“Maksud… kamu?” Greta langsung memasang wajah sengit tidak setuju dengan apa yang dipikirkan Steffie tentang sahabatnya.
Steffie menghela napas panjang.
“Kamu runut aja sendiri dari awal pernikahan. Sudah tau Alaric punya pacar dan sudah jauh berhubungan, Rania kok mau aja menikah dengannya. Kalo aku ya ogah … terlepas dia punya banyak duit dan tampang rupawan,”
Greta menggeleng tidak sependapat.
“Posisinya aja dibalik, Gre. Rania yang memang sebagai istri sah yang baru menikah di saat Alaric masih berstatus pacar orang…”
Greta tergelak kali ini.
“Tetap Rania istri sah. Walaubagaimanapun ... nggak bisa kita ubah status itu, kecuali bercerai berai,"
Steffie menghela napas panjang.
“Kamu nggak ngerti maksudku. Bukan pelakor, tapi mental pelakor,"
Greta melirik sinis Steffie.
“Gini, Greta. Pelakor itu kan sudah tau kalo laki-laki incarannya sudah memiliki istri, masih saja dia berusaha mendekati tanpa peduli bahwa setiap malam laki-laki itu tidur dengan istrinya,”
Greta terdiam.
“Mentalnya, Gre. Mental … jangan salah lo. Mental pelakor tuh kuat-kuat. Noh, kamu liat anak-anak yang diajarin Rania. Itu sebagian besar anak-anak pelakor, anak-anak hasil hubungan gelap dan nggak jelas,”
“Yah. Jangan samain dengan Rania lah, beda kasus, Stef,”
“Emang beda kasus. Tapi maksudku mentalnya … mental baja,”
“Ya. Baja karatan,”
“Hahahaha … baja mana ada yang karatan,”
Greta pukul pundak Steffie. Kesal sahabatnya disamain pelakor. Walaupun hanya sebatas mental, tetap dia tidak menyetujui pendapat Steffie.
“Emang mereka anak-anak pelakor gitu?” tanyanya yang tertarik dengan anak-anak asuhan Steffie.
“Pelakor gagal sih kebanyakan. Tuh yang baju merah, kata emaknya bapaknya pejabat di departemen keuangan pusat. Seperti biasa setelah dihamili, tuh bapaknya kembali ke istrinya dan nggak peduli anak hasil hubungan gelap,”
“Bodoh,”
“Emang bodoh. Kayak Rania,”
“Hihi,”
“Tuh kan,”
Greta tertawa lepas. Akhirnya dia benarkan juga pendapat Steffie.
“Tapi mungkin perempuan yang tepat untuk menumpas pacar lakinya Rania tuh yah yang mentalnya kayak mental pelakor. Kalo perempuan normal kayak kita mana mungkin mau,”
“Jadi Rania bukan perempuan normal?”
“Menurutmu?”
“Dia luar biasa,”
“Naaah,”
Greta amati lagi anak-anak yang sedang belajar.
“Kasihan anak-anaknya ya,”
“Yah. Akibat egois memikirkan napsu. Belum lagi yang nggak punya akta lahir. Karena mamanya malu mendaftarkan anaknya di cataan sipil karena nggak diakuin bapaknya. Bahkan ada yang lupa yang mana bapaknya,”
Greta menggelengkan kepalanya. “Atau mungkin ini yang membuat Rania kuat, terlepas dari masa lalunya yang sering dikecewain,” gumamnya.
Steffie manggut-manggut.
“Apa ada anak-anak lulusan sini yang sukses, Stef?” tanya Greta tiba-tiba. Dia yakin keadaan anak-anak yang sedang belajar itu pasti memiliki keterbatasan finansial untuk melanjutkan pendidikan.
“Macam-macam sih. Ada yang sukses jadi bos pemulung, aktifis lingkungan di daerah, ada juga yang masih kuliah. Dua tahun lalu ada yang lulus seleksi beasiswa ke Amerika, tapi nggak berangkat karena ada penyakit bawaan yang nggak bolehin tinggal di sana,”
Greta menghela napasnya.
“Apa memang kita tuh sebagai perempuan harus taat dan patuh sama suami?” gumamnya tiba-tiba. Dia kembali mengingat masalah yang dihadapi Rania.
“Ya iya sih. Peraturannya kan emang begitu. Dalam kultur dan agama kita. Beda kalo di luaran sana yang memiliki peraturan berbeda dan kebudayaan berbeda pula. Nggak bisa kita samain. Tapi lagi-lagi, suami yang kayak gimana dulu yang harus kita patuhi? Suami kayak Alaric? Yang benar aja,”
Greta terkekeh lagi. Dia setuju dengan Steffie kali ini. Karena memiliki pandangan sama tentang pernikahan atau dalam beberapa hal, mereka pun terlibat dalam percakapan seru.
“Nggak bisa kita elak, Gre. Kita hidup di lingkaran budaya di mana sudah mengakar. Kayak di kampungku sampe menganggap perceraian itu adalah murni kesalahan perempuan. Gila kan? Sesalah-salahnya laki-laki, tetap pihak perempuan yang lebih salah. Jadi kita tuh sebagai perempuan emang dituntut kuat. Kalo nggak ya gitu deh … memble.”
Greta menggeleng.
“Nggak bisa juga kita koar-koar menantang pendapat mereka. Toh ujung-ujungnya malah kita yang dinyinyirin. Sok feminislah, sok emansipasi wanitalah. Parahnya lagi, pihak perempuannya yang kebanyakan nyinyir. Udah terima aja kodrat kamu, bla bla bla … tuh kayak Rania tuh, meski disakiti tapi tetap baik kok,”
“Ya. Jangan pasrah-pasrah juga kali kayak Rania,”
“Rania sebenarnya nggak pasrah juga kok. Dia milih bertahan dan menunggu kesempatan saja. Soalnya udah kadung cinta ama Alaric,”
Greta lalu melempar pandangannya ke arah Rania yang tampaknya sudah menyelesaikan kegiatan mengajarnya.
“Kita emang butuh orang-orang tulus kayak Rania jadi pengajar dan pembimbing anak-anak di sini,” ujar Steffie yang juga mengamati Rania.
Lalu tampak Rania melangkah cepat menuju mereka dengan senyum puas.
“Baru sehari nggak ngajar udah makin enak dipandang. Aman di rumah suami?” tanya Steffie dengan nada menyindir.
“Yah. Gitu dehhh,” decak Rania dengan senyum khasnya. Greta jawil lesung pipi Rania.
Pagi pun beranjak siang. Ketiganya memutuskan ikut Greta dengan mobilnya menuju sebuah café mewah di area Sudirman. Mereka ingin menghabiskan waktu bertiga sekadar ngobrol-ngobrol cantik sambil menikmati kopi atau minuman dingin serta makanan ringan.
***
Dua hari ini Rania senang bisa menjalankan aktifitasnya dengan tenang. Di tempat mengajar dia bisa bekerja dengan semangat dan selalu mendapat apresiasi dari ketua yayasan, di rumah dia bisa menghabiskan waktunya dengan tenang. Bu Narti yang berubah, dan suami yang tidak lagi mengganggunya. Terlebih, dia bisa menggunakan peralatan dapur dan mencuci di laundry, sehingga makannya lebih teratur dan pakaiannya lebih bersih dan wangi. Rania juga berkesempatan memasak buat suaminya dengan bantuan Bu Narti yang sudah semakin sehat dan fit.
“Halo, Ma,”
“Raniaaaa. Apa kabar, Nak?”
Rania menggigit bibirnya saking senangnya. Ingin sekali dia menjerit kegirangan karena mendengar suara mamanya yang sangat merdu di telinganya. Suara yang sangat dia rindukan.
“Alhamdulillah, Ma. Baik dan sehat,”
“Suamimu bagaimana kabarnya?”
“Hm, sehat juga,”
“Gimana kamu dengan suami kamu?”
Rania hela napas panjang.
“Baik. Sudah mulai negur, Ma,”
“Oh, udah. Nggak papa. Yang sabar kalo dia nggak mau dekat-dekat kamu,”
“Iya, Ma,”
“Seneng di Jakarta?”
“Padat. Males kalo jalan-jalan. Ke mana-mana macet. Mana panas lagi … enakan di rumah. Adem,”
“Lho. Katanya ngajar?”
“Deket dari rumah, Ma. Lima menit pake motor,”
“Wah. Sudah punya motor?”
“Sudah. Beli baru. Kayak yang di rumah,”
“Jangan ngebut-ngebut,”
“Iya, Ma,”
“Kalo ketemu Mami mertuamu salam ya?”
“Iya.”
“Pokoknya harus sabar. Turuti kata suami. Patuhi dan niat baik,”
Rania menarik napas dalam-dalam.
“Iya,”
“Mama selalu doakan yang terbaik buat kamu. Jaga kehormatan suami, meskipun dia begitu,”
“Iya,”
Rania merasa dadanya sangat sesak. Tapi dia berusaha menahannya.
“Ya sudah. Mama pergi dulu. Ada undangan Wak Rizal. Yasinan bulanan,”
“Iya,”
“Jangan nangis.”
“Iya, Maaaa,”
Rania tumpahkan juga tangisnya.
“Sabar,”
“Ho oh,”
Rania pun menyudahi panggilannya setelah membalas ucapan salam dari mamanya.
Meski sedih, Rania tetap merasa lega mendengar kata-kata mamanya yang sarat dukungan penuh kepadanya.
____
Tidak seperti sebelumnya, Alaric selalu sumringah ketika melihat kedatangan Alea di kantornya. Kini hanya senyuman tipis menyambut kekasihnya itu. Sejak memaksakan kehendaknya kepada Rania, Alaric mulai merasakan hambar jika berdekatan dengan Alea. Meskipun Alea mendekatinya dengan gerakan menggoda, entah kenapa bayang-bayang wajah Rania mengikutinya.
“Why?” tanya Alea setelah melumat bibir Alaric. Alaric tampak tidak bersemangat membalas lumatan bibirnya.