Mental Rania

1228 Kata
Awal pagi Rania lebih spesial. Jika sebelumnya dia mempersiapkan sarapan untuk Alaric sendirian, kini Bu Narti menemaninya membantu mempersiapkannya. Tugas Rania pun jadi lebih cepat selesai, dan dia bisa lebih awal pergi mengajar. "Aku minta maaf, Ran. Nyusahin kamu," ucap Bu Narti tiba-tiba. Dia amati Rania yang sedang membungkuk mengikat tali sepatunya di teras depan. Awalnya dia mengira Rania bersikap baik kepadanya hanya bersimpati saja kepadanya yang sedang sakit dan tidak benar-benar tulus menolongnya atau hanya memanfaatkan kesempatan agar bisa merebut hatinya dan hati Alaric. Tapi melihat sikap Rania yang kekeh tidak mau pindah kamar dan keteguhan Rania, dia mulai berpikir bahwa Rania memang benar-benar perempuan yang baik hatinya. "Nggak papa, Bu. Lupain aja," ucap Rania datar. Bu Narti perlahan mendekati Rania. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang mengganjal pikirannya. "Aku tuh masih bertanya-tanya sampe sekarang. Sudah tau Pak Alaric punya pacar, kok kamu ya mau menikah dengannya. Aku gini-gini ogah kawin sama modelan Pak Alaric. Makanya aku sempat singgung apa kamu mau menikah dengan Pak Alaric itu hanya karena dia banyak duitnya?" Rania lirik Bu Narti. Dia tidak segera menjawab. Khawatir jawabannya akan menjebaknya. Semakin curiga Bu Narti disuruh seseorang untuk mempertanyakan alasan dirinya menikah dengan Alaric. "Aku dijodohkan dan aku suka," jawab Rania lugas. Bu Narti manggut-manggut dengan bibir sedikit mencebik. Giliran Rania yang tiba-tiba tertarik menanyakan sesuatu. "Hm. Sudah berapa lama Ibu bekerja dengan Pak Alaric?" tanya Rania. Bu Narti agak kaget mendengar pertanyaan Rania kali ini, seolah tidak percaya Rania juga ingin tahu tentangnya. Bu Narti tersenyum simpul. "Sejak Pak Alaric tamat SMP," Rania terperangah. Ternyata Bu Narti sudah bekerja dengan keluarga Alaric sangat lama. Dia pikir baru beberapa bulan atau satu dua tahun. Masalahnya Bu Narti menyapa Alaric dengan 'Pak' dan bukan menyebut nama atau sapaan yang lebih muda 'Mas' atau 'Den Mas'. "Oh," decak Rania. Dia urung beranjak dari duduknya, karena sepertinya Bu Narti hendak melanjutkan perbincangan. "Dulunya aku kerja di rumah mertuamu. Bagian dapur dan beres-beres taman belakang. Mereka kan tinggal di rumah Oma Mathilda, omanya Pak Alaric, setelah pindah dari apartemen. Dari situ aku paham gimana kehidupan Pak Alaric," Bu Narti memasang wajah nelangsa. "Kalo menurut pengamatanku, Bu Mala dan Pak Damian tuh pilih kasih soal merawat anak-anak mereka. Dilihat dari sekolah saja sudah berbeda. Nevan dan Manda selalu disekolahkan di sekolah internasional yang super mahal, sampe kuliah di luar negeri. Tapi kok Pak Alaric disekolahkan di sekolah negeri dan nggak jauh-jauh dari lingkungan rumah. Kalo aku tanya kata Pak Alaric dia juga nggak tau, padahal dia juga kepingin sekolah mahal. Mau tanya Bu Mala, aku segan, nggak berani." Rania menghela napas panjang. Kini dia mengerti posisi Bu Narti yang selama ini seakan ingin menjaga Pak Alaric dari orang asing seperti dirinya. Bu Narti sudah lebih dulu sangat memahami kehidupan Alaric dan menyayanginya. Apa mungkin dia juga berpihak ke pada Alea karena sudah lama pula menjalin kasih dengan Alaric. Mungkin saja, pikir Rania. Pastinya Bu Narti juga mengenal dekat Alea. "Kalo dengar-dengar dari pembicaraan keluarga besar mereka, Pak Alaric tuh emang sudah dipersiapkan untuk mengurus seluruh perusahaan keluarga besar. Tentu melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan. Makanya disekolahkan di sekolah negeri. Ah, nggak tau juga. Kadang nggak ngerti cara berpikir orang kaya. Tapi memang pada akhirnya, Pak Alaric malah suka bekerja. Meski kadang-kadang suka sedih seolah seluruh urusan keluarga dibebankan kepadanya. Apalagi sejak keluarga selalu memojokkan dia yang berpacaran dengan Alea..." Bu Narti menghela napas panjang. Selama ini dia selalu mendukung Alaric, sampai urusan asmara. "Duh. Kok malah ngobrol. Kamu nanti terlambat lo," Rania tergelak. Dia juga baru sadar karena keasyikan mendengar cerita Bu Narti. "Udah. Pergi sana. Lain kali kita cerita-cerita lagi," Rania mengangguk tersenyum. Dia raih ransel dan tas kecil bekal siangnya dan bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju motornya yang sudah terparkir di depan gerbang rumah. Bu Narti tersenyum haru melihat Rania yang sudah siap-siap mengendarai motornya. Sebenarnya Rania bisa saja memilih mengendarai mobil atau motor yang lebih bagus dan mahal, tapi Rania tetap mau memilih hal-hal yang lebih sederhana. Entah kenapa tiba-tiba wajah Bu Narti berubah saat membandingkan kepribadian Rania dengan Alea. Sangat berbanding terbalik. Alea yang hidupnya sangat glamor dan Rania yang hidupnya sangat sederhana apa adanya. Bu Narti menghela napas panjang. Kini dia pun berbalik harus membohongi Alea bahwa sekarang Rania sudah lebih bebas di rumah suaminya. "Duh. Gimana ini," decaknya sambil menggaruk kepalanya. Dia sudah ditugaskan Alea untuk tidak membiarkan Rania menggunakan fasilitas rumah bahkan dilarang melayani suaminya, dan Alea pun mengupahnya. Tapi kebaikan yang ditunjukkan Rania menggerus prasangka buruknya terhadap Rania. Terutama saat mengingat Rania dengan tulus merawatnya ketika sakit dan mau pula membantu menuntaskan pekerjaannya. Rania juga tidak dendam dengan apa yang sudah dia perbuat. Bu Narti termenung sampai berpikir belum tentu Alea mau membantunya saat dirinya sakit atau ditimpa musibah. Alea hanya mengandalkan uang saja. Ah, kenapa dia baru menyadari sekarang bahwa justru Alealah yang mencintai Alaric karena Alaric memiliki banyak harta. Padahal sudah bertahun-tahun mereka menjalin kasih. Apa karena dirinya yang dibutakan oleh pesona Alea yang cantik dan penampilannya yang selalu glamor serta uang yang sering Alea berikan kepadanya. Bu Narti beranjak dari duduknya sambil terus berpikir bahwa sudah saatnya majikannya menyudahi drama panjang dengan Alea dan melupakannya. Tapi pasti akan sulit dan memerlukan waktu yang sangat panjang. Dia sangat tahu perjalanan asmara serta hidup Alaric. Pada akhirnya dia pun berharap, Rania bisa bertahan dengan keadaan rumah tangganya, hingga benar-benar bisa mendapatkan hati Alaric dengan sempurna. ____ Greta dan Steffie saling melempar senyum melihat Rania yang sedang mengajar anak-anak. Rania terlihat cantik dengan baju kurung panjang berbahan rajut pink dipadu celana jins longgar. Rania juga tampak semangat mengajar mereka. "Aku tuh paling seneng kalo liat Rania datang dengan motornya. Cantik banget. Kalo aku cowok, udah aku jadikan gebetan," gumam Steffie. "Persetan bini orang." "Hush!" decak Greta. Hari ini dia tergerak ingin mengunjungi Rania di tempat mengajarnya. Papanya menyuruhnya mengawasi keadaan Rania. Meski jauh, Greta mau melakukannya. Dia ikut khawatir dengan keadaan Rania yang sedang menghadapi masalah yang cukup serius dalam rumah tangganya. Apalagi menyangkut masalah pelecehan. Tapi kelihatannya Rania baik-baik saja. Dia tetap semangat mengajar dan wajahnya penuh dengan senyuman. Ah, Rania memang begitu sejak dulu. Meskipun memiliki masalah dengan teman-teman prianya dulu, tetap saja dia bisa tersenyum dan bergurau. Entah kenapa Greta merasa Rania menyembunyikan sesuatu darinya dan mamapapanya. Dia juga merasa Rania tidak bercerita lengkap mengenai hidupnya di rumah Alaric. Bagaimana keadaannya, kamarnya di mana, atau apakah Alaric bertanggung jawab atas kehidupannya. Dia dengar dari mamanya, Rania diberi uang oleh Mami mertuanya untuk kebutuhan sehari-hari. Mami Alaric itu mengungkapkan kekhawatirannya Alaric yang pasti tidak mempedulikan Rania. Apalagi dia melihat Rania hanya berkendara motor kecil dan sangat berbeda dengan Alea yang selalu gonta ganti mobil hampir setiap bulan. "Cantik. Tapi disia-siain," gumam Steffie lagi. "Itu pilihan Rania," decak Greta. "Emangnya pelecehan gimana sih?" tanya Steffie. Sebelumnya Greta sempat menceritakan tentang masalah rumah tangga Rania. "Nggak tau juga sih. Maksa gitu aku dengarnya. Rania juga nggak mau cerita lengkap," "Wajarlah. Mungkin dia menganggap kita belum berpengalaman dan pasti akan memojokkan suaminya dan dia. Soalnya kita berdua adalah pihak yang nggak setuju dengan pernikahan dia. Beda ama orangtuamu yang pasti bela lakinya, kan mereka yang menjodohkan," Greta mengangguk dengan bibir mencibir. "Iya sih. Walaupun orantua sendiri, aku pribadi tetap nggak setuju. Anehnya di keluargaku cuma aku yang nggak setuju, yang lain pada seneng. Seneng kali liat Rania menderita," Steffie tergelak. "Haha ... kalo dipikir-pikir Rania tuh punya mental pelakor," Greta mendelik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN