Melancarkan Rencana

1791 Kata
Sudah tak terhitung berapa kali Lorena mengumpàt karena insiden tabrakan dengan petugas kebersihan rumah sakit tadi. Untung saja kulit putih mulus terawatnya tidak bersentuhan langsung dengan kulit perempuan tadi, coba kalau bersentuhan? “Bisa gatal-gatal.” Begitu kesalnya dengan kesombongan tingkat dewa. Setibanya di depan ruang rawat inap VIP kekasihnya yang sedang koma, Lorena menarik-mengembuskan napas terlebih dulu guna menetralkan dirinya dari segala bentuk emosi. Kecuali, kesedihan. Karena dengan berpura-pura sedih rencana Lorena akan berjalan lancar. Ya, hari ini juga Lorena akan melancarkan rencana licík ide Lorenzo. Lirih perempuan berprofesi model terkenal itu mengungkapkan, “Aku sudah tidak tahan selalu terikat denganmu, Hanafi. Sesegera mungkin aku akan pergi jauh.” Meski Hanafi sedang koma, Lorena merasa selalu terikat dengan Hanafi karena Atika—Mama Hanafi—rajin sekali menghubunginya. Seolah mengingatkannya bahwa di sini Hanafi sangat membutuhkan supportnya agar dapat sadar kembali. Akan tetapi Lorena tidak yakin Hanafi dapat sadar kembali. Lorena justru menunggu hari dimana Hanafi dinyatakan meninggal dunia sehingga semua orang tak perlu merasa cemas. Kasihan Hanafi.. Meninggalkan mantan kekasihnya yang masih tulus mencintainya demi perempuan ular seperti Lorena. Memasuki ruang rawat inap Hanafi, Lorena disambut hangat oleh Atika yang langsung memeluknya. “Akhirnya kamu datang menjenguk Han, Lorena. Meski saat ini Han sedang hilang kesadaran, percayalah bahwa sebenarnya dalam alam bawah sadarnya, Han selalu menantimu datang kemari, menemuinya dengan membawa sejuta kerinduan.” Dengar? Manis sekali bukan ucapan Atika? Namun Lorena yang mendengarnya justru risih dan semakin yakin untuk meninggalkan Hanafi. Memangnya setelah sadar Hanafi bisa langsung kembali pada kondisinya semula sebelum kecelakaan? Tentu saja tidak! Dan, itu pasti akan sangat merepotkan Lorena nantinya. Membayangkannya saja Lorena sudah lelah, apalagi menjalaninya. Tidak, terima kasih. Memaksakan senyumnya, Lorena memberi tanggapan tak kalah manis, “Iya, Tante. Lorena datang membawa rasa rindu yang teramat dalam untuk Hanafi. Ini..Lorena juga membawa bunga untuk mengharumi ruang rawat inap Hanafi dan makanan untuk Tante. Lorena tahu Tante pasti melewatkan makan siang.” Atika menatap jendela besar yang memperlihatkan langit mulai petang. Ternyata hari berganti begitu cepat. Namun Hanafi tak kunjung membuka kedua matanya. Hal itu membuat Atika kian sedih. Akankah harapannya pupus dan putranya tak pernah sadarkan diri? Atika tidak boleh berpikiran negatif, karena Tuhan bersama hamba-Nya yang tak pernah putus harapan dan do’a. Masih betah memandangi langit, Atika lalu bercerita singkat, “Hm, kamu benar. Semenjak Han sakit, Tante sering telat makan. Terkadang nunggu dimarahi papanya Han baru Tante makan.” Mengalihkan tatapannya dari langit, kini Atika menatap gadis cantik yang berstatus kekasih putranya. Diraih dan digenggamnya tangan putih mulus itu seraya melanjutkan, “Terima kasih banyak, Lorena. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot karena dengan kamu datang kemari saja Tante dan Han sudah senang.” “Tidak repot sama sekali, Tante..” balas Lorena sambil menggeleng pelan, tidak tahu saja Atika bahwa dalam hati Lorena berkali-kali mengatakan ‘merepotkan!’. Memang, gadis licík itu pandai sekali bersandiwara. Seperti saat ini, bibirnya mulai melontarkan perhatian pada Atika. “Tante harus menjaga pola makan, nanti kalau Tante sakit, siapa yang menjaga Hanafi? Om Kusuma kan juga mempunyai tanggung jawab lain. Pasti saat ini Om Kusuma masih sibuk bekerja di kantor.” “Iya, kamu benar. Papa Han sibuk di kantor untuk menghandle semuanya. Biasanya sore atau malam baru kemari.” Lorena manggut-manggut mengerti. Kedua perempuan berbeda generasi itu lantas duduk bersebelahan di sebuah sofa. Untuk sejenak menepi dari sisi Hanafi. Meski mata Atika sesekali masih memandang putranya dengan pandangan iba. Bagaimana tidak? Saat ini, Atika akan menyantap makanan lezat yang dibawakan oleh Lorena. Sedangkan Hanafi? Hanya mengandalkan selang yang berisi cairan dan zat gizi untuk makan dan bertahan hidup. Demi menghargai Lorena yang sudah repot-repot membawakannya makanan, perlahan namun pasti Atika mulai makan. Sesekali Atika melihat Lorena tersenyum lega. Pikir Atika, gadis di sebelahnya ini merupakan gadis yang sangat baik, putranya memang tidak salah memilih kekasih. “Semenjak Hanafi koma, Om dan Tante pasti..” ujar Lorena membuka kembali perbincangan. Sebisa mungkin Lorena akan mengarahkan perbincangan ini pada rencananya yang akan berpamitan hari ini. Agar semua tampak natural, Lorena akan berbasa-basi terlebih dulu. Helaan napas lelah Atika terdengar, dilanjut dengan suara lembutnya. “Mau bagaimana lagi? Ini ujian kita bersama, Lorena..” “Iya, Tante..” ‘Apa!? Ujian kita bersama? Om dan Tante aja kali! Lorena ogah!’ kata hati Lorena yang amat kejàm. Andai Atika mendengarnya, pasti Atika tidak akan berpikir bahwa Lorena gadis yang baik. Nyatanya Lorena memang iblis yang berusaha memerankan peran peri. Selesai makan, obrolan antara Atika dan Lorena masih berlanjut. Pertanyaan yang ditunggu-tunggu Lorena sejak tadi pun akhirnya terdengar juga. “Gimana kerjaan kamu? Lancar?” Lorena mengulum senyumnya. Dalam hati bersorak riang gembira. ‘Saatnya beraksi!’ “Lancar, Tante. Tapi..” Lorena sengaja menggantungkan kalimatnya guna memancing rasa penasaran Atika. Terbukti, karena setelahnya Atika langsung mencecar Lorena dengan beberapa pertanyaan diiringi kekhawatiran. “Tapi apa, Lorena? Ada masalah? Coba cerita sama Tante. Biasanya kan juga begitu, kamu sering cerita ke Tante.” Yang dikhawatirkan justru sedang berada di atas awan karena rencananya berjalan mulus. Biadàb memang! Ketulusan Atika menyayangi Lorena mendapat balasan búruk. “Sebelumnya Lorena minta maaf pada Tante dan Om Kusuma selaku orang tua Hanafi. Lorena tahu, Lorena sangat egois bahkan jahat. Tapi baik Tante maupun Om tahu betul bagaimana kerja keras dan kegigihan Lorena untuk bisa sampai di titik ini. Menjadi seorang model terkenal. Itu cita-cita Lorena sejak kecil. Tidak mengherankan bila Lorena sangat mencintai pekerjaan Lorena saat ini. Maka dari itu, dengan terpaksa sebenarnya Lorena datang kemari selain menjenguk Hanafi juga untuk berpamitan.” DEG. Berpamitan? Jantung Atika seakan berhenti berdetak saat itu juga. Hatinya sakit mendengar kata tersebut. Jadi sepanjang kalimat yang terlontar dari bibir Lorena, intinya adalah pamit? Sebagai seorang ibu wajar bukan bila hati Atika turut merasakan sakit? Jika Hanafi sadar, Hanafi pasti juga merasakan sakit ini! Kasarannya, ditinggalkan saat kondisi terpuruk. Siapa yang tak sakit hati? Mencoba tetap tenang, Atika menguliknya lebih dalam, “Kamu mau pergi kemana, Lorena? Han sangat membutuhkan support kamu di sisinya. Tante mohon jangan pergi..” Meski tampak menyedihkan karena memohon pada sesama manusia, akan Atika lakukan jika itu demi kebahagiaan sang putra kesayangan. Lorena meraih kedua tangan ibu kekasihnya, melanjutkan sandiwaranya. Kali ini kalimat yang keluar dari bibirnya harus lebih berkelas, meyakinkan, serta tegas agar tidak bisa dibantah. Tak lupa juga untuk mengungkapkan kata ‘maaf’ berulang kali demi memperlihatkan kemurahan hatinya. “Maafkan Lorena, Tante. Lorena harus pergi. Ini sangat berharga untuk Lorena. Ini menyangkut kehidupan dan mimpi besar Lorena di dunia entertain. Secepatnya Lorena harus pergi ke Amerika. Ada agensi model yang menginginkan Lorena bekerja dengan mereka di sana. Ini pekerjaan kontrak jangka panjang, Tante. Mungkin lima sampai sepuluh tahun. Maafkan Lorena karena Lorena tidak bisa menolak tawaran ini. Lorena mencintai Hanafi, tapi Lorena ingin berkembang.” Seusai memberi penjelasan panjang kali lebar, tak ada satupun kata yang keluar dari bibir Atika. Atika benar-benar kehilangan kata untuk menanggapi Lorena yang sedang berpamitan itu. Rasa sakit, sedih, kecewa, tapi juga bahagia—karena karier Lorena akan semakin bersinar—memenuhi hati Atika yang terdalam. Segala rasa itu bercampur menjadi satu hingga Atika sulit untuk sekadar memberi respon. “Sekali lagi maafkan Lorena yang egois ini, Tante. Maaf..” Lorena bermaksud memeluk Atika guna menenangkan. Namun belum sempat itu Lorena lakukan, suara berat seorang pria menyahut, “Jika itu keputusanmu, kami akan menghargainya, Lorena.” “O—om Kusuma?” Lorena sedikit gentar oleh kedatangan pria paruh baya itu. Jika wanita bisa dikelabuhi dengan perasaan haru-biru, maka pria tidak semudah demikian. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pria lebih dominan menggunakan akal daripada perasaan. Maka inilah saat yang tepat bagi Lorena berpikir keras menyusun tiap kalimat untuk menghadapi Papa Hanafi. ‘Jangan sampai aku gagal. Jangan sampai Om Kusuma berpikir bahwa aku ini gadis yang bùruk. Walau benar adanya karena secara tidak langsung saat ini aku sedang mencampakkan Hanafi.’ “Pa, Lorena akan pergi jauh meninggalkan Han..” adu Atika pada suaminya. Sang suami langsung sigap memberi pelukan penenang yang sebelumnya hendak Lorena berikan. “Ma, jangan memaksa siapapun untuk menetap. Yang pergi, biarlah pergi. Cukup kita berdua yang selalu berharap pada ketidakpastian kapan Hanafi sadarkan diri.” Disitu Lorena mulai panik, Lorena menangkap kekecewaan di nada bicara Kusuma. ‘Ayo Lorena lebih tonjolkan lagi bakatmu dalam berakting! Malu kalau rencanamu gagal total! Diejek Kak Lorenzo nanti!’ Begitu Lorena berusaha menyemangati dirinya sendiri dalam hati. Pokoknya apapun yang terjadi rencananya ini harus berhasil! “Om, Lorena minta maaf.” Lorena mulai menunjukkan kesedihannya, bahkan sampai menitikkan air mata. Jangan tanya itu air mata apa? Jelas air mata buaya betina lah! “Jangan meminta maaf, Lorena. Jika itu sudah menjadi keputusanmu, jalani saja. Han pasti mendukung keputusanmu yang ingin berkembang itu,” balas Kusuma. Bijak tapi juga sedikit menyindir. Lorena langsung merasa tersindir dengan kata-kata terakhir ayah kekasihnya itu. Memilih berpura-pura naif, Lorena yakin ini semua akan segera selesai. “Iya, Om. Terima kasih sudah menghargai keputusan Lorena.” Ia sudah kegerahan dan ingin segera meninggalkan ruang rawat inap ini. Padahal ruangan ini cukup besar dan ber-AC. “Peluk Tante, Lorena..” pinta Atika untuk terakhir kalinya. Masih mempertahankan ekspresi sedihnya, Lorena tentu langsung memberikan apa yang dipinta Atika barusan. “Tante pasti akan sangat merindukanmu. Jika ada waktu, sesekali pulang ke Indonesia, temui kami.” “Pasti, Tante. Semoga kita bisa berjumpa lagi.” ‘..dalam mimpi! Aku tidak sudi menemui kalian. Semoga putra kesayangan kalian itu segera mengembuskan napas terakhirnya,’ lanjut Lorena dalam hati. Sungguh kejàm gadis itu! Di mata Kusuma, keduanya berpelukan selayaknya ibu mertua dan menantu. Kusuma menginginkan Lorena menjadi menantunya. Akan tetapi jalan menuju ke sana dibuat sekacau ini sehingga sulit dilalui. Namun bukan berarti jalan menuju sana mustahil. Mungkin hanya tertunda untuk beberapa waktu. Sebagai manusia Kusuma akan mendo’akan yang terbaik. Semoga kelak Lorena benar-benar dapat menjadi menantunya, menjadi Istri Hanafi. “Jaga dirimu baik-baik di sana, Lorena.” Itu pesan Kusuma seraya mengusap pelan rambut kepala Lorena. Kusuma sudah menganggap Lorena seperti putrinya sendiri, begitupun dengan Atika. Sayangnya tanpa keduanya ketahui Lorena tidak beranggapan yang sama. Justru sebaliknya, Lorena hanya baik saat semua baik-baik saja. Saat keadaan terpuruk begini, Lorena tidak ingin ikut menanggung susah. Buang-buang waktu, katanya. “Iya, Om Kusuma. Maaf jika hubungan Lorena dan Hanafi harus berakhir seperti ini.” “Ini bukan akhir, Lorena. Suatu saat nanti ketika Hanafi sadar dan pulih seperti sediakala, Hanafi akan menemuimu,” ucap Kusuma memberi penekanan di tiap kalimatnya. Lalu, itu berpengaruh pada Lorena? Membuat Lorena khawatir misalnya? Tidak sama sekali! Yang ada dalam hati Lorena mengejek Kusuma habis-habisan. ‘Sangat kecil kemungkinannya, Om Kusuma. Sebaiknya simpan harapan besar Om itu dalam mimpi! Cepat atau lambat Hanafi akan pergi untuk selama-lamanya. Apa tadi kata Om? Hanafi akan menemuiku? Ya, arwahnya! Akan kusiapkan sesajen, kasihan Hanafi, aku kan sayang Hanafi.’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN