14. Kea or Zea

2202 Kata
"Bicara pada daddy! Apa benar kau pergi ke hotel bersama pria lain." Zea menatap lantai berwarna cokelat dengan tangan dan hati bergetar. Dia berharap semoga mommy nya, Lisha datang dan membela dirinya, karena jujur Zea tak mempunyai alasan yang jelas perihal beberapa hari yang lalu. Itu semua diluar dugaan saat dia bertemu dengan uncle-Nya Victor. "Apa yang sedang kau pikirkan, Zea!" gertak Lian membuat Zea terlonjak. Kata-kata daddy nya tenang tetapi menusuk. Inilah salah satu ketakutan Zea selama ini. Makannya dia tak pernah melewati batas yang daddy nya sudah tetapkan. "Apa kau mau terus diam!" sekali lagi Lian menatap tajam ke arah putri yang membuat darahnya naik beberapa menit yang lalu. "A..aku tida-" "Jelas-jelas kau pergi ke hotel, untuk apa lagi?! Apa kau sudah tak ingin tinggal dengan keluarga William." Zea terlonjak saat Lian mengucapkan kata itu, kata yang paling horor yang pernah ia dengan dari daddy-Nya. "Dad.." Zea mengeluarkan air mata yang ia tahan sejak tadi. Jika seperti ini, Lian berkali-kali lipat menyeramkan. Zea tak dapat menahan lagi ketakutannya, tubuhnya bergetar hebat bahkan tangisnya semakin kencang, meraung-raung membuat Lian terduduk. Dia memandang Zea dengan tajam lalu memijat pelipisnya. "Apa yang kau lakukan pada anakku, Dad!" tiba-tiba saja Lisha datang dan langsung memeluk Zea, menenangkan putrinya yang sudah bergetar hebat. Lian semakin memijat pelipisnya pusing, setiap dia memarahi anak-anaknya Lisha selalu datang membela. Dia tak akan membiarkan anak-anaknya celaka ditangan daddy-Nya, setidaknya itulah yang Lisha katakan pada dirinya beberapa tahun yang lalu saat dia memarahi Galins. Padahal Lian juga masih waras, tak akan mencelakai ketiga anaknya. Dia seperti ini, hanya ingin memberikan mereka pelajaran yang setimpal agar kesalahannya tak di ulangi. "Mom, Zea yang sa..salah" lirih Zea bahkan dia tak berani memandang ke arah Lisha sedikitpun. Lian menghela nafas lalu berdecih. "Lalu apa yang terjadi, kau tak menjawabnya sama sekali! Dad juga butuh penjelasan." walau sudah tenang tetapi nada bicara Lian masih tegas dan menakutkan. Zea kembali bergidik ngeri. "A..aku tak sengaja bertemu dengan seorang pria.." Lian mengerutkan kening. Kalau tak sengaja bertemu, kenapa Zea harus memesan kamar hotel. "Setelah berkenalan ternyata pria itu bernama Xavier Felanino Darwin." Lian mengerutkan kening, "Darwin?" masih dengan suara sumbang karena tangis masih belum juga berhenti. Zea mengangguk membenarkan perkataan daddy-Nya. "Lalu apa yang terjadi diantara kalian?" "Aku mengantarkan dia mencari hotel, tetapi dia malah mengajakku untuk masuk. Aku tertarik dengan Xavier.. Tidak! Aku hanya tertarik untuk mengorek keluarganya, Darwin." balas Zea dia sekarang sudah berani melihat ke arah Lian yang tepat berada di kursi depannya. "Lantas, apa yang terjadi selanjutnya saat kau dikamar." "A..aku dicium oleh dia, tetapi aku menghindar. Aku kira dia sedang mabuk, karena dia terus saja memanggil aku miliknya. Aku memutuskan memukul dia, setelah itu segera keluar dari kamar hotel. Sumpah demi Tuhan, aku tak melakukan hal yang menjijikan seperti itu, Dad." jelas Zea, lirih. Lian menghela nafas, dia percaya pada Zea. Tapi untuk memastikan semuanya, Lian akan menyuruh Victor untuk mengirimkan CCTV kamar yang ditempati pria itu. Sepertinya pria muda yang bermarga Darwin itu bukanlah pria yang sembarangan. "Maafkan aku." Lian segera menampik ucapan maaf dari Zea. "Tidak! Yang harusnya meminta maaf adalah daddy." Lisha tersenyum melihat suaminya, untuk saja dia datang. Kalau dia tak datang. Lisha tak bisa membayangkan Zea yang semakin ketakutan karena pertanyaan dari Lian, suaminya. "Kalau begitu, ayo kita berkumpul kembali." ajak Lisha. Lian beranjak dari duduk lalu mengangkat tubuh anaknya, agar berada dalam gendongan. Dia mencium kening dan pipi Zea dengan lembut beberapa kali juga mengucapkan kata maaf. Lisha menenggelamkan kepala di cerukan leher Lian yang hangat, kakinya ia kalungkan di pinggang Lian sehingga Lian mau tak mau harus berjalan dengan memikul berat tubuh Zea. Itu tak sebanding dengan ketakutan Zea barusan. * "Anak Koala sudah kembali." Zea mengerucutkan bibirnya kesal. Matanya sembab karena habis menangis sisa air mata juga masih menghiasi wajah cantiknya. Zea segera turun dari gendongan dan duduk disamping Lian yang baru saja mendudukkan bokongnya di sofa. Dia tak ingin jauh-jauh dengan Lian, bahkan yang barusan melontarkan candaan pun mengernyitkan kening. Tentu saja, candaan itu berasal dari Sean. "Kau bapak Koala!" balas Zea ketus membuat mereka yang ada disana terkekeh pelan. "Jadi bagaimana?" Victor bertanya, tanpa takut Zea segera melayangkan tatapan membunuh pada uncle-Nya. "Hei, come on. Ini juga demi kebaikanmu, Dear." ujar Victor sembari melihat ke arah Zea. "Sudahlah tak apa, Victor apa aku boleh meminta rekaman CCTV di apartemen. Yang kemarin Zea datang ke kamarnya." Victor mengangguk. "Tentu, Jacob akan mengirimkannya padamu dengan cepat." Lian mengangguk dan tersenyum, apa anak dari Darwin tidak tahu kalau itu adalah hotel milik Victor yang notabene adalah musuh orang tuanya. Tetapi tunggu! Xavier yang mana yang Zea maksud? Bukannya Darwin hanya mempunyai tiga cucu. Alzy, Alice dan Angle yang dibunuh oleh anaknya, Zea. Lalu siapa Xavier? Sepertinya masalah harus diselidiki lebih dalam rupanya. Nanti akan dia bahas diruangan rapat. "Permisi Tuan dan Nyonya semuanya." Mereka semua menoleh pada seseorang yang berada di daun pintu. "Ada apa Jessi?" dia adalah pelayan di rumah X ini. Bukan hanya pelayan biasa, tetapi dia juga pandai bela diri. "Ada kiriman paket untuk, Nona Eliora Zeana William." ujar Jessi. "Kenapa kau tak membawanya kemari?" "Paket ingin diterima langsung oleh Nyonya Eliora, karena isinya begitu penting." Lian berpikir dalam hati, apakah itu adalah pake dari Xavier untuk anaknya. Kalau benar begitu, dia lebih mudah mendekati pria itu untuk ditanyai lebih lanjut. Kenapa pria itu bisa menyandang gelar Darwin. Apakah anak haram? "Bawakan saja ke-" "Tidak!" elak Kea. "Aku yang akan mengambilnya demi Zea." sementara Zea dua menit yang lalu sudah pergi ke kamar mandi. Lian mengangguk, mempersilahkan Keana untuk mengambil. Lagipula wajah mereka berdua hanya berbeda sedikit, itupun yang membedakannya dari senyum dan mimik wajah. Kalau Zea wajahnya terlihat garang, berbanding terbalik dengan Kea. Keana segera berlari kecil untuk pergi keluar, dimana paket itu berada. Dia tak sabar melihat apa yang kakaknya pesan, atau apa yang diberikan oleh orang lain kepada Kea. Dia akan menjahili Zea kembali sesuai dengan target utama. Keana bersenandung dengan riang disepanjang lorong, akan tetapi lorong ini membuat Kea mengernyit karena tidak ada penjaga sama sekali yang berjaga disini, biasanya juga banyak bahkan tadi dia melihat banyak sekali penjagaan disini. Dia menghiraukan keanehan di lorong ini, dan terus melaju agar sampai ke depan pintu. Membawa paket Zea dan membukanya langsung. Tetapi belum sempat Keana membuka pintu lorong, bibirnya ada yang membekap dari arah belakang. Keana terus berontak tetapi keseimbangan badannya menurun. Sekarang Keana sudah pingsan ditangan orang yang memakai jubah hitam. Orang itu melirik ke kanan dan ke kiri, menggendong Keana sampai menerobos pintu samping untuk menuju ke mobilnya. **** "Bicara pada daddy! Apa benar kau pergi ke hotel bersama pria lain." Zea menatap lantai berwarna cokelat dengan tangan dan hati bergetar. Dia berharap semoga mommy nya, Lisha datang dan membela dirinya, karena jujur Zea tak mempunyai alasan yang jelas perihal beberapa hari yang lalu. Itu semua diluar dugaan saat dia bertemu dengan uncle-Nya Victor. "Apa yang sedang kau pikirkan, Zea!" gertak Lian membuat Zea terlonjak. Kata-kata daddy nya tenang tetapi menusuk. Inilah salah satu ketakutan Zea selama ini. Makannya dia tak pernah melewati batas yang daddy nya sudah tetapkan. "Apa kau mau terus diam!" sekali lagi Lian menatap tajam ke arah putri yang membuat darahnya naik beberapa menit yang lalu. "A..aku tida-" "Jelas-jelas kau pergi ke hotel, untuk apa lagi?! Apa kau sudah tak ingin tinggal dengan keluarga William." Zea terlonjak saat Lian mengucapkan kata itu, kata yang paling horor yang pernah ia dengan dari daddy-Nya. "Dad.." Zea mengeluarkan air mata yang ia tahan sejak tadi. Jika seperti ini, Lian berkali-kali lipat menyeramkan. Zea tak dapat menahan lagi ketakutannya, tubuhnya bergetar hebat bahkan tangisnya semakin kencang, meraung-raung membuat Lian terduduk. Dia memandang Zea dengan tajam lalu memijat pelipisnya. "Apa yang kau lakukan pada anakku, Dad!" tiba-tiba saja Lisha datang dan langsung memeluk Zea, menenangkan putrinya yang sudah bergetar hebat. Lian semakin memijat pelipisnya pusing, setiap dia memarahi anak-anaknya Lisha selalu datang membela. Dia tak akan membiarkan anak-anaknya celaka ditangan daddy-Nya, setidaknya itulah yang Lisha katakan pada dirinya beberapa tahun yang lalu saat dia memarahi Galins. Padahal Lian juga masih waras, tak akan mencelakai ketiga anaknya. Dia seperti ini, hanya ingin memberikan mereka pelajaran yang setimpal agar kesalahannya tak di ulangi. "Mom, Zea yang sa..salah" lirih Zea bahkan dia tak berani memandang ke arah Lisha sedikitpun. Lian menghela nafas lalu berdecih. "Lalu apa yang terjadi, kau tak menjawabnya sama sekali! Dad juga butuh penjelasan." walau sudah tenang tetapi nada bicara Lian masih tegas dan menakutkan. Zea kembali bergidik ngeri. "A..aku tak sengaja bertemu dengan seorang pria.." Lian mengerutkan kening. Kalau tak sengaja bertemu, kenapa Zea harus memesan kamar hotel. "Setelah berkenalan ternyata pria itu bernama Xavier Felanino Darwin." Lian mengerutkan kening, "Darwin?" masih dengan suara sumbang karena tangis masih belum juga berhenti. Zea mengangguk membenarkan perkataan daddy-Nya. "Lalu apa yang terjadi diantara kalian?" "Aku mengantarkan dia mencari hotel, tetapi dia malah mengajakku untuk masuk. Aku tertarik dengan Xavier.. Tidak! Aku hanya tertarik untuk mengorek keluarganya, Darwin." balas Zea dia sekarang sudah berani melihat ke arah Lian yang tepat berada di kursi depannya. "Lantas, apa yang terjadi selanjutnya saat kau dikamar." "A..aku dicium oleh dia, tetapi aku menghindar. Aku kira dia sedang mabuk, karena dia terus saja memanggil aku miliknya. Aku memutuskan memukul dia, setelah itu segera keluar dari kamar hotel. Sumpah demi Tuhan, aku tak melakukan hal yang menjijikan seperti itu, Dad." jelas Zea, lirih. Lian menghela nafas, dia percaya pada Zea. Tapi untuk memastikan semuanya, Lian akan menyuruh Victor untuk mengirimkan CCTV kamar yang ditempati pria itu. Sepertinya pria muda yang bermarga Darwin itu bukanlah pria yang sembarangan. "Maafkan aku." Lian segera menampik ucapan maaf dari Zea. "Tidak! Yang harusnya meminta maaf adalah daddy." Lisha tersenyum melihat suaminya, untuk saja dia datang. Kalau dia tak datang. Lisha tak bisa membayangkan Zea yang semakin ketakutan karena pertanyaan dari Lian, suaminya. "Kalau begitu, ayo kita berkumpul kembali." ajak Lisha. Lian beranjak dari duduk lalu mengangkat tubuh anaknya, agar berada dalam gendongan. Dia mencium kening dan pipi Zea dengan lembut beberapa kali juga mengucapkan kata maaf. Lisha menenggelamkan kepala di cerukan leher Lian yang hangat, kakinya ia kalungkan di pinggang Lian sehingga Lian mau tak mau harus berjalan dengan memikul berat tubuh Zea. Itu tak sebanding dengan ketakutan Zea barusan. * "Anak Koala sudah kembali." Zea mengerucutkan bibirnya kesal. Matanya sembab karena habis menangis sisa air mata juga masih menghiasi wajah cantiknya. Zea segera turun dari gendongan dan duduk disamping Lian yang baru saja mendudukkan bokongnya di sofa. Dia tak ingin jauh-jauh dengan Lian, bahkan yang barusan melontarkan candaan pun mengernyitkan kening. Tentu saja, candaan itu berasal dari Sean. "Kau bapak Koala!" balas Zea ketus membuat mereka yang ada disana terkekeh pelan. "Jadi bagaimana?" Victor bertanya, tanpa takut Zea segera melayangkan tatapan membunuh pada uncle-Nya. "Hei, come on. Ini juga demi kebaikanmu, Dear." ujar Victor sembari melihat ke arah Zea. "Sudahlah tak apa, Victor apa aku boleh meminta rekaman CCTV di apartemen. Yang kemarin Zea datang ke kamarnya." Victor mengangguk. "Tentu, Jacob akan mengirimkannya padamu dengan cepat." Lian mengangguk dan tersenyum, apa anak dari Darwin tidak tahu kalau itu adalah hotel milik Victor yang notabene adalah musuh orang tuanya. Tetapi tunggu! Xavier yang mana yang Zea maksud? Bukannya Darwin hanya mempunyai tiga cucu. Alzy, Alice dan Angle yang dibunuh oleh anaknya, Zea. Lalu siapa Xavier? Sepertinya masalah harus diselidiki lebih dalam rupanya. Nanti akan dia bahas diruangan rapat. "Permisi Tuan dan Nyonya semuanya." Mereka semua menoleh pada seseorang yang berada di daun pintu. "Ada apa Jessi?" dia adalah pelayan di rumah X ini. Bukan hanya pelayan biasa, tetapi dia juga pandai bela diri. "Ada kiriman paket untuk, Nona Eliora Zeana William." ujar Jessi. "Kenapa kau tak membawanya kemari?" "Paket ingin diterima langsung oleh Nyonya Eliora, karena isinya begitu penting." Lian berpikir dalam hati, apakah itu adalah pake dari Xavier untuk anaknya. Kalau benar begitu, dia lebih mudah mendekati pria itu untuk ditanyai lebih lanjut. Kenapa pria itu bisa menyandang gelar Darwin. Apakah anak haram? "Bawakan saja ke-" "Tidak!" elak Kea. "Aku yang akan mengambilnya demi Zea." sementara Zea dua menit yang lalu sudah pergi ke kamar mandi. Lian mengangguk, mempersilahkan Keana untuk mengambil. Lagipula wajah mereka berdua hanya berbeda sedikit, itupun yang membedakannya dari senyum dan mimik wajah. Kalau Zea wajahnya terlihat garang, berbanding terbalik dengan Kea. Keana segera berlari kecil untuk pergi keluar, dimana paket itu berada. Dia tak sabar melihat apa yang kakaknya pesan, atau apa yang diberikan oleh orang lain kepada Kea. Dia akan menjahili Zea kembali sesuai dengan target utama. Keana bersenandung dengan riang disepanjang lorong, akan tetapi lorong ini membuat Kea mengernyit karena tidak ada penjaga sama sekali yang berjaga disini, biasanya juga banyak bahkan tadi dia melihat banyak sekali penjagaan disini. Dia menghiraukan keanehan di lorong ini, dan terus melaju agar sampai ke depan pintu. Membawa paket Zea dan membukanya langsung. Tetapi belum sempat Keana membuka pintu lorong, bibirnya ada yang membekap dari arah belakang. Keana terus berontak tetapi keseimbangan badannya menurun. Sekarang Keana sudah pingsan ditangan orang yang memakai jubah hitam. Orang itu melirik ke kanan dan ke kiri, menggendong Keana sampai menerobos pintu samping untuk menuju ke mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN