waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa sudah sebulan aku menjalani pernikahan poligami ini. walaupun statusku menikah, tapi kenyataannya seperti aku tidak menikah, selama sebulan ini mas Rei selalu tidur bersama mbak Raline, ia juga tidak pernah banyak bicara padaku jika memang tidak ada perlu, sepertinya ia sangat menjaga jarak dariku, ia memang menafkahi ku secara lahir, masih memerhatikah keperluan pribadiku, disamping keperluan rumah, ya karena mbak Raline sudah mulai kembali bekerja, jadi mas Rei menanggung jawabkan segala keperluan rumah kepadaku, kendati demikian mbak Raline, masih membatuku membereskan pekerjaan rumah, bahkan untuk bajunya dan baju mas Rei ia yang mengurusnya, ia juga sering membantu menyiapkan sarapan atau makan malam, atau membantu membersihkan peralatan makan kami jika memang aku yang memasaknya, sebaliknya, jika ia yang memasak, maka aku yang membereskannya.
aku tidak mengerti pernikahan apa yang sedang aku jalani ini, nyatanya janji mas Rei yang akan bersikap adil kepadaku, tidak ia laksanakan, ia memang memberikanku banyak materi, namun ia tetap mengacuhkanku. pernah ku dapati ia berselisih paham dengan mbak Raline, karena sikapnya yang terlalu acuh kepadaku, mbak Raline sudah menyuruhnya agar membagi waktunya denganku, dan tidur di kamarku, namun ia malah lebih memilih untuk tidur di ruang kerjanya, ya ruangan yang selalu tertutup itu ternyata ruang kerja mas Rei, yang baru ku ketahui memiliki banyak sekali kenangannya dengan mbak Raline, dilihat dari banyaknya photo-photo yang mereka abadikan di segala kegiatan, mulai dari mereka sekolah sampai dewasa.
jika kalian bertanya tentang perasaanku bagaimana, tentu saja aku akan menjawab bahwa aku sangat sakit mendapati perlakuan seperti itu dari suamiku sendiri, tidak tahu sudah seberapa banyak air mata yang keluar, mas Rei selalu menganggapku tidak ada, terkadang mbak Raline datang menghampiriku, ia juga selalu meminta maaf kepadaku atas segala perbuatan mas Rei kepadaku. aku sendiri bingung kepadanya, tidakkah ia ingin memiliki mas Rei seutuhnya untuk dirinya sendiri dan membebaskanku dari pernikahan ini? jika itu terjadi, aku akan dengan ikhlas menerimanya, dari pada seperti ini, menjalani pernikahan yang entah harus ku sebut apa.
karena merasa sangat bosan di rumah, biasanya aku melakukkan kegiatan di sekitar rumah, ternyata perumahan ini memiliki berbagai kegiatan yang sangat aktif dan positif. selain rutin mengikuti kajian, aku juga sesekali membantu mengajar anak-anak panti yang ada di dekat sini. hanya mengajar biasa, bukan mengajar secara formal, setiap kegiatan yang ku jalani di luar rumah, sebisa mungkin aku izin dengan suamiku, entah ia menganggapku istrinya atau bukan, tetapi karena statusku adalah seorang istri, maka sebelum menjalani kegiatanku aku izin terlebih dahulu kepadanya.
hari ini hari minggu, mas Rei dan juga mbak Raline sedang libur bekerja, setelah sarapan aku dan maduku sudah disibukkan dengan merawat tanaman kami. tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi, seperti biasa, jam segini merupakan waktu untukku belanja sayuran di tukang sayur. ketika aku telah bersiap, mbak Raline menghamipirku.
“ Han, kamu mau belanja sayur ya? aku boleh ikut gak?”
“ silahkan mbak kalo mau ikut, ayo!” ajakku.
ku lihat tukang sayur sedang ramai pembeli, banyak ibu-ibu yang sudah mengelilinginya.
“ eh mbak Hanna, mau beli sayur juga mbak?” Tanya salah satu ibu-ibu yang ku ketahui bernama Mirna.
“ iya bu Mirna, saya mau belanja.”
“ eh ini istri keduanya mas Rei ya?”
suasana ini membuatku sangat canggung. aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. mbak Raline hanya diam saja tidak menanggapi, mungkin karena ia juga merasa canggung. lalu tak lama ibu-ibu yang lain menimpali.
“ cantik sih, tapi kok mau dijadiin istri kedua? apa gak bisa nyari yang lain?”
sungguh aku merasa sangat tidak enak hati kepada mbak Raline. akhirnya aku hanya mendiaminya saja dan cepat-cepat menyelesaikan belanjaan kami, agar kami segera bebas dari kerumunan ibu-ibu ini.
untuk mengalihkannya aku mengajak mbak Raline berbicara, aku dapat melihat raut kesedihan diwajahnya.
“ mbak mau beli apa, apa mbak lagi mau memasak sesuatu?”
“ aku mau beli ini Han, kwetiau, aku sedang kepingin kwetiau goreng yang pedas.” jawabnya
tak lama ia mengambil sebungkus kwetiau juga bakso dan sosis tak lupa mengambil sayur untuk pelengkapnya.
lalu ku dengar lagi ibu-ibu bergosip dengan berbisik.
“ lagi pengin yang pedes-pedes katanya say. mungkin lagi ngisi.”
“ ih iya, biasanya kalo lagi ngisi sukanya yang asem sama yang pedes-pedes”
" masih gak nyangka ya say, mas Rei yang pendiam ternyata menghanyutkan."
“ ah bisa jadi mungkin awalnya dia ngegodain mas Rei, terus khilaf, eh tekdung duluan deh.”
ibu-ibu yang lain menimpali.
“ iya, mana mungkin muka sekalem mas Rei begitu, apalagi mbak Hanna sangat cantik, masih muda juga, sholehah lagi. sering ikut kajian di masjid kan.”
“ iya bisa jadi, terus kebablasan, tekdung dia minta dinikahin deh.”
" gak tahu malu ya, mana tinggal bareng ma istri tua."
mbak Raline sudah menahan tangisnya, setelah kami selesai aku berpamitan kepada ibu-ibu tersebut, aku sungguh geram, namun aku juga tidak bisa berbicara apapun.
baru beberapa langkah ku dengar salah satu ibu-ibu sengaja berbicara dengan keras.
“ eh jeng, ayo cepetan belanjanya, kita juga harus rutin perawatan biar gak kalah cantik dengan pelakor. jangan kita udah susah-susah ngurus rumah, jadi kita lupa perawatan. terus pelakor dengan modal kecantikannya malah ngegodain suami kita, gara-gara kita lupa ngerawat diri.”
“ ih iya bener say, yang dibilang mpok siti, pelakor zaman sekarang cantik-cantik. tuh lihat mbak Hanna aja yang cantiknya masya Allah, sholehah, baik hati, rajin, pinter masak ma pinter ngurus rumah, masih aja di duain. mana pelakornya cantik pula. ih malah diajak tinggal serumah pula sama mbak Hanna. bener-bener gak tahu malu ya say.”
“ iya, pelakor sok-sokan kerja di kantoran, eh urusan pekerjaan rumah tangganya dikasih deh ke istri tua, eh tapi kan mbak Hanna masih muda banget ya. malah pelakornya yang lebih tua dari mbak Hanna”
“ iya, padahal kalo ngerasa cantk cari aja sih orang lain yang masih single buat dijadiin suami.”
“ eh jangan salah, prinsip mereka itu adalah suami orang lebih menantang say”
sudah cukup aku mendengar segala cacian yang dilontarkan untuk maduku, faktanya pernikahan kami memang rumit. karena tak kuasa mendengarnya ku beranikan diri membela mbak Raline. ku tatap satu-satu wajah mereka.
“ maaf ibu-ibu, tapi mbak Raline tidak seperti yang kalian kira, kami sama-sama ikhlas mejalankan pernikahan ini. jika memang ibu-ibu tidak tahu kejadian yang sebenarnya, lebih baik diam dan jangan berbicara yang tidak-tidak, itu akan menjadi fitnah nanti. kami permisi dulu bu.”
lalu masih saja aku mendengar hinaan dari mereka, sungguh aku merasa sangat tidak enak dengan mbak Raline.
“ tuh lihat mbak Hanna, terlalu polos jadi orang, jadi gampang di bodohin deh, mana ada pelakor baik hati, saya percaya pelakor itu hanya pura-pura baik, nanti setelah tahu kelemahan mbak Hanna, pasti deh mbak Hanna akan di depak keluar dari rumah, terus dia deh yang berkuasa di rumah itu jeng. lihat aja nanti.”
“ eh ada apa ini pagi-pagi udah ngegossip aja, ayo bubar-bubar, sana masak, kasian anak ma suami kalian sudah pada lapar tuh.”
bu RT datang membubarkan ibu-ibu yang bergosip tadi.
ketika sampai rumah. mbak Raline langsung berlari ke kamar, dapat ku pastikan ia sedang menangis mendengar cacian dari ibu-ibu tersebut, aku pun sangat terkejut mendengar ungkapan-ungkapan frontal dari ibu-ibu tersebut, padahal selama ini tidak pernah sekalipun aku mendengarnya. namun entah mengapa ketika aku belanja dengan mbak Raline mereka seperti mendapat umpan segar, dan mengeluarkan segala ucapan-ucapan yang sangat tajam itu.
karena merasa tidak enak, aku mencoba menghampiri mbak Raline ke kamarnya. ku ketuk perlahan pintunya, bagaimanapun ini ruangan privasi suamiku dan maduku.
“ mbak, aku masuk ya.” setelahnya aku menghampirinya.
“ mbak, maafin aku ya, mungkin kalo aku tidak menerima perjodohan ini, ini semua gak akan terjadi, mbak akan tetap bersama mas Rei, tanpa ada aku yang menjadi penghalang cinta kalian.” sambil menangis ku mengucapkannya.
“ Hanna, seharusnya mbak yang bilang begitu, benar kata mereka, mbak murahan, mbak jahat udah masuk kedalam kehidupan rumah tangga kalian. harusnya mbak menolak dengan tegas ketika Rei meminta mbak menikah dengannya.”
“ enggak mbak, mas Rei hanya mencintai mbak Raline, walaupun mbak tidak menikah dengan mas Rei, belum tentu mas Rei tetap akan menerima pernikahan ini.”
akhirnya dengan sambil berpelukkan kami sama-sama saling menangisi jalan kehidupan kami. tidak mudah jalan yang kami lalui, harus menekan segala ego yang kami memiliki. jika aku harus selalu terluka karena berharap sedikit perhatian dari suamiku, berbeda dengan maduku, ia harus juga rela membagi cinta kekasihnya untukku, istri pertamanya. belum lagi sangsi sosial yang harus mbak Raline terima, karena dituduh perebut suami orang, padahal yang terjadi bukanlah demikian, kami sama-sama terjebak dengan takdir rumit.