-----
"I don't know. Aku capek," ucap Alaric.
"Aku janji nggak akan menyinggung dia lagi, Ric,"
"You just did...."
Alea hela napas panjang.
Dia pun mencoba meraba-raba paha Alaric. Hanya tatapan kosong yang dia dapatkan dari wajah Alaric.
Alaric yang merasa suasana hatinya tidak karu-karuan, mengelak tangan Alea dan kembali ke meja kerjanya.
Alea hempaskan napasnya.
Sudah tiga hari ini dia dan Alaric tidak saling kontak. Biasanya jika seharian tidak berjumpa, Alaric pasti menyambut kedatangan Alea dengan semangat dan langsung membawa tubuhnya ke dalam ruangan kecil di balik ruang kerjanya, dan b******u hebat di sana, sampai sama-sama menuju puncak kepuasan.
Alaric sekarang berubah.
Alea yang menyadari sesuatu, menghampiri Alaric yang duduk di menghadap komputer. Dia bungkukkan tubuhnya dan duduk bersimpuh di hadapan Alaric.
Alaric menghela napas panjang melihat Alea yang mencium-cium selangkangannya.
Alea raba-raba pinggang Alaric dan melepas sabuknya serta resleting celananya.
"Jangan dipaksakan," ucapnya sambil mengusap kepala Alea.
Alea terlihat memaksakan diri. Dia ingin menyenangkan Alaric.
Alaric tahan tangan Alea yang sudah akan menurunkan celananya.
"Sudah, Alea,"
Kepala Alea tertunduk di atas pangkuan Alaric.
"Aku nggak sanggup begini, Ric. Aku tersiksa," isaknya.
Alaric angkat dua bahu Alea.
"Aku nggak mau kamu melakukan hal yang nggak kamu suka," bujuknya. Padahal sebelumnya dia beberapa kali memaksanya untuk melakukannya.
"Kamu beginian udah nggak mau," isak Alea sambil menunjuk selangkangannya.
"Tunggulah,"
"Biasanya kamu langsung cumbu aku,"
Alaric hela napas panjang. Perasaan yang cukup rumit menderanya. Apalagi saat mengingat tangis Rania suatu malam.
"Aku panggil Pak Haryo. Antar kamu pulang malam ini,"
"Aku mau diantar kamu, Ric,"
"Aku sedang banyak kerjaan,"
"Kamu berubah,"
"Sudahlah,"
Alaric memperbaiki bawahannya. Lalu berdiri dan memeluk Alea dalam-dalam.
"Aku menyesal, Ric,"
"Aku hanya nggak senang setiap ke sini kamu selalu sedih. Itu saja..." ucap Alaric sambil mengusap-usap kepala Alea.
Alea kembali ke sofa dan duduk dengan perasaan gamang. Dia amati wajah Alaric yang bersinar diterpa layar komputer besarnya. Alaric terlihat fokus dengan pekerjaannya.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, barulah dia beranjak dari duduknya.
Dia hampiri Alaric yang masih duduk dan merangkulnya dari belakang. Alea kecup pipi Alaric.
"Aku pulang dulu,"
"Nggak sama Pak Haryo? Kan mobilmu di bengkel,"
"Biar aku sendiri yang hubungi dia,"
"Ok,"
Alea kecup bibir Alaric sekilas.
Setelahnya, Alaric amati punggung Alea yang menjauh darinya hingga hilang dari pandangannya.
Barulah dia hentikan sejenak pekerjaannya.
Alarik letakkan kedua tangannya dengan memadukan jari-jarinya menumpu tengkuknya sembari menatap hampa layar komputer.
"Rania ke rumah. Dia menangis. Katanya kamu paksa dia melakukan oral seks..."
Suara Alvaro saat menghubunginya seakan terngiang-ngiang di telinganya sekarang.
Tidak ada jawaban dari Alaric. Dia sempat menyesalkan apa yang Rania lakukan, mengadu permasalahannya ke Alvaro.
"Janganlah begitu. Kasihan dia. Dia sudah melakukan semua yang kamu pinta. Om sarankan jangan bertindak bodoh dan keras kepala. Dia nggak tau apa-apa,"
Hanya helaan napas dari Alaric.
"Dia nggak pernah sakit hati selama ini kan? Nggak nuntut macam-macam sama kamu. Nggak nyakitin kamu juga. Nggak ganggu kamu,"
"Iya, Om,"
"Minta maaflah. Setidaknya buat dia lega. Dalam rumah tangga nggak boleh ada paksaan seperti itu. Nggak baik."
Alaric kembali menuntaskan pekerjaannya malam itu hingga pukul sepuluh malam. Percakapan antara dirinya dan Alvaro lumayan mengurangi beban pikirannya.
____
Rania tertidur lebih awal malam ini, yakni pukul delapan malam. Seharian ini dia diajak ketua Yayasan sekolahnya jalan-jalan di Taman Raya Bogor bersama anak-anak didik mereka. Rania dan Steffie ditugaskan mengarahkan anak-anak untuk mempelajari keadaan sekitar Taman Raya Bogor, terutama mengenal pepohonan. Kegiatan selesai pukul tiga sore dan kembali tiba di Jakarta sekitar pukul enam. Untungnya jarak rumah suaminya cukup dekat, sehingga Rania tidak lagi bermacet-macet saat pulang.
Tiba-tiba Rania terbangun dari tidurnya saat mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar.
Rania lihat jam di ponselnya yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Rania terduduk dengan masih menahan kantuk. Dia tatap pintu kamarnya yang masih diketuk. Tidak begitu keras, tapi intens memaksa.
"Ran...."
Rania teguk ludahnya yang sedikit. Alaric memanggilnya dari luar kamar.
Rania dengan gerak malas-malasan beranjak dari duduknya setelah meraih kerudungnya, lalu bergegas mendekati pintu kamarnya.
Dia buka pintu kamarnya. Dilihatnya Alaric yang masih berpakaian kerja, lengkap dengan dengan jas kantor yang masih melekat di tubuhnya.
Rania biarkan Alaric memasuki kamarnya dan duduk di atas dipannya.
Sekelebat tercium olehnya parfum Alaric yang bercampur keringat. Alaric tampak lelah malam ini.
Rania tutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Alaric tersenyum ke arahnya. Senang melihat perubahan Rania yang lebih tenang dan tidak ketakutan seperti sebelumnya.
Lebih senang lagi saat Rania menghampirinya dan duduk bersimpuh dan melepas kaus kakinya pelan-pelan.
"Maaf ganggu tidur kamu," ucap Alaric yang menatap hangat kepala Rania yang berkerudung coklat muda.
Rania angkat kepalanya sebentar menatap Alaric yang juga menatapnya.
"Nggak papa, Mas," balas Rania. Dia gulung kaos kaki hitam Alaric dan meletakkannya di bawah tempat tidurnya.
Alaric lepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi besi yang ada di dekat tempat tidur. Kemudian, dia lepas sabuk pinggangnya dan menurunkan resleting celananya.
Rania berdiri dari duduk simpuhnya.
"Sebentar, Mas. Aku bersihkan mulutku dulu," ucapnya yang mengerti keinginan Alaric.
Alaric terperangah senang. Dadanya bergemuruh gembira melihat punggung Rania yang sudah berada di depan pintu kamar mandi.
"Jangan lama-lama, Rania," serunya.
Alaric merentangkan tubuhnya di atas dipan busa Rania. Dia tatap langit-langit kamar. Meski sempit dan terasa sesak dan agak hangat, perasaannya sangat bahagia berada di dalamnya. Tak sabar ingin merasakan mulut Rania lagi. Apakah tanpa paksaan dan penuh kelembutan akan berbeda rasanya dari sebelumnya?
Pintu kamar mandi sudah dibuka.
Mata Alaric berbinar melihat Rania yang melangkah menuju dirinya.
Rania lalu naik ke atas dipan tepat di dekat pangkal paha Alaric.
Perlahan Rania turunkan celana suaminya.
Alaric dengan semangat menaikkan sedikit pinggulnya ke atas agar Rania mudah melepas celananya.
"Senyum, Ran," ujar Alaric yang tak kuasa menahan senyum melihat wajah Rania yang tampak datar-datar saja.
Rania diam saja tak berekspresi.
Dia malah duduk bersimpuh di hadapan tubuh Alaric yang mengangkang lebar.
Rania genggam milik Alaric yang masih kurang menegang, sambil mengelus-elusnya dengan kedua tangannya.
"Oooh...." Alaric mulai mengernag. Tangan mungil nan halus Rania lincah memainkannya.
"Duh, Raaaaan," desahnya saat merasakan bibir Rania menyentuh-nyentuh pelan di ujung miliknya.
Alaric tak sanggup lagi membuka matanya. Kenikmatan disentuh sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Rania kecup-kecup milik suaminya yang sudah menegang. Lalu menjilat-jilatnya bak es lilin hingga terasa licin di seputarnya.
"Aaah ... Raaaaan ... gila kamuuuu ... ooooh," lenguh Alaric saat merasakan ujung lidah Rania menekan-nekan lubang kecil ujung miliknya.
Erangan Alaric membuat Rania semangat. Dia masukkan milik suaminya yang benar-benar keras hingga sedikit menyentuh tenggorokannya.
Rania sudah pandai sekarang. Dia sudah memahami trik memenuhi keinginan suaminya setelah mempelajarinya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit saja mempelajarinya. Hasilnya, dia bisa menguasai Alaric sekarang.
"Hmmm, hmmm," gumam Rania yang sudah mengulum milik suaminya dan mulai bergerak maju mundur di atas pangkal paha Alaric.
"Hebaaaat, Sayaaang. Aaah. Pelan-pelan ya, Raaaan. Aku nggak mau buru-buru ... ooooh, enaaaaak," mohon Alaric dengan mata sayunya memandang Rania yang mulutnya dipenuhi miliknya.
Alaric senang sekali melihat mulut Rania yang mengulum miliknya, bulat dan merekah. Juga mata bulat Rania yang tajam memandangnya. Dia merasa bak raja malam ini.
"Kamu cantik, Sayaaaang," puji Alaric sambil membelai kepala Rania yang berkerudung.
"Buka ya,"
Rania menggeleng.
"Ooooh, woooooaaa. Aaah," erang Alaric saat Rania kembali bergerak.
Rania semakin beringas. Dia arahkan dua tangannya ke balik kemeja Alaric yang terbuka setengah. Dia raba-raba d**a Alaric mencari p****g Alaric, lalu memainkannya.
"My Goooood," erang Alaric lagi.
Dia tak sanggup lagi bertahan.
"Empot, Ran. Yang kuaaaat ... ooooh," lenguhnya. Wajahnya menunjukkan kepasrahan saat hendak menuju kepuasan.
Rania merapatkan dua bibirnya sekuat tenaga sambil mengulum milik Alaric, lalu bergerak maju mundur sedikit lebih cepat.
"Aaaah, aaah, hmmm, yaaaaah, iiiiyaaa, ooooh," lenguh Alaric panjang.
Gerakan Rania pun berhenti saat merasakan milik Alaric menyemburkan cairan hangat di dalam mulutnya.
Rania beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi.
Dia tumpahkan pejuh suaminya yang menggenang di dalam mulutnya ke dalam lubang toilet. Sempat dia amati cairan kental agak putih keabu-abuan itu.
Mulutnya terasa lengket dan sedikit kesat.
Rania bersihkan mulutnya dengan berkumur-kumur hingga bersih dan tidak merasakan lagi aroma pejuh.
Deru napas berat masih terdengar dari dalam kamarnya.
Rania menghela lega.
____
Alaric tersenyum lebar melihat Rania yang kembali lagi kepadanya yang masih rebah terlentang.
Barulah dia melihat senyum dari wajah Rania. Meski tipis, tapi terlihat puas dan lega.
"How come?" tanya Alaric berdecak. "Kamu liat tontonan,"
"Nggak. Aku baca," tukas Rania. Dia duduk di sisi suaminya yang masih tampak menikmati kepuasan yang mendera tubuhnya barusan.
Rania dekati tubuh besar Alaric, hendak melepas kemejanya.
"Aku pijit mau?" tawarnya.
Alaric tertawa kecil.
Rania penuh kejutan.
Alaric langsung membalikkan tubuhnya saat kemeja terlepas dari tubuhnya.
Rania bangkit dari duduknya dan berdiri sebentar menjangkau botol berisi minyak zaitun yang ada di atas meja kecil di dekatnya.
Lalu kembali mendekati punggung besar Alaric.
Perasaan Rania sangat tenang saat mendaratkan tangannya di atas punggung putih mulus Alaric. Senang melihat suaminya yang pasrah di hadapannya sekarang, dan tidak sedingin biasanya. Bangga sudah bisa melayani dan menyenangkan perasaan suaminya. Ternyata sangat mudah dan tidak memakan waktu lama, asal dilakukan dengan penuh cinta dan hati lapang.
"Pulang larut terus akhir-akhir ini, Mas," ujar Rania yang sudah memijat leher Alaric.
"Iya. Biasalah,"
"Lehermu kaku, pasti jarang stretching di depan komputer,"
"Iya, keasyikan kerja. Suka lupa,"
"Minum nggak?"
"Minum sih, kalo inget,"
Rania tergelak.
Lalu dia kembali memijat seputar leher Alaric, dan lanjut ke atas punggung besarnya.
"Nggak jadi ngantuk, Ran,"
"Ya iyalah, diganggu,"
"Hehe. Maaf...."
"Nggak papa, Mas. Pasti capek,"
Perasaan Rania begitu hangat berdekatan dengan Alaric. Tak lama kemudian, dia merasakan gejolak dari dalam tubuhnya. Tapi dia belum sepenuhnya mengerti.
Rania terus saja memijat-mijat tubuh Alaric, sampai beberapa saat kemudian, dia mendengar dengkuran dari mulut Alaric.
Rania tersenyum hangat. Dia miringkan tubuh Alaric agar tidurnya lebih nyaman dan dia selimuti tubuh suaminya itu dengan selimut tipisnya.
Rania yang juga mengantuk, mengambil alas kasur baru yang bersih dari lemarinya. Kemudian dia bentangkan di atas lantai kamarnya dan tidur di atasnya dengan tas sebagai penyanggah kepalanya.
***