Jika sebelumnya kedatangan Alea di kantornya sangat membahagiakan Alaric, kini kehadiran Alea di kantornya meresahkan suasana hatinya. Hampir setiap hari Alea pasti tidak lupa menyinggung Rania di setiap pembicaraan, dan pasti berakhir dengan rengekan atau tangisan yang sangat menyebalkan Alaric. Padahal Alaric sudah merasa nyaman dengan hari-harinya sekarang. Dia tidak perlu berurusan dengan Rania karena Rania memiliki kesibukan sendiri dan tidak mengganggunya. Sehingga dia bisa menikmati kebersamaannya dengan kekasihnya.
Dia pun senang dengan sikap Rania yang penurut dan tidak aneh-aneh atau drama. Belum ada ocehan dari tetangga atau aduan dari keluarga tentang Rania kepadanya. Alaric yakin Rania teguh memegang kata-katanya bahwa dia tidak akan mengganggu dan menuntut macam-macam kepadanya.
Lebih-lebih sekarang ini. Sikap manja Alea makin menyebalkan Alaric, karena ada hal lain yang menjadi beban pikiran, yaitu keadaan Bu Narti yang masih sakit. Meskipun sedikit lega saat mengetahui Rania yang mau merawatnya, tetap ada kekhawatiran yang dia rasakan. Bu Narti sebelumnya tidak pernah sakit lama seperti ini.
"Maaf, Ric," ucap Alea yang wajahnya sudah bersimbah air mata.
"Kamu sih, sudah aku bilang. Dia nggak ganggu aku. Dia punya kegiatan sendiri,"
"Kenapa dia nggak pindah aja dari rumah kamu?"
"Alea. Masalah akan jadi lebih rumit jika dia tinggal di tempat lain,"
Alea menghempaskan napasnya kesal. Sebal setiap kali menyadari bahwa ada perempuan lain di rumah Alaric.
"Kamu kan tau kegiatanku sehari-hari. Rumah utamaku di kantor dan bersama kamu. Kamu nggak percaya aku?"
"Bukan nggak percaya. Tapi, ck,"
Alaric beranjak dari hadapan Alea menuju meja kerjanya.
"Ric. Please," rengek Alea.
"Apa lagi?" decak Alaric kesal. "Sudah berkali-kali aku bilang sama kamu. Please, Alea, bantu aku. Bantu aku supaya bisa tenang menjalankan hari-hari seperti biasa sama kamu,"
"Tapi kamu menikah,"
Alaric hempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya menghadap ke layar komputer besarnya sambil menggerakkan mouse komputer.
Alea yang panik dengan Alaric bersikap acuh tak acuh, mendekati Alaric dan duduk di atas pangkuannya.
"Maaf, Ric," ucapnya dengan tatapan merayu. Dia usap-usap d**a Alaric dengan gerakan menggoda. Dia sangat paham apa yang diinginkan Alaric saat kesal.
"Aku mau mulutmu," ujar Alaric yang merasa gejolak di dalam tubuhnya saat melihat bibir Alea yang merekah hendak menciumnya.
"Ric," desah Alea yang tahu akan keinginan Alaric. Dia terlihat enggan melakukannya.
Alaric perlahan menurunkan tubuh Alea dari pangkuannya dengan perasaan kesal.
"Oke, oke, fine. Kamu marah. Aku tau. Tapi bukan ini penyelesaiannya. Kamu selalu alihkan ke hal yang sama sekali aku nggak suka," ucap Alea kesal.
Alaric diam saja. Dia juga kesal dengan sikap Alea. Baru tiba di kantornya saja, wajah Alea sudah tidak mengenakkan perasaannya.
Alea yang kesal, meraih tas tangannya dan berjalan cepat meninggalkan ruang kerja Alaric.
_____
Meski kesal dengan sikap kekasihnya tadi pagi, Alaric tetap bisa fokus dengan pekerjaannya, bahkan lembur di malam harinya. Biasanya jika terjadi pertengkaran kecil dengan Alea, Alaric memutuskan cepat pulang ke rumah dengan menyerahkan pekerjaannya ke bawahannya. Lalu dia bisa beristirahat di rumah lebih lama sambil menenangkan perasaannya.
Malam ini, entah kenapa dia tetap bekerja hingga larut malam.
Tepat pukul dua belas, Alaric menghentikan pekerjaannya. Lelah tubuh dan pikirannya bercampur jadi satu. Bukan sikap Alea saja yang menjadi beban pikiran, tapi juga keadaan rumah yang tidak sama seperti sebelumnya, Bu Narti yang belum sembuh dari sakitnya, serta pekerjaan kantor yang tidak pernah berkesudahan. Tidak satu perusahaan yang Alaric tangani, tapi belasan. Tentu Alaric harus memiliki kondisi tubuh prima serta pikiran yang tenang.
Malam itu Alaric pulang dengan perasaan gamang. Ingin rasanya terbebas dari semua rutinitas dan permasalahan yang membosankan. Tapi dia berpikir bahwa semua yang dia lakukan selama ini adalah keinginannya. Semangat hidupnya adalah bekerja dan menghasilkan banyak uang, meraih prestasi kerja, dan menginspirasi orang lain untuk bekerja sama seperti dirinya.
Sekarang, sikap Alea malah membebani pikiran dan mengacaukan semangatnya. Meskipun Alea tidak disukai sedari dulu oleh keluarga besarnya, Alea cukup sabar menghadapinya selama bertahun-tahun. Tidak dapat Alaric pungkiri akan perasaan cintanya yang cukup dalam terhadap diri Alea. Alea juga semangat hidupnya.
Alaric mengeratkan pegangan setirnya saat mengingat keluhan Alea atas sikap keluarganya yang tidak menyetujui hubungannya. Padahal selama ini dia bekerja keras karena semangat yang diberikan Alea.
Alaric menggeleng tidak mengerti dengan jalan hidupnya. Dia mulai merasa kesulitan melaluinya.
_____
Mobil Alaric sudah tiba di dalam garasi. Alaric tidak segera beranjak dari depan setirnya. Dia terdiam seraya memejamkan mata, seakan menahan gejolak amarah yang entah kenapa tiba-tiba muncul dari dalam dirinya.
Beberapa saat kemudian, barulah dia beranjak dan ke luar dari dalam mobilnya.
Langkah Alaric gontai menuju dalam rumahnya.
Seperti biasa, Pak Jono membukakan pintu rumah untuknya.
Sekilas Pak Jono mencemaskan keadaan Alaric yang awut-awutan. Tapi dia tidak berani mempertanyakannya.
Alaric yang sudah berada di dalam rumahnya melangkah pelan menuju tangga.
Namun, entah kenapa, tiba-tiba Alaric menahan langkahnya. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar Rania yang berada di sudut ruang tamu.
Dia letakkan tas kerja dan jas kerjanya di atas lantai dengan sangat perlahan, dan melangkah pelan menuju pintu kamar Rania yang tertutup rapat.
Alaric ketuk pintu kamar Rania.
Tidak ada reaksi dari dalam.
Alaric lirik jam tangannya sekilas. Jam menunjukkan pukul satu malam.
Alaric kembali mengetuk pintu kamar. Kali ini lebih keras.
____
Sementara itu di dalam kamar,
Rania terbangun saat sayup-sayup mendengar bunyi ketukan yang lumayan keras dari pintu kamarnya.
Dia raih kerudungnya dan memakainya sambil beranjak dari tempat tidurnya.
Rania buka pintu kamar setelah menekan saklar lampu kamarnya yang berada tepat di sisi pintu. Lalu perlahan membuka pintu kamarnya dengan mata menyipit karena kantuk yang masih mendera.
"Mas?" deliknya heran.
Alaric berdiri di hadapannya dengan raut wajah datar tak berekspresi.
Perasaan Rania seketika cemas saat Alaric memasuki kamarnya sambil mendorong tubuhnya ke dalam.
"Duduk," perintah Alaric setelah menutup pintu kamar Rania dan menguncinya.
Rania sontak merasa takut. Dia duduk di atas kursi besinya.
"Bukan di situ. Di sini," Suruh Alaric sambil menggerakkan kepalanya ke arah dipan.
Rania yang cemas menuruti perintah suaminya. Dia duduk di tepi tempat tidurnya.
Lebih cemas lagi saat Alaric berdiri mendekat ke wajahnya.
Tubuh Rania bergetar hebat saat Alaric menurunkan resleting celananya di hadapannya.
"Mas...."
"Diam!"
Rania cepat memejamkan matanya kuat-kuat saat tahu apa yang dilakukan Alaric, yaitu melepas seluruh bawahannya di hadapannya.
"Buka mulut kamu!" suruh Alaric.
Rania yang masih memejamkan matanya menggeleng cepat. Dia mulai terisak.
Alaric pegang kepala Rania hingga sedikit menarik kerudungnya.
"Jangan, Mas. Aku nggak mau," elak Rania.
"Buka. Aku mau mulut kamu,"
"Mmmm," gumam Rania yang mengatup bibirnya kuat-kuat sambil menggeleng dan mata yang masih terpejam.
"BUKA!"
Alaric semakin beringas. Dia jejalkan miliknya yang sudah menegang ke bibir Rania yang mengatup.
Alaric paksa Rania membuka mulutnya dengan jari-jarinya.
"Mas. Aku mohon. Jangan," isak Rania. Kali ini dia memberanikan diri membuka matanya.
"Jilat!" perintah Alaric tanpa menghirauhkan isak tangis Rania.
Mulut Rania gemetar melihat senjata Alaric yang benar-benar mengeras. Ini pertama kalinya dia melihat pe...s laki-laki dengan jarak yang sangat dekat.
"Pegang," suruh Alaric. Nadanya mulai melunak.
"Mas...."
"Kulum,"
Sambil terisak, Rania sentuhkan mulutnya ke ujung milik suaminya.
Alaric yang penuh dengan birahi, mendorong pinggulnya saat merasakan betapa hangat rongga mulut istrinya.
"Aaaaangggh," engah Rania. Ujung milik Alaric menyentuh tenggorokannya. Itu sangat menyiksanya. Mata Rania sontak melotot seolah merasa tercekik dan sulit bernapas. Ludahnya dia biarkan tumpah begitu saja di atas pangkuannya.
Alaric mengeluarkan miliknya dari mulut Rania.
"Jilat," ucapnya sambil mengusap-usap kepala Rania.
"Aku nggak bisa napas, Mas,"
"Jilat,"
Rania perlahan menjilat-jilat milik Alaric yang mengeras lagi berurat.
"Ssssh ... ooooh," desah Alaric.
"Kulum."
Rania lagi-lagi terisak. Mau tidak mau dia buka mulutnya selebar mungkin sambil memejamkan matanya. Dia masih ingat rasanya tercekik ketika ujung benda tumpul itu menyentuh tenggorokannya.
"Jangan sentuhkan ke gigi ... sakit," keluh Alaric. Dia mulai bersikap hangat karena Rania menurut saja.
"Ooooh. Hmmmm, Yaaaa, oooh," lenguh Alaric saat merasakan miliknya sudah penuh di dalam rongga mulut istrinya. Dia cengkram kepala Rania sambil menggerakkannya maju mundur perlahan.
"Aaanggh, eeenghh," erang Rania yang pasrah. Dia tampak tidak sanggup lagi membuka matanya.
"Pegang ... kulum," suruh Alaric sambil membimbing tangan Rania agar memegang miliknya sambil mengulumnya.
Lagi-lagi Rania menurut. Dia kembali mengulum milik suaminya sambil memegangnya.
"Hmmm, hmmm. Sambil diurut, Sayang," gumam Alaric yang merasakan kembali miliknya berada di dalam mulut Rania. Dia ikut membimbing tangan Rania agar mengurut miliknya sambil mengulumnya.
Tak lama kemudian, Alaric yang sudah tidak tahan lagi, menggerak-gerakkan kepala Rania dengan sedikit cepat menghantam selangkangannya.
Dia tidak mempedulikan Rania yang menangis sejadi-jadinya karena kelakuannya.
"Mmnggh. Eeeenghhh, huuuuu," isak Rania yang merasakan sakit luar biasa di seputar mulutnya. Kebas dan perih dia rasakan bersamaan, juga sulit bernapas. Ingin sekali Alaric menghentikannya. Tapi sepertinya masih lama. Alaric masih saja melenguh nikmat dan bergerak-gerak semakin liar.
"Ooohh, hmmm, hmmm, aaaaah," lenguh Alaric akhirnya. Dia biarkan miliknya berkedut-kedut di dalam mulut Rania.
Rania yang tak berkutik terpaksa meneguk pejuh yang tersembur di dalam rongga mulutnya.
Setelahnya, dia terbatuk-batuk dan merasa ingin muntah.
***