkaran hitam ini.
"Siapa keluargamu?"
Tubuh Galins menegang mendengar satu pertanyaan dari kekasihnya yang tak ingin ia jawab. "Apakah William marga mu Galins?"
Galins semakin terhenyak mendengar perkataan Alice yang selanjutnya.
"Apa diam mu menandakan iya?" kembali Alice melontarkan pertanyaan.
"Aku tak usah menjawab."
Alice terkekeh kecil, "Ku kira bukan William yang itu. Ternyata benar,"
Galins menatap Alice lekat, senyuman miris itu masih bertengger di bibirnya, menandakan jika wanitanya mempunyai seribu kesakitan yang harus ia ganti dengan kebahagiaan. Ya! Galins bersumpah, akan membuat Alice bahagia dan membawa kekasihnya dari lingkaran hitam ini.
"Mr. Reza? Ah tidak! Kau adalah anak dari Mr. Liandra dan Mrs. Lisha."
"Apa kau mengetahui tentang keluargaku?"
Alice semakin terkekeh mendengar jawaban Galins, "Kenapa masih bertanya? Bukankah kau juga mengetahui ku? Alice Darwin yang berasal dari keluarga penuh kecurangan."
Galins menyunggingkan senyuman, "Ku kira kau belum dewasa untuk memahami, ternyata aku salah menilai mu. Kau terlalu polos untuk membuatku berpikir jika kau tak tahu menahu tentang semua ini."
"Aku bukan polos, tetapi bodoh!"
Galins menggelengkan kepalanya pelan, "Kau tidak bodoh, Alice."
"Tentang tawaranku, jadi bagaimana?"
Alice menatap mata Galins, netra hitam milik pria itu bertemu dengan lensa mata nya yang berwarna cokelat.
"Tawaran yang mana?" tanya Alice dengan suara rendah.
"Hiduplah bersamaku."
Alice tersenyum, tetapi masih menunjukkan senyum yang miris. "Apa ada alasan untukku menolak mu?"
Galins tersenyum, dia segera memeluk kekasihnya dengan erat, memberi kehangatan untuk wanitanya yang dingin.
"Kita harus segera pergi?"
"Pergi?" Alice mengerutkan keningnya.
"Ya, pergi ke tempat yang aman. Sebelum aku membalaskan dendammu."
"Ma..maksud mu apa, Galins?" Alice menatap Galins tak percaya, perkataan yang Galins ucapkan sangat susah sekali ia cerna.
"Ya dendam mu kepada keluarga Darwin, ah lebih tepatnya paman mu yang licik itu. Bukankah mereka yang membuat orang tuamu meninggal?" Galins menaik-turunkan alisnya.
"Aishh, seharusnya aku sudah terbiasa untuk tidak meragukan bakat keluargamu."
"Itu kau tau." Galins berbicara dengan nada sombong membuat Alice berdecak kesal.
"Tapi, apa kau bisa.. maksudku, mereka adalah orang terlicik dari sekian orang licik lainnya."
Galins mengusap kepala Alice dengan lembut, "Kau tenang saja, dear. Kau harus mempercayaiku untuk semuanya. Aku akan mengembalikan apa yang menjadi hak mu,"
"Terimakasih, Galins."
Galins mengangguk, "Hum ngomong-ngomong kenapa kau sangat sexy hari ini. Ah harusnya kau memakai baju hangat,"
"Apa kau sedang mengajakku berkencan ditempat tidur?"
Mendengar pertanyaan frontal dari kekasihnya membuat Galins tertawa, "Sebenarnya aku ingin, tetapi aku akan menahan untuk nanti. Malam pertama kita setelah menikah,"
"Kau begitu percaya diri sekali akan menikahi ku." decak Alice
"Jangan berkata seperti itu, atau aku akan benar-benar membuatmu tak bisa berjalan. Merengek seperti anak kecil, kau tahu aku tak akan berhenti sampai besok pagi."
Galins bergidik ngeri, "Ah baiklah, Galins. Aku tak akan berkata seperti itu lagi." Galins mengangguk, dia mencium kening Alice penuh kelembutan. Tak ada nafsu kali ini, karena Galins benar-benar mencintai Alice.
"Ngomong-ngomong Galins, tanganku sangat perih."
Galins berhenti menciumi wajah Alice, matanya menatap kekasihnya sembari mengerutkan kening. "Nikmati saja kesakitan mu, Alice. Aku tak akan sudi menolongnya."
Alice merengek kecil, sungguh sakitnya baru terasa saat hatinya sudah merasa tenang. Apakah barusan dirinya mati rasa? Sepertinya iya.
"Ahhh, aku jadi ragu menikah denganmu."
Galins berdecak kesal. "Lain kali, kalau kau tak kuat menanggung konsekuensinya, kau tak boleh melakukan hal gila seperti ini."
Alice tak berniat menjawab, dia hanya memperhatikan tingkah Galins yang tengah merobek kain bajunya, dia mulai membungkus luka Alice dengan kain itu.
"Kau tahu, meskipun aku kaya dan bisa membeli apapun. Tetapi aku tak bisa membeli nyawa." Galins menjeda ucapannya, "Jadi, jika kau meninggal aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Apa kau akan rela jika aku meninggal."
Galins tak menjawab ucapan Alice, dia hanya fokus pada tangan Alice yang tengah ia bungkus.
Beberapa menit selesai membungkus tangan yang penuh luka itu, Galins segera menangkup kedua pipi Alice dengan kedua tangannya. "Gampang untukku, aku akan mencari banyak wanita."
"Jawabanmu tak romantis sekali, Galins."
Galins terkekeh pelan, "Tetapi sumpah demi apapun aku tak akan menikah."
"Kalau begitu aku yang tak akan pernah meninggalkanmu." Galins mengembangkan senyumannya kala Alice berbicara seperti itu.
"Huft, ayo kita mulai dari mana." Galins mengalingkan pembicara.
"Ma..maksudmu apa?" ekspresi Alice begitu menggemaskan bagi Galins.
"Lalu apalagi kalau-"
"Kau bilang tak akan melakukannya setelah menikah."
Galins tertawa mendengar jawaban lucu dari kekasihnya itu. Dia menepuk jidat Alice sampai wanitanya merengek.
"Maksudku, memulai rencana untuk bisa keluar dari sini. Aku yakin ada yang mengawasi kita diluar sana.
****
Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan
"Apa kau mempercayai ku, Keana?"
Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati.
***
Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun.
Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat.
"Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut."
Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?"
" Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung
"Katakan cepat!"
"Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas."
Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu?
"Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar.
Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri.
"Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi."
Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald."
Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan.
Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang,
Terbunuh atau ____ Membunuh
***
Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar.
"Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya.
Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu
Wushhh...
Wushh...
Wushhh..
Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak.
Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha.
Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya.
"Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal.
"Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha.
Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan.
Dorrr ...
Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang.
"Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar.
"Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana."
Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza.
Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya.
"Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya"
Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya.
Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya.
**
"Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti.
Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya.
"Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?"
"Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya.
"Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk.
"Dimana saudari ku?"
"Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?"
Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!"
Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk.
"Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan.
Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar.
"Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk.
"Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah."
Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya.
"Kenapa kaki mu?" Tanya Reza.
"Hanya sedikit terluka."
Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering.
Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya.
"Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya"
Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza.
Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan
"Apa kau mempercayai ku, Keana?"
Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati.
***
Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun.
Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat.
"Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut."
Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?"
" Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung
"Katakan cepat!"
"Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas."
Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu?
"Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar.
Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri.
"Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi."
Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald."
Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan.
Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang,
Terbunuh atau ____ Membunuh
***
Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar.
"Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya.
Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu
Wushhh...
Wushh...
Wushhh..
Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak.
Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha.
Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya.
"Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal.
"Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha.
Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan.
Dorrr ...
Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang.
"Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar.
"Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana."
Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza.
Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya.
"Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya"
Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya.
Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya.
**
"Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti.
Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya.
"Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?"
"Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya.
"Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk.
"Dimana saudari ku?"
"Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?"
Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!"
Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk.
"Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan.
Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar.
"Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk.
"Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah."
Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya.
"Kenapa kaki mu?" Tanya Reza.
"Hanya sedikit terluka."
Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering.
Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya.
"Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya"
Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza.
Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan
"Apa kau mempercayai ku, Keana?"
Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati.
***
Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun.
Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat.
"Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut."
Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?"
" Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung
"Katakan cepat!"
"Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas."
Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu?
"Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar.
Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri.
"Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi."
Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald."
Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan.
Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang,
Terbunuh atau ____ Membunuh
***
Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar.
"Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya.
Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu
Wushhh...
Wushh...
Wushhh..
Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak.
Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha.
Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya.
"Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal.
"Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha.
Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan.
Dorrr ...
Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang.
"Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar.
"Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana."
Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza.
Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya.
"Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya"
Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya.
Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya.
**
"Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti.
Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya.
"Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?"
"Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya.
"Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk.
"Dimana saudari ku?"
"Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?"
Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!"
Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk.
"Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan.
Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar.
"Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk.
"Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah."
Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya.
"Kenapa kaki mu?" Tanya Reza.
"Hanya sedikit terluka."
Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering.
Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya.
"Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya"
Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza.