Teman Berjuang Ibu

1062 Kata
Jika biasanya orang-orang mengawali pagi dengan sarapan, maka berbeda halnya dengan Apia yang justru mengawali pagi dengan muntah-muntah hebat. Sampai badannya lemas dan merangkak untuk sampai di kasur. “Kayaknya aku masuk angin, deh..” lirih Apia berbicara pada dirinya sendiri. Masuk angin. Bisa jadi, kan? Memangnya apalagi? Namun, ketika Apia menoleh pada nakas di samping tempat tidurnya yang di sana terdapat kalender kecil yang biasanya Apia gunakan untuk menandai tanggal-tanggal penting, barulah Apia menyadari sesuatu. Sesuatu yang saat itu juga langsung membuat tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Apia langsung mengecek kalender tersebut dan betapa terkejutnya ia karena telat datang bulan! Ini bahkan sudah lewat hampir dua minggu. Saking sibuknya Apia menekuni pekerjaan barunya sampai-sampai membuatnya lupa akan tamu yang biasanya datang setiap bulan. Panik? Jelas! Ingatan Apia langsung tertuju pada malam panas yang pernah dilaluinya bersama sang mantan. “Enggak-enggak, enggak mungkin. Kan cuman satu kali,” ucap Apia masih menyangkal. Demi memperjelas semuanya dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, Apia bergegas pergi ke apotek. Berharap sudah ada apotek yang buka pagi-pagi begini karena Apia ingin membeli sesuatu yang tak pernah disangka-sangkanya akan terbeli saat Apia belum menikah. Sungguh gila kehidupan Apia, semakin gila lagi sejak Apia melewatkan malam panas bersama sang mantan tersayang. Tapi si mantan bajingann! Malang nasibnya.. Perihal bekerja, Apia sudah izin Dina secara langsung untuk bertukar shift dengan siapapun yang bersedia dan Apia akan sangat berterima kasih padanya karena saat ini Apia sedang ada keperluan mendadak yang sangat-sangat penting dan tidak bisa ditunda apalagi diabaikan begitu saja. Dina sempat mencecarnya dengan pertanyaan ‘kenapa? ada apa?’, karena wanita itu tidak sekadar ingin tahu, tapi juga peduli. Tidak biasanya Apia memiliki keperluan mendadak sampai harus bertukar shift. Sayangnya Apia tak menjawab satupun pertanyaan yang Dina lontarkan. Apia hanya mengatakan ‘terima kasih dan permisi’ seraya memaksa bibirnya untuk memperlihatkan senyum baik-baik saja. Dina bisa apa selain membiarkan Apia pergi entah kemana pagi-pagi begini. Pikir Dina, mungkin Apia belum siap bercerita. Jadi Dina mencoba memahami kondisi Apia. Sekembalinya Apia dari apotek untuk membeli sesuatu, Apia langsung pergi ke kamar mandi kosnya, untung saja kosnya memiliki kamar mandi di dalam. Beberapa saat kemudian setelah menunggu dengan cemas, akhirnya Apia mengetahui suatu fakta yang seketika itu mengguncang dirinya. Testpack yang Apia pegang menunjukkan hasil dua garis merah. Apia tidak bodóh untuk mengartikannnya tanpa bantuan orang lain. Tapi Apia memaki dirinya bodóh karena baru terpikir dampak dari cinta satu malam bersama seorang pria tanpa menggunakan pengaman. Tubuh Apia yang bersandar pada dinding kamar mandi perlahan merosot. Apia menangis pelan agar tak terdengar oleh siapapun mengingat ia tinggal di kos sepetak. Akan tetapi karena dadanya sangat sesak, akhirnya isak memilukan Apia terdengar juga. Apia yang malang tak pernah sedikitpun terpikir jika sang mantan akan memberinya kenang-kenangan seperti ini. Sungguh ironis. Mantannya tidur dengan siapa, kemudian bertunangan dengan siapa. Kini, apa yang akan Apia lakukan pada calon anaknya yang saat ini mungkin baru berukuran sebesar biji kacang? ‘Gugùrkan saja kandunganmu itu, Apia! Dia tidak akan diterima di dunia ini! Dunia terlalu kejàm untuk seorang anak yang tak mempunyai sosok ayah.’ Pikiran burùk mulai meracuni Apia untuk menggugùrkan kandungannya. Toh, belum ada satupun orang yang tahu. Bukankah aman? Mumpung usia kandungannya juga masih kecil. Namun, sisi dirinya yang lain tak sependapat dengan hal tersebut. ‘Jangan berbuat nekat, Apia! Tanggung jawablah atas hal yang sudah kamu lakukan bersama Hanafi. Meski Hanafi telah meninggalkanmu, bukan berarti kamu bisa membunùh anak yang tak berdosa. Mau bagaimanapun, itu anakmu, darah dagingmu. Bukannya kamu wanita kuat? Kamu pasti bisa membesarkannya seorang diri. Buktikan pada dunia bahwa kamu bisa, Apia!’ Apia menghapus air matanya setelah membuat suatu keputusan besar. Sebuah keputusan yang akan merubah segalanya. Yang akan membuat semua orang memandang Apia tidak seperti sebelumnya. Siap atau tidak, Apia akan terjang itu semua! Kepala Apia menunduk, menatap perutnya yang masih tampak rata. Diusapnya pelan perut itu seraya berkata, “Mulai sekarang kamu adalah teman berjuang Ibu. Temani Ibu selalu ya, Nak..” Ya, Apia memutuskan untuk menerima calon anaknya. Menerima anak dari benih mantan kekasihnya. “Mungkin kamu tidak akan pernah bertemu dengan ayahmu, tapi Ibu pastikan kelak kamu tidak akan kekurangan kasih sayang. Ibu akan berusaha menjadi ibu sekaligus ayah untukmu. Maka dari itu, tumbuhlah dengan sehat dan baik di dalam perut Ibu. Ibu tidak sabar untuk segera bertemu denganmu.” Baru mengetahui kehadirannya beberapa saat yang lalu, entah mengapa Apia sudah sesayang ini dengan calon anaknya? Hahh..jika sudah begini, mana mungkin Apia kepikiran untuk menggugùrkan kandungannya? Yang saat ini Apia pikirkan justru menyusun rencana masa depan yang cerah bersama calon anaknya. Memang tidak akan mudah, tapi Apia akan berjuang sampai akhir! Apia tersenyum setelah tadi puas menangis—menangisi nasib hidupnya yang malang, menangisi cinta bodóhnya terhadap sang mantan—kini Apia sudah jauh lebih tenang. Ketika itu, bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil melawan ego dan memutuskan untuk bertanggung jawab daripada menjadi pengecut. Sebab Apia yakin jika Apia melakukan hal yang burùk pada apa yang telah Tuhan titipkan kepadanya, kelak Apia akan mendapat balasan yang setimpal dan hidup dengan rasa bersalah serta ketidaktenangan. Maka dari itu Apia memutuskan untuk menghadapi semuanya. Walau seorang diri. Apia memaksakan dirinya untuk menyantap sarapan. Meski seadanya. Hanya dua lembar roti tawar yang tengahnya diberi kental manis coklat. Apia lahap memakannya karena kini Apia tidak makan sendiri. Melainkan makan bersama calon anaknya. Memandang roti coklat di tangan, Apia jadi teringat akan janjinya semalam jika hari ini ia akan mentraktir Dokter Rain roti coklat di kantin rumah sakit. Janji itu akan Apia tepati walau kesorean karena tadi sebelum Dina pergi bekerja Dina sempat mengetuk pintu kamar kos Apia hanya untuk memberitahukan perihal shift kerja Apia hari ini. Dina tahu jika ponsel Apia sedang rusak dan masih dibenahi, maka dari itu tadi Dina memutuskan menunggu Apia pulang sebelum berangkat bekerja agar bisa memberitahukan kabar penting ini. Meski Dina tak bertatap muka langsung dengan Apia karena Apia sepertinya tidak bisa diganggu. Apia sengaja tidak membukakan pintu untuknya. Tapi firasat Dina mengatakan bahwa Apia mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya dari luar kamar kos. Mengingat sosok Apia yang selalu ceria berubah menjadi seperti ini, Dina turut sedih sekaligus khawatir. Tapi mau bagaimana lagi? Adakalanya seseorang ingin sendiri untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali menghadapi dunianya lagi. Begitu juga dengan Apia. Dina yakin tidak akan lama lagi dapat melihat kembali keceriaan Apia. Untuk saat ini berpikir positif adalah kunci. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN