Baju tebal ditambah dengan sweater berwarna putih yang tebal juga tak lupa blazer dengan bulu hangat melekat di tubuh Galins. Sore ini, cuaca sangat ekstrim membuat Galins harus memakai baju setebal ini untuk menemui Alice. Apalagi nantinya dia akan melewati hutan, udara pasti bertambah sangat dingin.
"Galins, boleh mom masuk?" suara seorang wanita, yang paling di segani sekaligus di cintai oleh Galins berbicara di balik pintu yang tertutup.
Galins tersenyum lembut, saat Lisha mommy nya sudah membukakan pintu kamar miliknya.
"Kemari mom, sepertinya ada yang penting?"
Lisha mengangguk, dia mulai melangkahkan kakinya untuk sampai ke sofa dimana tunggal-putranya tengah duduk disana.
"Apa kau akan berangkat?" tanya Lisha, dia mengusap-usap kepala Galins yang tak tertutup apapun dengan lembut.
Galins mengangguk, "Kenapa? Apa kau mengkhawatirkan diriku?" tanya Galins.
Lisha tersenyum manis. "Ya, tak ada yang tak mengkhawatirkan anaknya" jawaban Lisha, mampu membuat hati Galins menghangat.
Galins merebahkan dirinya, kepalanya ia taruh di paha Lisha, tangan Lisha mengusap lembut rambut Galins.
"Hati-hati, Mom dan dad pasti tak akan membiarkanmu dalam bahaya." ujar Lisha.
Galins sudah memejamkan matanya, menikmati usapan demi usapan tangan lembut mommy nya.
"Tentu mom, aku tahu." jawab Galins, dia membawa tangan Lisha lalu di kecupnya beberapa kali.
"Izinkan Galins untuk berjuang pada wanita yang Galins sayangi selain kalian." Galins menaruh tangan Lisha di bibirnya, dan ia kecup lagi.
"Berjuanglah sayang, semoga keselamatan dan kebahagiaan bersama denganmu. Bawalah dia, besok hari." jawab Lisha, Galins tersenyum. Dia beranjak dari tidurnya lalu duduk menghadap Galins.
"Mom, sepertinya aku harus segera berangkat." ujar Galins.
"Pakailah penutup kepalamu, agar kau tetap hangat." ujar Lisha, dia beranjak dari duduknya, memilihkan kupluk senada dengan baju yang anaknya pakai, dia juga memberikan kaus kaki lagi, serta memilihkan sepatu yang tepat di musim dingin ini.
"Terimakasih, Mom." ujar Galins, dia mencium pipi Lisha, setelah memakai semuanya tak lupa juga dia membawa tas kecil yang ia lilitkan, tas itu hanya untuk dompet dan juga handphone bahkan Galins, seperti tak memakai tas karena tertutup oleh blazer hitam yang ia kenakan.
"Sudah siap?" tanya Lisha.
Galins mengangguk, "Yuk, kita ke bawah mom." jawabnya.
Akhirnya, mereka berdua berjalan bergandengan tangan, menuruni tangga dan sampailah di ruang keluarga.
Di sana ada Lian, Kea, Zea, Bryan dan juga Sean yang tengah berkumpul.
"Dude, apa kau mau aku temani." ujar Sean saat dia melihat Galins dan Lisha berjalan ke arahnya.
"Tak usah, kau hanya akan menjadi obat nyamuk saja." jawab Galins, membuat Zea tertawa mendengar perkataan kakaknya.
Sean berdecak kesal, "Memang, apa yang akan kau lakukan disana bersama Alice?"
Skakmat. Galins terdiam mematung, pertanyaan sekaligus jebakan dari Sean, membuatnya susah sekali untuk menjawab.
"Come on, Dude." menepuk bahu Galins dengan gerakan cepat. "Perkataanku tak usah kau pikirkan, bersenang-senanglah dan jangan lupa hubungi kami kalau kau dalam kesulitan." sambung Sean.
Lian tersenyum melihat kearah anaknya yang sudah siap berangkat, untuk menemui kekasihnya.
"Hati-hati, son" ujar Lian. "Jangan melewati batas, kau harus ingat." sambungnya kembali, Galins mengangguk lalu mulai berpamitan untuk pergi. Biasanya juga Galins tak berpamitan seperti ini, kali ini pergi dengan restu dan izin orang tua rupanya lebih bermakna.
Langsung ke kamar mandi, dan buka bathup aku ada di bawahnya.
Galins mengernyitkan keningnya bingung, mendapatkan pesan yang susah sekali ia artikan.
"Di bawah bath up?" lirih Galins, di sela menyetirnya dia masih memikirkan pesan dari Alice, kekasihnya.
Daripada memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik dia lebih memacu mobilnya dengan segera, sebentar lagi hari akan berubah di gantikan dengan gelapnya malam. Salju juga masih turun bahkan hampir memenuhi jalanan raya.
Jika bukan karena perjuangannya mendapatkan Alice, ia tak akan pernah mau seperti ini. Ego nya terkalahkan oleh cinta yang luar biasa pada Alice.
Galins memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dia memasukkan satu pistol kecil lengkap dengan pelurunya dan pisau sebelum turun dari mobil. Berjaga-jaga jika ada musuh yang menghadap, dia telah siap dengan semuanya.
Baru saja, dirinya akan turun dia sudah di kaget kan dengan keberadaan seseorang yang tak jauh dari mobilnya. Pria tersebut tengah menggendong seorang wanita dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil, setelah itu dia berjalan ke arah depan dan masuk ke kemudinya, untung saja mobil Galins tak di lihat olehnya, mungkin pria itu sedang terburu-buru.
"Alice?" satu nama hinggap di benak Galins, dia membuka mobil lalu menutupnya secara kasar.
"Apa itu Alzy?" tanya Galins, pada dirinya sendiri.
Raut wajahnya khawatir, dia segera berjalan cepat untuk sampai ke villa, memastikan jika yang barusan di lihatnya bukanlah Alice.
Salju ia lewati.
Dingin ia hadapi.
Sebelumnya, Galins tak pernah seperti ini. Semuanya berubah, setelah dia mengenal Alice. Wanita yang tak seberapa cantiknya di bandingkan kedua adiknya, namun mampu memikat hatinya dan membuat dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Galins segera membuka pintu dan tak menemui Alice di dalam. Wajahnya gusar, dia segera mencari ke penjuru rumah. Namun, Alice tak kunjung juga di temukan.
Setelah beberapa menit diam di sofa ruangan Alice, Galins teringat dengan pesan Alice. Jika dia harus menemukan bath up dan mencari Alice di sana.
***
Ruangan gelap yang nyaris tak mendapat cahaya. Hanya sinar lampu kecil yang menjadi penerangannya. Wanita itu, masih wanita yang sama. bersender di dinding dengan pakaian minim. Tatapannya kosong melihat sebuah kotak musik, yang jika di putar akan membuka kenangan kelam yang tersimpan di hatinya.
Tubuhnya sudah dingin, namun wanita itu tak peduli sedikitpun, bahkan dia menginginkan dirinya mati sekarang juga, menyusul kedua orang tuanya. Wanita itu, adalah Alice.
Sembari memandangi kotak musik yang entah milik siapa, Alice kembali meminum wine yang berumur tahunan, meneguknya sampai habis dalam sekali tegukan. Bahkan, dirinya sudah meminum hampir satu botol penuh.
Kotak musik itu, pernah menjadi teman dirinya saat di culik dulu bersama dengan sahabatnya. Meskipun luka lamanya terbuka lebar hanya karena kotak musik itu, Alice tak bisa menolak, bersamaan dengan luka yang timbul, perjuangan bebas bersama sahabatnya pun dulu terngiang kembali, membuat dirinya merindukan sosok anak kecil itu di dalam hidupnya.
Pusing mulai merajai kepalanya, Alice tertawa sumbang masih melihat ke arah kotak musik itu.
Dia membalik-balikkan kotak tersebut lalu menyalakan tombolnya. Terdengar alunan melodi-melodi yang tersusun rapi tapi terdengar menyeramkan, mungkin lagu ini adalah lagu terakhir yang akan ia dengarkan sebelum dirinya menjemput kematian. Lagu ini akan menjadi pelengkap dirinya bunuh diri.
Alice menaruh kotak tersebut lalu mengambil pisau yang sudah tersedia di meja kecil dekat dengan tempat duduk dirinya.
Lama ia berdiam, ia mulai mengerakan pisau tersebut ke arah pergelangan tangannya, namun tidak tepat pada urat nadi. Sengaja, dia ingin memperlambat kematiannya, dia ingin merasakan sakit terlebih dulu dengan cara menyayat tubuhnya sendiri.
Terdengar gila bukan? Namun, inilah yang di rasakan oleh Alice, bisikan-bisikan yang memanggil dirinya untuk pergi ke lembah kematian selalu terngiang di kepalanya.
Ini, adalah titik terendah dalam hidup Alice. Dia ingin dirinya mati saja, hilang dari pencarian orang-orang. Dia ingin dirinya pergi sejauh-jauhnya bukan pergi seperti ini, yang orang lain pasti akan menemukannya.
“Sick of all these people talking...." Alice bersenandung kecil, mengikuti lagu di dalam kotak musik, sambil menyayat tangan bagian tengah dengan gerakan memutar.
"Sick of all this noise.." senandung itu terdengar mengerikan, saat Alice yang membawakan lagunya. Matanya beralih ke arah laptop yang menyala, menampilkan gambar ribuan bintang yang terpapar luas. Alice menyayat-nyayat tangannya tepat di atas kotak musik, sehinga darah bersibah memenuhi kotak musik yang masih berbunyi itu.
Alice masih tersenyum, efek mabuk yang sedang ia rasakan rupanya tak membuat dirinya merasa penuh kesakitan.
Sebentar lagi... Alice tak sabar untuk mengakhiri semua kesakitannya, menyayat pergelangan nadinya, untuk menjemput malaikat maut. Namun tiba-tiba pisau yang akan ia arahkan ke urat nadinya, melayang entah kemana.
"Apa yang kau lakukan, bodoh!" teriak Galins, nafasnya memburu, dia begitu marah melihat Alice dalam keadaan seperti ini.
Di sela kekhawatiran dirinya, Galins mencoba untuk menemukan sakral lampu. Untung saja, masih ada pencahayaan di ruangan ini meskipun temaram.
Dan setelah Galins menyalakan lampu, cahaya pun lumayan terang.
Galins menatap tajam ke arah Alice, sedangkan yang di tatap tertawa sumbang dia juga menatap Galins, tanpa rasa takut sekalipun.
"Kenapa?" tanya Alice.
"Kau yang kenapa! Kau ingin mati!" teriak Galins kembali, dia menghela nafas lalu duduk di atas sofa membiarkan Alice duduk di bawah masih dengan kedua lututnya yang menjadi penopang tangannya. Bahkan, darah sudah berceceran di sekitaran Alice.
Galins mengambil pemantik, lalu menyalakan rokok, di sesapnya rokok itu lalu di hembusankannya ke udara.
Alice tersenyum kecil, "Tak ada niatan untuk membagikan rokokmu, padaku? ?" tanya Alice. Perkataan Alice, membuat Galins menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Tak baik untuk kesehatan rahimmu, kau tahu? Aku hanya akan memasukkan s****a pada rahim yang berkualitas." jawab Galins, dia membuka kupluknya. Dia melihat ke arah sekeliling, dan menemukan perapian sejajar dengan Alice.
"Lalu, rahim yang bagaimana yang berkualitas?" tanya Alice. Galins tak berniat menjawabnya melainkan, dia mulai mencoba menyalakan perapian, setelah menyala dia membuka blazer tebal menyisakan tubuhnya yang terbalut sweater polos berwarna putih bersih.
"Basemant yang sempurna." ujar Galins.
"Bersihkan dirimu dan lukamu sendiri." ujar Galins.
"Bukannya kau menyukai darah? Lihatlah darahku sangatlah lemitid edition, kan? Kau tak ada niatan untuk mempermainkan tubuhku?" ujar Alice, terdengar seperti bergurau di pendengaran Galins, Alice memamerkan tangannya yang masih bersimbah darah pada Galins.
"Aku tak sedang bercanda, Alice!" Galins memperingati, namun Alice masih tak bergeming.
"Kemana kau yang selalu ceria?" tanya Galins, nada suaranya mulai melembut.
"Aku tertawa, tapi hati ingin menangis. Aku berbicara, tapi selama ini nyatanya aku pendiam. Aku berpura-pura seperti sedang bahagia tapi nyatanya tidak. Dan aku memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja, meskipun banyak beban yang sedang kuhadapi."
Galins terdiam, mencerna kata-kata yang terucap dari bibir wanitanya. Dia melihat mata Alice yang menatap kosong ke arah perapian. Gurat matanya menandakan jika dia memang hampa dan rapuh.
"Apa aku harus jadi orang jahat? Apa aku harus bertindak licik? Sepicik orang-orang di luaran sana? Apa aku harus menjadi wanita seperti itu? Sepertinya...tidak Galins. Aku tak bisa, yang bisa aku lakukan hanyalah menangis dan mengakhiri hidupku sendiri."
Galins masih mendengarkan keluh kesah Alice, tanpa berniat untuk menjawabnya, sebelum Alice mengeluarkan semua unek-unek dalam benaknya, selama ini dia telah salah menilai. Harusnya Galins sadar, jika Alice tersakiti, Alice adalah seorang wanita. Meskipun kuat, tapi hatinya menangis.
"Banyak orang mengira, tertawa artinya diri sedang baik-baik saja. Mereka tak tahu dan tak mengerti semuanya, mereka tak tahu seberapa palsunya senyum yang sedangku perlihatkan." sambung Alice, air matanya mengalir membasahi pipi tirusnya begitu saja.
"Galins, apa jika kau matahari, kau masih ingin menerangi bumi di saat salju sedang turun? Apa kau tak ingin mengalah pada salju? Atau malah kau lah yang terkalahkan oleh salju itu?" ujar dan tanya Alice, namun Galins masih enggan untuk menjawabnya.
"Apa aku harus tetap menjadi matahari, di saat orang ingin menikmati musim dingin dengan bahagia? Apa aku harus menghancurkan kebahagiaan mereka, agar aku dapat tertawa?" tanya Alice sekali lagi. Namun, Galins masih diam.
Alice tertawa sumbang, "Ya kau benar. Aku bukan matahari, dan bukan juga salju. Salju sudah di tetapkan turun tak peduli dengan semuanya. Begitupun dengan diriku, aku ingin mati tak peduli dengan apapun dan siapapun." ujarnya, kali ini membuat Galins menggelengkan kepalanya.
Alice berjalan ke arah wastafel, masih dalam pengawasan Galins. Dia mencuci tangannya, sesekali meringis karena merasakan perih. Dia melihat ke arah kaca, dibelakang ada Galins yang tengah menatapnya. Dalam satu tarikan nafas dan satu layangan tangan, Alice berhasil memecahkan kaca yang berada di depannya dengan tangannya.
Galins membulatkan matanya, melihat itu semua. Dia segera membuang rokok ke perapian dan berjalan menghampiri Alice dengan perlahan.
Alice menangkup wajah dengan kedua tangan, tak peduli meskipun tangannya terluka dan mengeluarkan banyak darah. Dia menangis, mengeluarkan suara tangisan yang begitu menyayat.
Galins memeluk Alice dari belakang dengan erat.
"Jangan pernah mengambil keputusan sendiri, aku tak suka dengan caramu." bisik Galins tepat di telinga Alice.
Setelah beberapa menit, tangis Alice mulai mereda. Galins meraih tangan Alice, lalu ia basuh luka itu. Sesekali Alice meringis, rasa perihnya bukan main. Ia yakin, ada serpihan kaca yang menempel di jari-jari tangannya.
Setelah selesai membersihkan luka di tangan kekasihnya, Galins membantu Alice untuk mencuci wajah Alice. Udara dan air yang dingin membuat badan Alice semakin dingin.
Galins menuntun Alice untuk duduk di sofa, dia memakaikan blazer tebal miliknya pada tubuh Alice yang hanya terbalut dengan celana pendek dan juga baju pendek.