XV. Mimpi Dalam Tidur.
Tubuhku tak terlalu merespon untuk bangun, lalu aku melihat ruangan yang berbeda saat membuka mata. Aku mengecek pakaianku, ternyata aku memakai pakaian saat di ospek. Rey berdiri di samping pintu dengan wajah pucatnya, Nampak dia khawatir tanpa sebuah kejelasan. Seseorang masuk dari luar, ku melihat kenop pintu berputar samar-samar.
Pintarnya aku ialah masih berpura-pura tidur seperti orang mati. Seorang perempuan bersetelan putih masuk membawa beberapa kertas di tangannya, ia mengambil pulpen dari rambutnya?. Kejadian ini mirip seperti aksi komedi di film layar lebar. Hebatnya, ikatan kepalanya tidak ikut terlepas. Dan yang lebih hebatnya lagi ialah, Rey sama sekali tidak tertawa. Bahkan pipiku menggembung karena menahan tawa melihat kelakuan absurd perempuan itu.
Mereka membicarakan suatu hal yang nampaknya sangat penting, dilihat dari raut wajah Rey yang makin mengeras. Aku agak kaget saat mata Rey melirik ke tempatku tidur. Untung saja aku dengan sigap bisa menutup mataku secara alami, sehingga tidak ada pengaruh besar seperti tanda-tanda aku sudah bangun.
Setelah beberapa omongan lainnya yang mereka bicarakan, perempuan itu beranjak pergi. Keluar dari ruangan kecil yang dipenuhi bau obat menyengat. Rey mendapatiku sudah bangun dan langsung datang ke tempatku. Ia mengambil sebuah kursi di ujung sana dan menempatkannya tepat di depanku.
“mau sampai kapan berpura-pura?” tanyanya serius dengan nada sedikit kesal. Entah sejak kapan ia tau aku sudah bangun. Seakan-akan ada mata yang mengawasiku saat dia berbicara dengan orang lain.
“ada apa?” aku masih dalam keadaan berbaring lemah di tempat tidur. Untuk menggerakkan tanganku saja aku tak sanggup, cukup besar tekanan yang ada. Mungkin aku kelelahan.
“harusnya aku yang bertanya kembali, kau ada apa?” dia melontarkan pertanyaan yang sama seperti yang ku katakan ke dirinya. Aku berpikir sejenak mengingat apa yang terjadi. Kami saling menatap salam keheningan, Rey terlalu diam tidak seperti dirinya yang biasanya.
“hanya sedikit kelelahan karena sinar matahari” aku menjawab dengan penuh makna, dan berharap dia mengerti dengan cepat. Dia hanya diam dan menatapku lekat-lekat.
“kau tau aku tak bisa terkena sinar matahari terlalu lama, apalagi semangat mereka berkobar dan membuatku jadi panas” aku meyakinkan Rey sekali lagi sebelum diterkam oleh matanya yang tajam.
“lain kali katakan lebih dulu kalau sudah tak sanggup” matanya berpindah pandangan, ia tak melihatku saat mengatakan itu. Ada yang dia sembunyikan, aku merasakan ada yang berbeda. Aku berdiskusi kecil dengannya tentang apa yang terjadi sebenarnya. Dan dia dengan mantap menjelaskan hal-hal tak berguna seperti apa yang mereka lakukan saat ospek dan lain sebagainya.
“kau yang mengangkatku kemari?” tanyaku penasaran, tidak mungkin aku menyeret diriku sendiri sampai di ruang kesehatan. Tapi bisa jadi itu yang terjadi kalau aku jelmaan suster ngesot yang viral di Indonesia.
“mungkin….” Ia menjawabku dengan keraguan yang luar biasa besar, aku tak terlalu menuntuk menanyakan siapa yang mengangkatku. Siapapun itu pasti bukan orang yang kukenal. Bagaimana caranya berterima kasih kepada orang itu? Ah lupakan. Lagipula itu pertemuan pertama dan terakhirku dengan siapapun itu. Anggap saja angin berlalu dan lupakan semua.
“aku minta maaf..”
“untuk apa?”
“kau tau nanti” jawabnya singkat sebelum keluar dari ruangan.
“….. terserah” aku membaringkan tubuhku sesaat ke kasur, sebuah botol berisi air putih di letakkan tepat di sampingku. Sebelumnya aku tak begitu menyadarinya. Hingga dia…
XVI. Kesialan yang Beruntun.
Memikirkan tentang kata maaf dari Rey sangat membingungkan. Untuk apa meminta maaf tapi tidak ada salah? Permainan apa yang dia mainkan sekarang?. Aku lumayan bingung dengan jalan cerita hidupku yang kelewat banyak pertanyaan ini.
Pagi ini ibuku berteriak cukup keras menggemparkan tidurku yang lelap. Ia memasak mie khas makanan tiongkok dan menggosongkannya. Biasanya ia cukup telaten dalam hal memasak, tak perlu diragukan lagi keahliannya mungkin hari ini ia lupa bagaimana caranya memasak dan malah membuatnya sebagai petaka. Rumah kami hampir kebakaran karena kecerobohannya.
Dengan pakaian tidurku, aku keluar membantu memadamkan api sebisa mungkin. Tapi wajan tempatnya memasak malah meledak dan terlempar kemana-mana, menumpahkan sisa kuah yang masih berdiam mendidih di dalamnya. Lalu jadwal pagiku sebelum kuliah malam yang pertama di mulai ialah, memadamkan api dan merapikan kembali dapur yang hancur.
Alhasil dalam 3 jam aku menyelesaikannya dibarengi dengan keluhan ibuku. Seluruh tubuhku mirip seperti tentara yang akan berperang. Warna hitam yang tercoret di tubuhku tak mau kalah dengan hitamnya p****t wajan itu. Sampai aku lupa, pagi ini perutku masih menunggu suapan sarapan. Akhirnya kami memutuskan untuk memanggang beberapa roti dan mengoleskan selai cokelat yang banyak di dalamnya. Bedanya ibuku menggunakan selai srikaya, ia bilang selai cokelat itu terlalu manis untuk orang tua paruh baya seperti dirinya.
Alasan para ibu, kemarin saja aku melihatnya mengoleskan banyak selai cokelat di rotinya saat aku mandi. Harusnya hari ini aku melupakan tentang ritual mandi para gadis. Tapi bau gosong yang lengket ini tidak karuan, membuatku ingin muntah menghirupnya. Bahkan dapur kami harus di cat ulang dengan beberapa pelapis cat warna putih untuk menyamarkan warnanya.
Saat mau memanggang sebelah sisi roti, anehnya kesialan beruntun mulai datang. Ledakan kedua terjadi setelah colokannya disambungkan ke listrik. Semua listrik mati, Lonjakan listrik mendadak membuat kami berdua terkejut bukan kepalang. Akhirnya semua tentang makan roti dan selai harus buyar dan hilang, digantikan dengan makan angin dari alam.
Sarapan yang amat luar biasa di luar nalar kami berdua. Ibu memutuskan memesan beberapa sarapan pagi dari luar, sementara aku sibuk menyetel kembali pemanggang roti itu. Barangkali ia masih bisa diselamatkan walau itu semua nihil. Entah apa yang ibu pesan pagi ini, aku tak begitu berani mengutarakan tentang apa yang ingin kumakan. Tidak dimarahi saja sudah bersyukur, malah mau menambah beban? Begitulah katanya biasanya.
Bahkan aku hapal setiap kata-kata yang akan dilontarkan, sudah terbiasa tentang bagaimana ia mengatakannya. Aku lumayan beruntung hari ini mungkin?, sesaat kemudian aku ragu kalau hari ini akan menjadi beruntung. Setidaknya lumayan beruntung karena masih memiliki rumah dan tidak menyusahkan tetangga yang bergosip di belakang kami.
Harusnya toko dibuka lebih awal hari ini, beberapa anak sekolahan mulai sibuk mencari topi ataupun dasi yang mendadak musnah di rumah. Bukannya musnah, tapi mereka yang lupa menaruhnya di mana. Akhirnya kami membuka toko pukul 12 siang saat mereka pulang sekolah. Namun demikian, dalam beberapa jam ke depan kami langsung menutupnya. Alasannya? Kelewat capek membersihkan rumah, Yah itulah kami.