“Jadi kamu habis kenalan sama Dokter Rain, Pia!?”
Dina terkejut setelah mendengar cerita Apia yang katanya hari ini sedang bahagia. Tapi sayangnya kebahagiaan yang Apia rasakan tak membuat Dina turut bahagia, yang ada Dina malah mengkhawatirkan Apia.
“Iya, Mbak. Orangnya baik dan ramah.” Apia masih melanjutkan ceritanya tentang seorang dokter muda tampan dan baik hati bernama Rain. Sampai Apia sadar adanya perubahan ekspresi Dina. “K–kenapa ekspresi Mbak Dina begitu? Aku enggak bikin kesalahan kan, Mbak?”
Dina menggeleng dan masih heran. “Enggak, Pia. Mbak cuman kaget aja, kok bisa?”
“Kok bisa apanya?”
Dina tiba-tiba melayangkan suatu pertanyaan yang seketika itu membuat jantung Apia berdebar-debar. “Kamu tahu siapa Dokter Rain?”
Sejak mendapati perubahan ekspresi lawan bicaranya, Apia mengerti ada yang tidak benar di sini. Tentang Rain..yang entah mengapa membuat Dina seperti ketakutan.
Apia mengangguk dan menjawab sepengetahuannya, “Tahu, Mbak. Dokter Rain itu seorang dokter, tapi spesialis dokter apa aku belum tanya-tanya lebih lanjut.”
Kedua tangan Dina bergerak menggenggam kedua tangan Apia dengan sedikit panik. “Bukan itu, Pia. Tapi kamu tahu enggak sih kalau kamu habis duduk semeja sama pewaris rumah sakit ini?”
Saat membicarakan topik ini mereka sedang berada di depan loker tempat menyimpan barang mereka, maka dari itu Dina memelankan suaranya.
Tempat ini memang sepi karena hanya ada mereka berdua yang hendak mengambil barang kemudian pulang karena shift pagi telah selesai. Tapi Dina tetap waspada, takut bilamana ada yang mendengar perbincangan dengan topik sensitif ini.
Namun keterkejutan Apia membuat Dina menghela napas pasrah. “Ha!? Pewaris!?” Suara Apia melengking. Membuat Dina memberi peringatan tegas seraya menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. “Sssstt..jangan keras-keras, Apia.”
Bagaimana Apia bisa biasa saja? Dokter Rain yang dikenalnya barusan ternyata bukanlah orang sembarangan. Ya Tuhan..ini keberuntungan atau sumber petaka baru?
“Rumah sakit ini milik orang tua Dokter Rain. Karena Dokter Rain anak tunggal, jelas Dokter Rain lah yang kelak akan menjadi pewaris, walau paman dan saudara sepupunya yang sesama dokter selalu berusaha menjatuhkannya.” Begitu Dina membagikan sedikit kisah tentang Dokter Rain.
“Ekhm, emang boleh sedrama itu hidupnya? Kasihan Dokter Rain..” komentar Apia seraya berekspresi sedih. Padahal lebih kasihan lagi hidupnya. Setelah menghabiskan satu malam bersama mantan terindah, eh ditinggal!
Harusnya sebelum mengasihani Dokter Rain, Apia mengasihani dirinya sendiri! Itu baru benar. Haha..
“Sekarang sedikit banyak kamu sudah tahu kan siapa dia? Kalau Mbak boleh ngasih saran, sebaiknya kamu jaga jarak dari dia. Semua yang kerja di sini tahu gimana burúknya hubungan Dokter Rain sama Dokter Handika—pamannya—dan Dokter Nella—sepupunya. Perebutan tahta keluarga kaya raya seperti mereka itu enggak segan-segan buat ngorbanin siapapun. Termasuk orang yang enggak tahu apa-apa kayak kamu ini..” beber Dina sangat peduli terhadap Apia. Wanita baik itu tidak ingin Apia dalam masalah.
Baru senang karena mempunyai kenalan dokter, eh Apia harus menjauhi si dokter karena rumitnya perebutan tahta keluarga si dokter. Tapi Apia tidak bisa mengabaikan saran baik Dina. Semua yang Dina katakan benar adanya.
“Mbak harap kamu ngerti bahwa Mbak bermaksud baik. Mbak enggak mau kamu dalam masalah, Pia..” imbuh Dina yang menangkap kesedihan di raut wajah Apia.
Dina sadar bahwa Apia sangat kagum bahkan mungkin telah jatuh dalam pesona Dokter Rain. Namun sejak awal Apia sudah harus waspada jika tidak ingin mendapat masalah.
Meski berat, Apia mengangguk. “Iya, Mbak Dina. Makasih. Aku akan lebih menjaga diriku sendiri.”
“Bagus!”
Mereka bermaksud pulang bersama karena tujuan mereka sama yakni, kos, tempat mereka tinggal. Tapi Dina malah ada keperluan mendadak saat teman kerjanya tiba-tiba memanggilnya.
Peka bahwa panggilan tersebut hanya diperuntukkan Dina, Apia pamit pulang terlebih dulu guna memberi waktu keduanya yang ada keperluan. Dina mempersilahkan dan meminta maaf karena tidak bisa pulang bersama. Apia tidak masalah toh Apia tahu betul jalan pulang.
Yahh..rencana Apia nebeng motor Dina demi menghemat ongkos pun harus kandas.
Dengan ponsel di tangannya, Apia bermaksud akan memesan ojek online. Itu dilakukan Apia sambil berjalan keluar dari rumah sakit besar tempatnya bekerja.
Saking asyiknya memandangi layar ponsel, Apia tidak menyadari bahwa dari arah berlawanan ada seorang perempuan cantik yang berjalan menenteng paper bag dengan langkah terburu-buru.
Terjadilah insiden kurang menyenangkan. Dimana dua perempuan itu bertabrakan.
“Hati-hati, dong! Untung aja bawaan saya enggak jatuh,” dumel si perempuan cantik padahal ponsel Apia lah yang lebih mengkhawatirkan sebab sudah tergeletak di lantai dengan posisi layarnya di bawah.
Astaga, apa kabar layar ponsel Apia!?
Segera Apia memungut ponselnya.
Begitu mengetahui kondisi terkini ponselnya, Apia berdecak sebal, “Sial..layarnya retak.”
“Itu salah kamu sendiri! Makanya kalau jalan jangan sambil main HP!”
Andai Apia tidak sedang berada di tempatnya bekerja dan masih mengenakan seragam petugas kebersihan, maka sudah tamat riwayat perempuan itu!
Menahan amarah serta tindakan ingin mencekík leher perempuan di hadapannya itu, dengan gigi atas-bawah menyatu, Apia berucap baik-baik, “Mohon maaf. Saya tidak sengaja menabrak Mbak.”
“Mbak-mbak..memangnya saya kakak kamu apa!? Minggir!”
Double shiiiit! Responnya sukses memerahkan kedua telinga Apia.
Ingin rasanya Apia menggunduli rambut cokelat bergelombangnya itu!
Tapi sayang..cantik banget rambutnya. “Buat apa penampilan dari atas sampai bawah oke kalau kelakuan minus? Idihh..” cibir Apia kemudian melanjutkan langkahnya sembari berusaha menyalakan kembali ponsel bututnya yang mati karena jatuh ke lantai.
Beberapa saat berlalu sejak insiden kurang menyenangkan di lobby rumah sakit tadi, Apia mulai dilanda panik karena ponselnya tak kunjung menyala. Segala cara telah Apia lakukan.
Biasanya saat ponsel bututnya rewel, Apia selalu mengetuk-ngetukkan ponselnya itu ke paha. Kali ini meski diketuk-ketukkan ke paha berulang kali sampai pahanya sakit, ponselnya tetap mati.
Ya Tuhan..baru kerja seminggu, gajinya bulan depan sudah dipalak untuk membeli ponsel baru.
“Memang, kamu saatnya pensiun. Tapi jangan sekarang dong..” bujuk Apia seolah ponselnya itu merupakan makhluk hidup yang akan bisa luluh saat dibujuk.
Tanpa Apia ketahui sejak tadi aksi lucunya bersama ponsel butut yang mati itu menarik perhatian seseorang. Ia sudah puas terkekeh terus di kejauhan. Kini ia sudah berdiri di belakang Apia yang terduduk di kursi taman rumah sakit. Ia menyahut pelan, “Siapa yang pensiun, Pia?”
“DOKTER RAIN!?”
Sepasang mata Apia melotot sempurna tatkala menoleh ke belakang dan mendapati sosok yang seharusnya ia hindari sudah berdiri tegak di sana.
Dokter Rain kemudian berjalan santai ke hadapan Apia dan berkata, “Ya, ini saya. Harus ya, pasang ekspresi wajah seperti itu? Ekspresimu saat ini berlebihan, Pia. Kamu seperti sedang melihat hantu saja..”
Menyadari itu Apia langsung menetralkan ekspresinya, berusaha biasa saja, walau sulit karena Apia takut dengan apa yang sebelumnya Dina sampaikan.
Takut terkena masalah tapi hatinya justru kembali mengagumi pria tampan bersinar ini. ‘Bukan hantu, Dokter! Tapi malaikat tampan yang turun ke bumi!’
“Kenapa diam?” tanya Dokter Rain tanpa ragu mengambil duduk di sebelah Apia.
Tak ingin suatu hal burúk menimpanya—karena dekat dengan Dokter Rain—segera Apia menggeser duduknya sampai ujung kursi taman. Untungnya bentuk kursi taman ini persegi panjang, jadi spacenya memang luas.
Saat duduk berjarak lebar, apa Apia tenang? Oh tidak.
Hatinya justru tak karuan. Ya takut, ya senang.
Hingga Apia yang sudah tidak bisa lagi menahan perasaan campur aduknya tiba-tiba berdiri dari duduknya. Gerakan cepatnya itu membuat Dokter Rain kian heran.
“Enggak apa-apa, Dok. Saya permisi.”
Apia membungkuk singkat lalu berjalan cepat meninggalkan Dokter Rain di belakang sana.
Sialnya Dokter Rain malah mengikuti Apia.
Karena Apia tidak bisa diberhentikan lewat suara, Dokter Rain pun terpaksa mencekal salah satu pergelangan tangan Apia. “Apia tunggu..”
Apia terkejut dan menatap tajam tangannya yang saat ini tengah dipegang oleh Dokter Rain. Sadar bahwa tindakannya telah melampaui batas, Dokter Rain segera melepaskan cekalan tangannya. Toh Apia telah berhenti melangkah.
“Saya salah bicara, ya? Maafkan saya,” ujar Dokter Rain begitu lembut.
Ini sih godaan.
Godaan berat!
Apia mana tahan diperlakukan sebaik ini?
“......” Bibir Apia memang enggan melontarkan sepatah kata pun, tapi kepalanya menggeleng. Itu artinya Dokter Rain tidak membuat kesalahan.
Senyum manisnya terukir. Rupanya ia lega..
Sementara Apia masih dilanda kebingungan dan tidak tahu harus mengatakan apa. Jujur mengenai apa yang sebelumnya Dina katakan padanya, tidak mungkin, kan? Seandainya Dokter Rain tahu..
“Lalu? Kenapa kamu tampak menghindari saya? Kita baru berkenalan. Saya pikir, kita bisa berteman dekat, Pia.”
Sebelumnya Apia juga berpikir begitu. Tapi saat tahu beberapa fakta tentang Dokter Rain..Apia mulai waspada.
Menjaga diri sendiri agar terhindar dari masalah yang tidak perlu itu jauh lebih penting bukan?
Apia menarik napas sebelum mengatakan, “Sebaiknya kita tidak terlalu dekat, Dok. Di sini saya benar-benar berniat kerja. Tolong jangan menempatkan saya dalam masalah.” Akhirnya Apia jujur walau setiap kalimatnya penuh ketidakjelasan. Memangnya apa hubungan berteman dekat dengan berniat kerja?
Apia pikir, Dokter Rain tidak akan mengerti dengan perkataannya barusan. Tapi ternyata..Apia salah.
Pria tampan itu terkekeh pelan lalu menghela napas lelah. “Rupanya kamu sudah tahu, ya, siapa saya sebenarnya? Termasuk rahasia umum tentang hubungan burúk saya dengan paman serta adik sepupu saya?”
Dengan kaku, Apia mengangguk, membenarkan dugaan Dokter Rain.
“Kamu jangan khawatir. Selama ada saya, mereka tidak akan berani macam-macam terhadapmu. Sejak pertama kali kita bertemu, feeling saya mengatakan bahwa kamu orang yang baik dan tulus, yang bisa saya jadikan teman. Maka dari itu tolong jangan menghindari saya, Apia. Saya cukup sedih mendapati sikapmu yang berubah begitu cepat seperti ini.”
Pernyataan Dokter Rain barusan telah berhasil meruntuhkan dinding pertahanan Apia yang baru terbangun.
Memang, salah Apia.
Yang membangun dinding tidak kokoh sehingga Dokter Rain yang bicaranya manis dan lembut ini bisa dengan mudah menghancurkannya dalam sebuah pernyataan cukup panjang.
‘Hanafi saja tidak pernah berbicara sepanjang ini dengan nada lembut. Andai Hanafi—sial! Kenapa jadi kepikiran Hanafi, sih!?’
Apia lantas memberi respon anggukan atas pernyataan sang dokter. Respon Apia itu membuat sang dokter tersenyum lebar. Apia sampai heran dibuatnya. Bagaimana bisa dokter muda tampan seperti Dokter Rain ini malah memilih berteman dengannya? Dunia sudah terbalik.
“Terima kasih sudah mau berteman dengan saya, Pia. Sebagai tanda awal pertemanan kita, bagaimana jika saya mengantarmu pulang? Ayo..”
“Tapi Dok—”
“Ponselmu mati total, kan? Saya tahu cara paling ampuh mengatasinya daripada mengetuk-ngetukkannya ke paha. Bukannya menyala, yang ada pahamu bisa membiru, Apia.”
Seperti anak kecil yang mudah sekali dibuat percaya, Apia antusias menanggapi Dokter Rain yang katanya mengetahui cara paling ampuh. “Beneran Dokter Rain tahu caranya biar ponsel butut saya ini menyala lagi!?”
Dokter Rain menjentikkan jarinya sampai menimbulkan suara. “Gampang itu..”
Mereka pun berjalan menuju mobil Dokter Rain. Apia masuk ke dalam mobil setelah dibukakan pintu oleh Dokter Rain. Tentu sebelumnya Apia menolak dengan dalih bisa membuka pintu sendiri, tapi Dokter Rain tak membiarkannya.
Tanpa mereka berdua ketahui, sejak tadi ada ayah dan anak berjas dokter yang sedang mengamati segala interaksi mereka dari kejauhan.
Si anak perempuan bertanya, “Apa yang Papa sedang pikirkan?”
“Kamu tahu betul, Nella. Memangnya apalagi selain menyeret petugas kebersihan itu dalam rencana kita selanjutnya? Berkat menonton drama murahàn barusan, Papa langsung punya ide. Kamu harus membantu Papa.”
***