Perubahan Bu Narti

1421 Kata
Rania merasa tidak tenang sebelum mengetahui keadaan Bu Narti. Malam itu juga dia bergegas ke luar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju kamar Bu Narti yang berada di area ruang tengah. Langkah Rania memelan saat melihat Bu Narti yang masih dipapah Pak Jono menuju dalam kamar. Dia belum berani mengikuti keduanya sebelum Bu Narti mengizinkannya. Akhirnya, dia pun memutuskan berdiri saja di mulut pintu kamar. Tak lama kemudian, Pak Jono muncul dari dalam kamar Bu Narti. Dia tersentak melihat Rania yang berdiri dengan wajah cemas. "Lho. Mbak Rania belum tidur?" tanyanya cepat. "Ada apa dengan Bu Narti, Pak?" tanya Rania. Dia tidak mempedulikan pertanyaan Pak Jono barusan. "Oh. Sakit. Bronkitis," jawab Pak Jono pelan. Rania sepertinya belum puas dengan jawaban Pak Jono. "Mau liat?" tawar Pak Jono. Rania mengangguk. "Batuk-batuk. Bisa nular lo," Rania tersenyum. "Bronkitis nggak nular, Pak," ucapnya. Pak Jono terkesima dengan senyuman Rania. Duh, sudah cantik, baik lagi. Pingin tak peluk, batinnya. "Saya tanya dulu ya, Mbak," pamit Pak Jono. Rania mengangguk lagi. Pak Jono pun kembali memasuki kamar Bu Narti. Beberapa detik kemudian, Pak Jono ke luar dari kamar Bu Narti dengan senyuman. "Masuk saja katanya," ucapnya sambil mengarahkan ibu jari kanannya ke dalam kamar Bu Narti. Rania senang. Dia pun tidak lupa mengucapkan terima kasih sebelum melangkah memasuki kamar Bu Narti. Rania sedikit terperangah melihat keadaan kamar Bu Narti bak hotel berbintang. Kamar yang cukup luas dengan perabotan-perabotan mewah. Ada sofa empuk berukuran besar, lemari baju besar dan lemari kaca yang berisi jejeran tas-tas yang harganya jutaan rupiah. Kasur yang ditiduri Bu Narti pun besar dengan penyanggah berbahan kayu jati. Belum lagi meja rias yang dilengkapi peralatan make up yang tertata rapi di atasnya. Rania perlahan mendekati tubuh bongsor Bu Narti yang terkulai lemas. "Duduk di situ aja, Rania," ujar Bu Narti yang tidak ingin Rania berada di dekatnya. Perasaan Rania seketika hangat saat namanya disebut Bu Narti. Selama tinggal di rumah suaminya itu, Bu Narti enggan menyebut namanya. "Nggak papa, Bu," "Takut nular," Rania tetap berdiri di dekat Bu Narti. "Nggak, Bu. Asal jaga kesehatan, Insya Allah nggak nular," ucap Rania. Bu Narti tersenyum lemah. Dia tepuk-tepuk kasurnya memberi isyarat agar Rania duduk di atas kasurnya. Dia masih terbatuk-batuk. Rania perlahan duduk di sisinya seraya mengusap-usap punggung Bu Narti dengan gerakan memijat. Sedih juga melihat keadaan Bu Narti yang lemah tak berdaya. Biasanya Bu Narti tampak garang dan gerak tubuhnya yang lincah saat bekerja. Suaranya pun terdengar sangat serak, tidak senyaring biasanya saat memarahinya. "Kamu sibuk ngajar?" tanya Bu Narti setelah selesai dari batuknya. "Iya, Bu. Seperti biasa," jawab Rania pelan. "Hm, apa kamu bisa bantu aku?" tanya Bu Narti tanpa basa basi. "Bantu apa, Bu?" Rania balik bertanya. "Buat sarapan Pak Alarik, makan malam juga. Menu makanannya ada di dalam laci meja dapur yang cantelannya kepala singa," Rania tersenyum mendengar penjelasan Bu Narti. "Hm. Satu lagi, cucianku numpuk, Rania," Rania tidak segera menjawab. "Sudah dua hari ini Bapak makan di luar terus," keluh Bu Narti. "Gimana, mau ya? Aku kasih kamu upah lebih, Rania...." Rania tergelak. Dia tidak tersinggung dengan tawaran Bu Narti. "Nggak papa, Bu. Nggak usah diupah. Aku akan bantu Ibu," ucap Rania. "Emangnya kamu digaji berapa di sana? Nggak takut dipotong gajimu kalo nggak ngajar beberapa hari? Sakitku ini kata dokter paling cepet satu minggu pulihnya, karena belum akut, kalo akut bisa berbulan-bulan," Rania tergelak lagi. "Gajiku makan siang, Bu," jawab Rania dengan senyum hangatnya. Dia adalah guru sukarela di tempatnya mengajar. "Maksudnya?" delik Bu Narti. "Yah, nggak digaji tetap, Bu. Aku bekerja secara sukarela. Tapi aku tetap akan minta izin kalo telat atau nggak bisa datang. Bisa diatur waktunya," Bu Narti memiringkan tubuhnya menghadap Rania. Dia raih tangan Rania yang memijit punggungnya, lalu menggenggamnya erat. "Terima kasih, Rania," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Sudah, Bu. Nggak papa. Yang penting Ibu sehat dulu." *** Rania dengan semangat mempersiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Saking semangatnya, dia iseng mempersiapkan bekal makan siang juga untuk Alaric santap di kantor. Dia beri tulisan berupa pesan lengkap di bungkusan kain penutup kotak-kotak makanan dan minuman, dari pesan jangan lupa dibawa untuk makan siang, sampai cara menghangatkannya di microwave. Rania benar-benar memanfaatkan momennya. Pada hari pertama menggantikan tugas Bu Narti, Rania sedikit kecewa karena bekal yang dia persiapkan tidak disentuh Alaric. Tapi Rania tidak putus asa, hari selanjutnya dia tetap mempersiapkannya. Alhasil, Alaric membawanya. Rania akhirnya mengetahui alasan Alaric tidak membawa bekal sebelumnya, yaitu karena Rania tidak meletakkannya di atas meja makan saat Alaric menikmati sarapan paginya. Rania pandai mengatur waktunya. Setelah ibadah Subuh, dia sudah berada di dapur. Rania sibuk membuatkan apa saja yang diperlukan suaminya, sarapan pagi dan bekal makan siang. Rania juga persiapkan sarapan buat Bu Narti dan dirinya. Setelahnya, dia rapikan ruang tamu dan teras rumah. Rania yang hafal jam-jam Alaric ke luar dari kamarnya, berusaha agar dirinya tidak terlihat di mata Alaric. Dia tidak mau mengganggu perasaan Alaric. Dia sangat tahu kehadirannya akan membuat masam wajah tampan Alaric. Setelah memastikan Alaric pergi dari rumah pagi-pagi, Rania lalu menyapa dan merawat Bu Narti sebentar, sekadar menanyakan kabar dan memijat-mijat punggungnya. Selama sakit dan dirawat Rania, Bu Narti benar-benar berubah. Dia tidak lagi segarang sebelumnya. Tutur katanya sopan dan lemah lembut. Setiap Rania datang ke kamarnya, wajah Bu Narti sangat ceria. "Hari ini nggak ngajar?" tanya Bu Narti. Biasanya Rania datang ke kamarnya lebih pagi dari biasanya, sebelum berangkat mengajar. "Kebetulan ada rapat pengurus yayasan jam delapan. Jadwal mengajarku nanti jam sebelas," "Pulangnya?" "Ya, seperti biasa, Bu. Jam lima," Bu Narti manggut-manggut. "Cucian kamu lebih wangi dan lebih rapi," puji Bu Narti. Selama sakit, Rania yang mengurus semua cucian, dari pakaian Alaric, pakaian Bu Narti, juga pakaian dirinya. "Aku pisah-pisah, Bu. Kalo campur ya bau," tanggap Rania datar. Bu Narti tertawa malu. Selama ini dia mencuci baju tanpa memilah-milah antara bajunya dan baju majikannya. "Repot, Ran," "Nggak kok. Kan cuma pencet-pencet," Bu Narti tertawa kecil. Rania juga. "Kamu kok malah nggak mau ketemu suami," gumam Bu Narti tiba-tiba. Rania mendelik heran. "Kata Pak Jono, kamu kalo udah selesai ngapa-ngapain di dapur suka buru-buru ke kamar. Kayak takut ditegur Pak Alaric," Rania tersenyum tipis. "Nggak mau ganggu ... biar sama-sama nyaman, Bu," ucapnya. Beberapa saat kemudian, Rania menghentikan pijatannya. Dia bereskan tempat tidur Bu Narti. "Udah mau siap-siap?" tanya Bu Narti. "Iya, Bu," "Hati-hati, Rania. Hm, aku kasih uang, mau?" tawar Bu Narti hati-hati. Rania yang sedang melipat selimut tebal Bu Narti menggeleng tersenyum. "Katanya nggak digaji," Rania tersenyum. Dia letakkan selimut yang sudah dia lipat. Dia kembali mendekati Bu Narti. "Nggak usah, Bu. Simpan aja. Uangku masih cukup," ujarnya sambil membelai pipi Bu Narti. "Hm, Makasih, Bu. Sudah ngajarin aku," ucapnya kemudian. Nada suaranya sangat lembut. "Aku tinggal ya, Bu," pamitnya saat melihat bibir Bu Narti mulai gemetar. Rania dengan gerak cepat melangkah menuju pintu kamar Bu Narti. Tampak Bu Narti terkesima melihat tubuh Rania dari belakang. Matanya berkaca-kaca menyadari sikap jahatnya terhadap Rania. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel. Bu Narti perlahan meraihnya dari meja kecil samping tempat tidur. Wajahnya menunjukkan keengganan. "Ya, Mbak?" "Masih sakit?" "Sudah mendingan," "Yang bikin bekal siang Alaric siapa ya, Bu?" "Aku, Mbak," "Wah. Enak banget lo. Besok buatin yang sama kayak hari ini ya, Bu? Aku cuma kebagian sedikit. Alaric yang banyak habisin," "I ... iya. Kalo sempat ya, Mbak," "Kok kalo sempat sih?" "Kan masih keliyengan," "Oh. Ok," Bu Narti letakkan ponselnya kembali di atas meja kecilnya dengan perasaan gamang. Dia baru tahu bahwa ternyata Rania juga mempersiapkan bekal siang untuk suaminya. Padahal dia tidak menyuruhnya. Sudah lama sekali dia tidak membuatkan bekal siang untuk majikannya tersebut, sejak Alaric memintanya untuk tidak lagi mempersiapkan bekal siangnya beberapa bulan lalu. Dan dia tidak tahu apa alasannya. Bu Narti pun lagi-lagi terpaksa berbohong kepada Alea. Dia tidak ingin hal-hal buruk menimpa Rania. *** Ini hari keempat Rania 'bekerja' di dapur rumah suaminya. Seperti biasa, dia lakukan dengan semangat dan sepenuh hati. "Gimana keadaan Bu Narti?" Rania terkejut. Ternyata Alaric sudah duduk rapi di kursi makan dan siap-siap menyantap sarapan pagi yang sudah dia persiapkan. Sementara dirinya sedang membersihkan dapur. "Oh. Eh..., mendingan, Mas. Sudah bisa berdiri dan jalan-jalan ke luar," jawab Rania gugup. Tidak menyangka Alaric pagi ini ke luar dari kamarnya lebih cepat dari biasanya. Hening setelahnya. Hanya terdengar bunyi sendok yang beradu pelan dengan mangkuk. "Hari ini nggak perlu siapkan makan malam. Aku pulang larut malam," ucap Alaric sambil berdecak menikmati sarapan bubur ayam kesukaannya. "Baik, Mas," ucap Rania. Cepat-cepat dia sudahi pekerjaannya. Lalu dengan cepat pula dia pergi dari dapur menuju kamarnya. Tampak Alaric memperhatikan punggung Rania sampai di depan pintu kamarnya. Lalu lanjut menikmati buburnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN