Satu minggu berlalu sejak hari dimana Hanafi divonis koma.
Kusuma dan Atika selalu memohon kesembuhan Hanafi pada Tuhan Yang Maha Esa, berharap dalam waktu dekat Hanafi segera sadar dari komanya. Namun sepertinya mereka harus lebih bersabar lagi karena Hanafi tak menunjukkan tanda-tanda perkembangan.
Di ruang rawat inap VIP ini Hanafi terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya yang selalu ceria saat bersama Kusuma dan Atika, kini terlihat pucat tanpa seulas senyum sedikitpun.
“Mama kangen Han, Pa..” ungkap Atika lirih karena dadánya sesak melihat kondisi sang putra yang tak kunjung mengalami perkembangan.
Atika dengan telaten menyeka lengan tangan Hanafi secara bergantian.
Seperti inilah rutinitas Atika. Ibu yang sangat menyayangi anaknya itu tak hanya menjaga sang anak tapi juga membersihkan tubuh anaknya agar tetap terawat.
Sebagai anak, Hanafi pasti senang dan bangga memiliki ibu penyayang seperti Atika. Sosok wanita yang tak akan pernah meninggalkannya dalam kondisi apapun, dalam senang maupun sedih.
Teringat akan Lorena yang sampai detik ini masih berstatus Kekasih Hanafi bahkan rencananya Hanafi dan Lorena akan melangsungkan acara pertunangan dalam waktu dekat, Atika dengan memasang raut wajah sedihnya mengeluh, “Sudah beberapa hari ini Lorena tidak memberi kabar. Tidak pula berkunjung kemari untuk menjenguk Han. Apa itu artinya Lorena..”
Atika menggantungkan kalimatnya karena tak sanggup mengetahui kenyataan pahit dimana Hanafi ditinggalkan oleh sang kekasih tercinta disaat-saat seperti ini. Mungkinkah Lorena setega itu?
Kusuma mencoba menenangkan sang istri dengan optimis dan berpikir positif. “Artinya apa, Ma? Mama jangan berpikiran macam-macam. Lorena itu model, mungkin Lorena sedang banyak job, jadi belum sempat memberi kabar apalagi kemari.”
Sibuk?
Entah mengapa? Kali ini Atika sulit untuk memberi Lorena pemakluman. Sampai Atika sedikit terbawa emosi. “Tapi kan saat ini Han—”
“Kehidupan Lorena terus berjalan, Ma. Kita boleh bersedih dan berhenti sejenak untuk fokus merawat Han, tapi Lorena? Papa rasa Lorena harus terus menjalani hari-harinya walau pasti terasa berat tanpa Han yang selalu ada untuknya.” Begitu potong Kusuma secara tepat dan cepat. Tujuannya agar Atika berhenti memikirkan hal-hal yang kian membuatnya bersedih. Kondisi Hanafi saat ini saja sudah cukup untuk membuat mereka bersedih, terpukul. Tidak perlu menambah kesedihan lain..
“Perasaan Mama tidak enak, Pa.”
“Karena memikirkan hubungan mereka?” duga Kusuma tepat sasaran karena saat itu juga Atika menganggukkan kepala.
“Apalagi Han tak menunjukkan perkembangan apapun. Mama sedih..”
Kali ini Kusuma tersenyum tulus, memandangi Atika dan Hanafi secara bergantian, lalu berkata, “Baru satu minggu kita berlatih sabar, Ma. Mungkin Tuhan ingin kita berlatih sabar lebih lama lagi. Mama tahu, kan, buah dari kesabaran itu manis? Rasanya lebih manis dari madu.”
Karena kata-kata suaminya barusan, Atika kembali tersenyum. Suasana hatinya yang semula mendung kini berubah cerah. “Han pasti bangga punya Papa.”
“Juga bangga punya Mama pastinya.”
Orang tua itu berusaha memberi semangat satu sama lain demi sang putra tunggal yang saat ini sedang berjuang antara hidup dan mati.
“Kita selalu seperti ini ya, Pa. Selalu kuat untuk Han. Han pasti sembuh, kan?”
“Pasti, Ma. Jika minggu depan Han tak kunjung menunjukkan tanda-tanda perkembangan, sebaiknya kita bawa Han ke luar negeri untuk berobat.”
Akhirnya Kusuma memutuskan demikian. Kusuma akan melakukan apapun demi Hanafi. Termasuk memindahkan Hanafi ke rumah sakit yang lebih besar daripada rumah sakit ini. Yang tentu saja di dalamnya memiliki berbagai peralatan, metode pengobatan, hingga tenaga medis yang mumpuni. Semua Kusuma rela lakukan demi bisa menyadarkan Hanafi. Itulah secuil perjuangan seorang ayah untuk putranya.
Seraya mengamati wajah pucat Hanafi, Kusuma dan Atika berdoa dalam hati.
‘Sembuhkan putra hamba ya Tuhan, sehingga keluarga kecil hamba dapat kembali merasakan apa itu bahagia.’ — Kusuma.
‘Jangan ambil putra hamba ya Tuhan. Hamba belum siap. Jika hamba bisa bertukar posisi dengannya, maka itu sudah hamba lakukan sejak kemarin-kemarin.’ — Atika.
Meninggalkan orang tua yang sedang bersedih karena putranya tak kunjung sadar dari koma, di sebuah apartemen mewah kakak-beradik justru sedang terlibat adu mulut.
“Duhh..Kak, bantu mikir dong! Jangan mabuk terus!” Si adik frustasi sampai mengacak-acak rambut badainya. Padahal baru sore tadi ia pergi ke salon untuk menata rambutnya itu.
Sebagai model ia harus selalu memperhatikan penampilannya dalam keadaan apapun, tak peduli meski sang kekasih sedang koma.
‘Memang apa urusannya denganku?’ batinnya saat mengingat keadaan sang kekasih.
“Ini lagi mikir, Rena. Biarin gue minum dulu satu tegukan.” Si kakak merebut kembali botol minuman yang sebelumnya disingkirkan si adik yang selalu dipanggilnya ‘Rena’. Kemudian mulai meneguk minuman nikmat itu tanpa menuangkannya ke dalam gelas kesayangan terlebih dulu.
‘Rasanya tetap nikmat dan yang pasti setelah ini otak gue baru bisa dipakai mikir.’
Memang agak lain Kakak Lorena ini..
Mereka Lorena dan Lorenzo, saudara kandung yang hanya memiliki satu sama lain karena kedua orang tua mereka telah tiada. Mereka bukanlah saudara kembar meski namanya seperti anak kembar.
Selisih usia dua tahun membuat Lorena tak bisa benar-benar menghormati kakaknya itu. Ditambah kelakuan kakaknya yang banyak minusnya daripada plusnya!
“Gue harus alasan apa buat ninggalin tuh cowok sakit-sakitan, Kak!? Alasan apaa?” tanya Lorena yang entah sudah keberapa kalinya? Telinga Lorenzo sampai merah, antara kesal dan bosan mendengar pertanyaan berulang itu.
“Bentar, lagi mikir..” balas Lorenzo sekenanya, tapi sungguh saat ini ia sedang berpikir keras.
Meski sulit Lorena percaya. “Lo enggak lagi mikir, Kak. Tapi lo lagi hilang kesadaran! Emang enggak pernah becus lo jadi kakak!”
Penghináan sang adik barusan tak membuat Lorenzo marah. Yang ada malah memberi dorongan semangat agar ia bisa segera memberi ide cemerlang sehingga sang adik terlepas dari beban berupa kekasih sakit-sakitan.
Beberapa saat kemudian, Lorenzo bersuara, “Gue ada ide.”
“Apa!?” kesal Lorena karena tak yakin ide itu sungguhan, melihat kondisi kakaknya saat ini yang mabuk, wajar jika Lorena meremehkan.
“Santai, dong. Ngomong baik-baik tanpa urat kan bisa.”
Lorena menghela napas lelah dan menurut, “Iya-iya.. Ide apa, Kakakku Sayang?”
“Bilang aja bahwa lo dapat kerjaan di Amerika. Kerjaan kontrak. Lima atau sepuluh tahun, kek.”
“Terus?”
“Ya lo jangan pernah lagi muncul di hadapan orang tua Hanafi! Pokoknya jangan berurusan lagi sama mereka! Bilang ke mereka kalau lo mau fokus sama karier lo. Gue yakin mereka bakal ngerti. Lagipula enggak ada yang tahu kapan Hanafi akan sadar. Lo masih muda, lo berbakat, come on, mereka harusnya ngertiin lo, minimal sadar bahwa kondisi anaknya yang kayak gitu enggak bisa dipaksain buat bersanding sama lo yang sempurna kayak Dewi Yunani ini.”
Diteriaki kemudian dipuji-puji, Lorena kadang bingung harus marah atau senang? Tapi itu tidak penting karena yang terpenting sekarang adalah ide itu bagus dan cukup masuk akal.
Alasan karier. Siapa yang sanggup menyanggah? Bisa apa mereka menahannya?
“Ide lo boleh juga, Kak. Thanks! Tapi gue harus pergi kemana? Ke Singapore lagi? Deket banget, dong.”
Lorenzo tampak berpikir sejenak sampai kemudian memperdengarkan kembali ide gilànya, “Ke Amerika beneran aja. Coba usaha cari job di sana. Masa enggak ada satupun yang nyangkut di lo? Lo model terkenal, Rena. Jangan kayak orang susah. Gunain koneksi orang. Bukannya lo punya banyak kenalan. Pilih satu, senengin, terus manfaatin.”
Detik itu juga senyum Lorena mengembang sempurna. Ia memuji sekaligus mencelà kakaknya, “Gue akui, kalau soal beginian otak lo encer, Kak. Tapi kalau soal ngejalanin bisnis peninggalan mama sama papa, kenapa blooń ya?”
“Sialàn lo!” umpàt Lorenzo sambil menarik pelan rambut panjang adiknya.
Lorena malah ketawa cekikikan, lantas merebut botol minuman keras dari tangan Lorenzo. “Jangan minum-minum terus, Kak. Urusin tuh perusahaan. Perasaan enggak ada perkembangan sejak dipegang Kakak.”
“Diam lo! Gue lagi usaha, jangan nyinyir.”
“Iya-iya.. Si Paling Usaha,” cibír Lorena tepat di telinga kiri Lorenzo, sengaja, agar Lorenzo dapat mendengar cibírannya itu dengan jelas.
Tak terima dicibír habis-habisan seperti itu, Lorenzo bermaksud membalas dendam dengan menindih tubuh sekecil lidi itu sampai mengaduh kesakitan. Sayangnya belum sempat rencana itu Lorenzo lancarkan sang adik sudah berdiri dari duduknya seraya memperlihatkan layar ponsel yang menyala-mati ke arahnya.
“Eh bentar, Kak, Mama Hanafi telepon!”
Lorena menjauh dari Lorenzo yang terlihat kembali minum.
“Ck, ngapain sih telepon-telepon? Pasti nyuruh gue jengukin Hanafi. Nyebelin banget!”
Setelah menggeser tombol telepon berwarna hijau, omelan Lorena seketika berubah menjadi sapaan lembut nan sopan.
“Halo, Tante Atika? Kabar Lorena baik. Maaf akhir-akhir ini Lorena sibuk. Lorena usahakan besok ke rumah sakit untuk menjenguk Hanafi. Tante mau dibawakan apa? Ooh begitu ya, Tante. Baik, Tante. Sekali lagi maafin Lorena ya, Tante. Sampai jumpa besok, Tante.”
Ekspresi Lorena sungguh tidak mengenakkan. Untung saja ini panggilan suara bukan video. Memang, bibirnya sedang berucap manis tapi dalam hatinya memaki-maki mengapa ia masih harus berurusan dengan keluarga kekasihnya yang sakit-sakitan itu!?
Bikin ribet hidupnya saja!
“Nyebelin banget, kan?” tanya Lorena begitu kembali.
“Lo pintar sandiwara.” Lorenzo mengangkat jari jempol tangan kirinya. Tangan kanannya? Memegang botol minumanlah!
Dengan bangganya Lorena menyelipkan rambut bagian kanannya ke belakang telinga. “Ya iyalah, this is part of my job.”
Lorenzo kembali sibuk minum. Sedangkan Lorena mengganti wallpaper ponselnya yang semula foto dirinya dan Hanafi menjadi hanya foto dirinya saja.
‘Sorry, Hanafi. Aku tidak secinta itu padamu. Aku tidak sudi setia menunggumu. Aku yakin kecil kemungkinanmu untuk hidup dan aku sudah sangat siap kehilanganmu.
Segeralah mati, Hanafi.
Biarkan aku hidup bebas dan bahagia di dunia ini.’
***