Dua-duanya Lucu

1493 Kata
Cara paling ampuh mengatasi ponsel mati total menurut Dokter Rain adalah dengan pergi ke counter ponsel! Benar-benar tidak terbaca oleh Apia sebelumnya. Memang agak lain dokter muda tampan yang satu ini. “Kenapa malah bengong? Ayo turun!” ajaknya dengan begitu santai, tak tahu saja bahwa saat ini Apia berniat kabur. Bukan Apia percaya diri akan dibelikan ponsel oleh Dokter Rain, tapi dimana-mana yang mengajak pasti yang akan membayari. Apalagi sebelumnya Dokter Rain tidak mengatakan secara spesifik ‘cara paling ampuh’ yang dimaksud olehnya. Jika ternyata ini caranya..lebih baik sementara waktu Apia tidak memiliki ponsel. Tapi di zaman seperti ini, bisakah Apia melewati hari-harinya tanpa benda pipih canggih yang dapat membuatnya melihat seisi dunia itu? Tanpa Apia sadari, Dokter Rain sudah berdiri di sampingnya, lagi-lagi membukakan pintu untuknya. Terpaksa, Apia turun. “Dok, saya belum berniat membeli ponsel baru..” cicit Apia menahan malu. Alasan terbesarnya tentu saja karena belum cukup uang. Akan tetapi, Dokter Rain meyakinkan, “Coba masuk dulu, nanti kamu akan tahu mengapa saya mengajakmu kemari. Ayo..” Malah tangannya menggandeng setengah menyeret tangan Apia. Bisa apa Apia selain mengikut saja? Memasuki counter ponsel besar itu, Apia dibuat terkagum-kagum dengan banyaknya brand ponsel yang mereka jual. Asal ada uang yang cukup, tinggal pilih! Masalahnya Apia tidak memiliki cukup uang. Mungkin hanya ada beberapa ratus ribu di dompetnya. Itu pun uang bertahan hidup sebelum menerima gaji pertamanya sebagai petugas kebersihan rumah sakit. “Ada yang bisa kami bantu, Pak Rain?” tanya salah seorang pegawai yang ternyata mengenal Dokter Rain. Tambah tidak tenang saja Apia. ‘Enggak punya uang, mau pulang..’ batinnya merengek. Ketidaktenangan Apia langsung ditepis oleh sang dokter tatkala bertanya dimana ponselnya. Dengan ragu, Apia memberikan ponsel bututnya yang tengah mati total itu. “Saya ingin memperbaiki ponsel ini. Bisa kan, Mbak?” Ah, ternyata Dokter Rain tidak bermaksud membelikan Apia ponsel baru. Melainkan mencoba memperbaiki ponsel Apia. Syukurlah..Apia lega sekaligus mengutuk kebodohannya. ‘Kenapa tadi aku enggak kepikiran service ponsel daripada beli yang baru? Emang otak kalau kebanyakan mikirin mantan tuh jadi tumpul!’ “Baik. Mohon ditunggu sebentar, kami coba periksa dulu.” Begitu jawab si mbak pegawai dengan ramah, kemudian meninggalkan Dokter Rain dan Apia. Dokter Rain mengambil duduk. Sosoknya begitu tenang, berbeda jauh dengan Apia yang harap-harap cemas memikirkan berapa biaya service ponsel bututnya nanti. Melihat Apia yang sejak turun dari mobil dari terus gelisah, Dokter Rain gemas dan sekali lagi menarik lembut pergelangan tangan Apia agar duduk manis di sampingnya daripada berdiri kaku seperti patung selamat datang. “Sudah, tenang saja. Service ponsel di sini harganya tidak terlalu mahal.” ‘Iya, tidak terlalu mahal bagi pewaris rumah sakit! Beda cerita kalau bagiku yang cuman kang bersih-bersih rumah sakit. Ya Tuhan..boleh enggak sih, geplak kepala Dokter Rain? Eh jangan, sayang..nanti gantengnya berkurang.’ Apia-Apia.. Sadar! Kamu tidak pantas mengharap apapun pada pewaris rumah sakit tempatmu bekerja itu. Demi memecah keheningan diantara keduanya saat sedang menunggu, Dokter Rain kembali bersuara, “Saya tahu kamu pasti akan menolak jika saya membelikanmu ponsel baru atau membayar biaya service ponselmu. Maka dari itu, nanti ketika mereka sudah mengetahui dimana letak kerusakan ponselmu sekaligus merinci biayanya, keputusan tetap ada di tanganmu, Apia. Entah memperbaikinya sekarang atau menunggu gajian.” Menghargai dan sangat pengertian. Itulah penilaian yang kembali Apia sematkan pada sang dokter. ‘Dimana lagi nemu yang kayak gini ya Tuhan?’ Apia semakin kagum dibuatnya. Tapi kemudian Apia tersadar oleh nasehat Dina. Apia tidak boleh seperti ini. “Iya, Dok. Terima kasih,” balas Apia singkat. Beberapa saat kemudian mbak pegawai kembali. Ia memberitahukan secara singkat letak kerusakan ponsel Apia serta biaya yang nantinya Apia keluarkan. Ternyata tidak terlalu mahal sehingga Apia memutuskan untuk memperbaiki ponselnya sekarang. “Baik kalau begitu. Nanti ketika ponsel sudah selesai diperbaiki, kami akan menghubungi Pak Rain.” “Eh jangan, Mbak. Hubungi saya saja, kan itu ponsel saya,” cegah Apia tanpa berpikir panjang. Yang Apia pikirkan hanya tidak ingin merepotkan Dokter Rain lagi. Tapi itu justru lucu dan sempat membuat si mbak pegawai dan Dokter Rain terkekeh kecil. “K—kenapa? Ada yang salah dengan perkataan saya?” TUKK! “Kamu lucu kalau sedang panik,” celetuk Dokter Rain seusai menyentil pelan dahi Apia. “Bagaimana caranya saya menghubungi si Mbak kalau ponsel Mbak ada di sini? Mbak lucu..” Oh astaga! Nah, kan..makin kelihatan bodohnya! Kebanyakan mikirin mantan, sih! Apia sudah tidak punya muka lagi. Ya sudahlah! Terserah. Pokoknya nanti Apia akan membalas kebaikan Dokter Rain yang hari ini sudah ia repotkan. Untuk saat ini cepat-cepat meninggalkan counter ponsel merupakan keinginan Apia. Dan, Dokter Rain yang seolah bisa membaca keinginan tersirat Apia, mewujudkannya. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan pulang ke kos Apia, tidak ada satupun yang membuka perbincangan. Keduanya kompak diam mendengarkan alunan musik menjelang petang yang Dokter Rain putar. Lagu mellow tentang patah hati karena ditinggal kekasih hati mengingatkan Apia pada keberengsekan Hanafi yang tega meninggalkannya setelah merenggut sesuatu yang paling berharga di hidupnya. “Berengsek..” lirih Apia membuat Dokter Rain terkejut dan langsung mengira jika umpatàn itu diperuntukannya. “Saya minta maaf jika niat baik saya mengajakmu memperbaiki ponsel justru membebanimu. Tapi bukankah tadi sudah saya katakan bahwa keputusan ada di tanganmu? Kamu bisa memperbaiki ponselmu kapan saja. Tidak harus sekarang-sekarang ini. Begini saja, biarkan saya yang membayar biaya perbaikan ponselmu. Jangan salah paham. Nanti ketika kamu sudah gajian, kamu bisa mengembalikan uang saya, bagaimana?” Mendengar ocehan Dokter Rain yang tiba-tiba, jelas Apia mengernyitkan dahi, keheranan. “Eh Dokter bicara apa? S–saya enggak ngerti. Saya ada uang, kok. Uang saya lebih dari cukup kalau cuman buat bayar tadi.” Dokter Rain lebih heran lagi. Pasalnya, sebelumnya telah mendengar dengan jelas betapa kejamnya Apia saat mengumpàt. “Tadi kamu mengumpát saya, Pia. Saya pikir, saya telah membuat suatu kesalahan.” “Hah?” “Berengsek. Begitu katamu.” Dokter Rain sampai mempraktikkannya. Sontak hal tersebut membuat Apia langsung menutup mulutnya sendiri dengan salah satu telapak tangannya. J–jadi umpatàn tadi tidak dalam hati. Tapi secara langsung. Sial! Bagaimana cara Apia menjelaskannya? “Ya Tuhan.. I–itu..itu bukan untuk Dokter Rain,” jelas singkat Apia, menahan gugup serta rasa tidak enak hati yang menjalari dirinya. Ibarat sudah dibantu, eh malah mengatai orang yang membantu. Orang baru kenal dan baru menjadi teman pula! “Lalu untuk siapa?” tanya Dokter Rain sambil menaikkan sebelah alisnya. Pria itu benar-benar penasaran dengan apa yang sejak tadi Apia pikirkan. Pantas saja Apia sama sekali tidak mengajaknya berbicara sepanjang perjalanan pulang. Padahal dirinya sengaja diam agar Apia berinisiatif mengajak berbicara lebih dulu. Istilahnya membuka topik perbincanganlah. Eh Apia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya! Dokter Rain sedikit jengkel. Dan, dapat dipastikan semakin jengkel bila Apia tidak menjawab pertanyaannya barusan. Itu terjadi saat Apia mengganti musik yang sedang terputar. “Sebaiknya kita dengarkan musik yang lain, yang happy vibes gitu, Dok! Jangan yang galau-galau!” Disitulah Dokter Rain sedikit paham.. Sebagai pria dewasa tentu Dokter Rain tidak bodoh untuk sekadar mengetahui bahwa perempuan di sampingnya ini sedang ada masalah dengan hatinya. Mengulas senyum miring, Dokter Rain menyinggung, “Oh, umpatàn itu untuk orang yang telah menyakitimu? Siapa? Mantan kekasih? Atau..masih jadi kekasih?” “Dokter bisa ngeselin juga, ya..” desis Apia menahan kesal. Tawa Dokter Rain justru menggelegar. Membuat Apia memajukan bibirnya, manyun, melipat kedua tangannya di depan, lalu menoleh ke kaca mobil. Persis anak TK yang sedang merajuk. Bukannya berhenti tertawa, Dokter Rain justru semakin geli dan melanjutkan tawanya. Apia saat ngambek, sangat menggemaskan! Sampai tawa Dokter Rain terhenti dengan sendirinya karena lelah. Padahal Apia sendiri juga menahan senyum. Tawa Dokter Rain membuat Apia bahagia karena secara tidak langsung telah membuat orang di sampingnya tertawa lepas. Walau sedang menertawainya. “Kamu bisa menceritakan apapun pada saya. Kerahasiaannya terjamin, Apia. Kita kan, teman.” Begitu kata Dokter Rain yang kini memelankan laju mobilnya karena hampir sampai di pintu gerbang kos Apia. “Simpan rasa penasaran Dokter!” Begitu mobil berhenti, Apia langsung turun dari mobil secara mandiri tanpa dibukakan pintu seperti sebelum-sebelumnya. “Terima kasih banyak sudah berkenaan saya repotkan, padahal kita baru kenal. Hati-hati di jalan, Dok.” “Iya, sama-sama. Saya beritahu, ya. Diantara teman itu tidak ada yang namanya merepotkan. Saya sangat ikhlas membantumu, Apia.” “Tetap saja saya merasa hutang budi pada Dokter..” Percakapan tetap berlanjut meski posisi Apia sudah berdiri di luar mobil, sedangkan Dokter Rain tetap di balik kursi kemudinya. Memang sebelumnya Apia melarang Dokter Rain untuk turun dari mobil. Demi menghindari gosip yang tidak perlu! Padahal alasan utamanya agar tidak tertangkap basah oleh Dina.. Setelah cukup berpikir, Dokter Rain akhirnya menemukan solusi agar Apia tidak terus-terusan merasa tak enak hati. “Hmm..besok traktir saya satu roti coklat di kantin, bisa?” Sederhana memang. Tapi Dokter Rain yakin Apia akan merasa sedikit tenang. “Itu kecil!” seru Apia mengulas senyum lebar sampai gigi-gigi putihnya terlihat. Sesuai prediksi, akhirnya Apia bisa tersenyum lebar. Melupakan kegelisahannya yang sejak tadi merenggut senyum manisnya itu. “Sampai jumpa besok, Apia~” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN