Alaric terbangun dini hari itu. Dia tersentak kaget mendapatkan tubuhnya yang hanya terbalut selimut tipis di ruangan sempit dan hangat. Keringat terlihat mengucur di dahi dan dadanya.
Alaric dudukkan tubuhnya dan tanpa sengaja menoleh ke tubuh Rania yang tidur meringkuk di atas lantai hanya beralaskan kain tipis.
Dia sentuh layar ponsel Rania yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidur, ingin melihat waktu yang tertera di layarnya. Jam menunjukkan pukul empat pagi.
Alaric dengan cepat memakaikan baju dan celananya. Setelah itu dia hampiri tubuh Rania.
Alaric menghela napas panjang. Hatinya sangat terenyuh melihat Rania yang tampak pulas tidur di atas lantai kamar. Dia masih ingat Rania yang begitu semangat dan tunduk melayaninya, meski matanya terkantuk-kantuk. Lelah pikiran dan tubuhnya pun sekejap hilang setelah mencapai kepuasan, akibat sentuhan Rania.
Sejenak dia edarkan pandangannya ke seluruh kamar Rania. Lagi-lagi dia hela napas panjang. Rasanya ingin memaksa Rania pindah dari kamar ini. Tapi mengingat Rania menolak dan Bu Narti juga mengatakan hal yang sama, Alaric hanya bisa diam terpaku. Alaric tak ingin memaksanya lagi.
Perlahan Alaric angkat tubuh Rania, menggendongnya dan memindahkannya ke atas dipan dengan sangat perlahan.
Alaric tidak segera beranjak. Dia tatap dengan seksama wajah Rania. Ingin sekali rasanya dia lepas kerudung istrinya dan mengecup bibirnya yang telah memberinya kebahagiaan yang maha sempurna semalam, belum lagi pijatan luar biasa dari Rania sebagai pengantar tidurnya.
Alaric dekatkan bibirnya ke bibir Rania. Namun dia urung mengecupnya. Dia usap-usap kepala Rania dan mengecupnya.
Alaric tidak ingin mengejutkan atau mengganggu lelap tidur Rania.
Setelahnya, Alaric raih jas dan tas kerjanya dan pergi meninggalkan kamar Rania dengan tidak lupa menutup pintu kamar rapat-rapat.
Alaric tidak menyadari, Bu Narti memperhatikannya saat menaiki tangga menuju kamarnya.
Tampak Bu Narti tersenyum hangat. Sepertinya dia senang dengan perubahan dalam diri Alaric.
Alaric semakin hangat beberapa hari ini. Wajahnya tidak sekusut biasanya.
____
Rania mengucapkan ampunan berulangkali saat bangun dari tidurnya. Sinar matahari terik menembus kaca jendela kamarnya. Ibadah fajarnya telah terlewati.
Dia sedikit bingung dengan keadaan tubuhnya yang berpindah ke atas tempat tidur. Seingatnya setelah melayani suaminya, dia tidur di atas lantai.
Dia raba-raba wajah dan tubuhnya, cemas apakah dia disentuh tanpa sepengetahuannya. Tapi sepertinya tidak. Rania menghela napas lega setelah yakin bahwa tubuhnya baik-baik saja.
Rania lalu tersenyum tipis. Dia bahagia bisa melayani hasrat suaminya. Masih terngiang-ngiang di telinganya puja puji dari mulut Alaric dan suara lenguhan karena menikmati setiap sentuhannya. Dia masih tidak mempercayai bisa melewati saat-saat semalam tanpa drama atau tangisan sedih. Sedikit merasa heran kenapa dirinya seperti sudah lama mengenal suaminya. Suaminya pun tidak menganggapnya orang asing lagi. Apa karena mereka sudah dipersatukan oleh sumpah pernikahan? Mungkin saja, batin Rania.
Rania sedikit memiringkan tubuhnya karena tiba-tiba mencium aroma baru dalam kamarnya. Rania lagi-lagi tersenyum saat menyadari bahwa aroma baru itu berasal dari bau badan suaminya yang melekat di bantal dan kasurnya.
Dengan perasaan sangat bahagia, Rania beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju kamar mandi.
_____
Baru saja Rania hendak memutar kunci motornya, Alaric menegurnya dari belakang.
“Oh, Mas,”
Rania berikan anggukkan hormat. Tampak Alaric sudah gagah dengan pakaian kerjanya. Wajahnya terlihat sangat segar dan cerah.
“Maaf. Aku nggak sempat ikut bantu Bu Narti siapin sarapan dan bekal siang,” ucap Rania dengan senyum kecutnya.
“Nggak papa.”
Alaric tatap wajah Rania yang sudah cantik dengan hiasan tipisnya. Senyumnya terkulum melihat kepala Rania yang terbungkus helm kuning berkarakter tweety. Rania sungguh imut.
“Boleh pinjam hape kamu, Ran,” ujarnya sambil menyerahkan tangannya.
Rania mengernyitkan dahinya.
“Sebentar aja,” ucap Alaric yang tersenyum melihat raut bingung wajah Rania.
Rania buka bagasi motornya dan menarik tasnya dan membukanya.
Dia serahkan hapenya setelah membuka passcodenya.
Alaric lalu memainkan hape Rania.
“Ngecek apa sih, Mas,” tanyanya dengan perasaan cemas. Dia ingat semalam Alaric menanyakan kenapa dia begitu lihai melayaninya lewat oral. Rania katakan bahwa dia mengetahuinya lewat bacaan di internet tentang menyenangkan suami. Dia khawatir sekaligus merasa malu jika Alaric mengetahui bacaannya.
Alaric membiarkan Rania yang menjijitkan kakinya seraya mengamati gerakan jari-jari tangannya yang menyentuh layar ponsel. Alaric ternyata mengetik nomor ponselnya sendiri, lalu menghubunginya. Dia beri nama pada nomornya saat menyimpannya di daftar kontak ponsel Rania, suamiku tersayang, begitu Alaric menamai dirinya.
Rania senyum-senyum melihatnya.
“Angkat kalo aku hubungi kamu,” ujar Alaric dengan tatapan hangatnya.
Rania ambil kembali ponselnya dari tangan suaminya dan meletakkannya kembali ke dalam tas yang berada di dalam jok motornya.
“Nggak panas kalo diletak di dalam bagasi motor?” tanya Alaric saat Rania menutup jok motor.
“Nggak. Kan nggak lama. Lagian di dalam tas juga,”
Alaric melempar pandangannya ke dalam garasi rumahnya.
“Bisa pake motor gede, Ran?” tanyanya iseng. Ada tiga motor besar mahal miliknya berjejer di dalam garasi. Sudah jarang sekali Alaric tidak mengendarainya. Alea tidak menyukai dibonceng dengan motor, meski motor mewah.
“Yah. Nggaklah, Mas. Kurang lincah,”
“Nggak juga. Kalo udah jalan, malah ringan lo,”
Alaric tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia rogoh saku jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
“O iya, Ran. Nih.”
Rania terperangah melihat sebuah kartu yang tersodor ke hadapannya.
Dia tersenyum menggeleng.
“Udah, Mas. Yang dari Mami masih banyak banget,”
“Pegang aja,” ucap Alaric memaksa.
Rania tampak berat menerimanya.
Alaric raih tangan kanan Rania dan meletakkan kartu itu dan menggenggamnya.
“Pinnya enam nomor akhir dari nomor hapeku. Dari yang paling akhir ya,”
Rania mengangguk tipis. Dia buka kembali bagasi motornya dan meletakkan kartu itu di dalam tasnya.
Rania lalu menyerahkan tangan kanannya ke hadapan suaminya. Alaric terlihat bingung dengan sikap Rania.
“Oh,” Alaric tampak menyadari sesuatu. Dia serahkan tangan kanannya dan membiarkan Rania mencium punggung tangannya.
Dadanya berdesir hebat saat merasakan ujung bibir dan hidung Rania menyentuh punggung tangan kanannya. Kepatuhan dan ketulusan yang ditunjukkan Rania membuatnya merasa sangat tenang.
“Pulang jam berapa?” tanya Alaric yang berusaha mengusir gugupnya.
“Biasa, Mas. Sampe rumah jam lima,” ujar Rania sambil memperbaiki letak helmnya.
Entah kenapa Alaric seolah ingin menahan Rania pergi pagi itu.
“Mas pulang larut malam lagi?” tanya Rania yang sudah berada di atas motor.
“Mudah-mudahan nggak,” jawab Alaric.
Rania mengangguk memahami keadaan suaminya.
“Aku pergi ya, Mas. Assalamu’alaikum,” ucap Rania dengan senyum manisnya.
Alaric terlihat gugup.
“Ya,” ucapnya. Sepertinya dia belum terbiasa.
Rania pun berlalu dari hadapannya.
“Wa’alaikumussalam,” ucap Rania menjawab salamnya sendiri saat sudah mengendarai motornya. Dia tampak semangat menuju sekolah pagi itu.
Sementara Alaric hanya diam terpaku melihat kepergian istrinya pagi itu. Dia sesali sikapnya yang sempat meremehkan Rania sebagai gadis kampung yang mengajar anak-anak jalanan dan tidak sebanding dengan Alea. Ternyata gadis kampung itu memiliki hati yang sangat mulia, yang telah memberinya kenyamanan luar biasa.
_____