KESEPULUH

1019 Kata
XVII. Dirinya yang Berbeda. Masih ingat tentang beberapa waktu lalu? Tentang bagaimana perkenalan kita? Atau setidaknya tentang beberapa hal yang mengusik hari itu?. Masih segar dipikiranku tentang kejadian yang harusnya kita cap sebagai masa lalu itu. Ah aku iri dengan orang-orang yang hubungannya lancer bagaikan air. Sebenarnya ku tak begitu peduli tentang bagaimana pandangan seseorang itu. Aku hanya menginginkan hidup yang sama seperti mereka. Hidup yang biasa saja, yang tak perlu bergelut dengan masa lalu. Bahkan tak perlu ribet dengan urusan keluarga. Hingga dia datang kembali untuk kesekian kalinya dan hidupku mulai berubah lagi untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja bisa kutanya apa mau dia, yang melelahkannya ialah aku pun tak sanggup menolak kehadirannya itu. Aku terlalu lemah untuk sebuah rasa, kelewat fanatik untuk memilikinya. Tanpa sadar, akulah yang hancur saat itu juga. Akhir dari cerita Valeria Sutanto harus diakhiri sampai di sini. Setelah lama menghindari beberapa media sosial untuk memperbaiki diri istilahnya, aku kembali melengketkan diriku pada smartphone lama itu. Berjalannya waktu membuat smartphone ini tampak usang. Salahku juga tak membelikannya sarung baru, sekarang sarung lamanya sudah kekuningan. Uangku habis untuk cemilan yang setiap hari kuimpikan. Seperti ramyeon khas korea ataupun sushi makarel panggang khas jepang, mungkin saja aku ingin memakan pizza. Semua tergantung selera dan moodku pada hari itu juga. Lucunya mood hari ini tidak terpaut dengan makanan apapun. Hanya terpaut pada barang elektronik yang bahkan tak mengenyangkan atau mengendutkanku. Biasalah, setelah selesai periode bulan, biasanya mood makan akan hilang bagaikan angin. Whusss, backsound angin pun mengiringinya di dalam pikiranku. Apa mungkin kalau aku membayangkan pantai maka suara pantai yang muncul?. Mari kucoba, mana tau aku bisa dibohongi oleh pikiran sendiri. Baru saja mau memulai ritual ilusi tempat, tiba-tiba wajah Rey dicondongkan tepat di depanku. Wajah kami hampir saja bersentuhan kalau aku tak reflek menghindar. Rey duduk dengan tangan menumpu dagu, mirip seperti om-om yang mencoba menggali kesalahan ponakannya. Aku balas menatapnya, mataku menelusuri pikirannya jika aku bisa. Karena aku tidak bisa, maka mataku hanya menelusuri wajahnya. Keheningan terus berlanjut lama. Dengan keras kepala aku menolak menjadi orang pertama yang memecah keheningan. Aku berusaha untuk Nampak lebih serius dibanding dirinya. Alis Rey mengerut tak beraturan melihat beberapa tingkahku yang tak kalah seriusnya. Tak mau kalah sudah mengalir di darahku, aku menatapnya marah. Tiba-tiba suasana hatinya yang tak bisa ditebak berubah lagi, ia tersenyum jahil menatapku. Mulutku sudah meronta-ronta, beberapa kalimat kasar sudah kusiapkan dalam hati. Kuhapal dan kusalurkan secara batin dengan batin. Barangkali ia bisa menerimanya dengan radar atau antena apapun yang ada di kepalanya. Sekarang ia mulai memainkan kedipan matanya. “bravo Rey! Kamu bisa membuat perempuan manapun terpesona hanya dengan tatapan mautmu yang menjengkelkan!” aku bertepuk tangan kencang, lupa tentang kondisi kelas yang tenggah ramai. Ia Nampak sedikit terkejut, namun langsung ia tutupi dengan sikap yang katanya “cool” itu. “kau bisa memikat segala jenis perempuan, kecuali AKU” aku menekankan kata “aku” yang merujuk pada diriku. Seperti lupa pada kondisi kelas seperti diriku, ia mulai tertawa keras. “hahahahahaah… bagaimana?? Apa yang kau katakan val?” ia memegang perutnya pelan, salah satu tangannya menutupi mulutnya yang tertawa keras itu. Ini pertama kalinya ia memanggilku val, sebenarnya aku tak begitu suka nama bahkan panggilanku. Tapi hari ini akan ku biarkan saja setelah ia menceritakan apa yang terjadi. “apa maumu? Jangan lagi!” seakan kata-kataku memiliki nada yang apik. Ia bingung. “sebentar? Kau belum tau?” Aku merengut mendapati pertanyaan yang tak sesuai dengan tingkah lakunya. Aku ingin bertanya lebih banyak, namun hari ini tetap kubiarkan saja. Dari sini aku menyesal, harusnya aku tanyakan saja ada apa. Rasa penasaran menggerogoti tubuh mungilku. Dan penyesalan kedua yang kudapatkan akhirnya tiba juga. Kepulanganku ke rumah dijadikan sebuah kesempatan besar bagi ibuku. Aku tak bisa membantah saat semua pekerjaan rumah yang begitu menumpuk harus di selesaikan sebelum malam. Apalagi ada tugas dari kampus yang tingginya mengalahkan gunung sinabung. Karena dua pekerjaan yang menumpuk aku jadi tak sempat berselancar di dunia maya apalagi media sosial tengah heboh. Biasalah, perkara menjelek-jelekkan lawan jenis sedang viral di masa millenial ini. Terkadang pertengkaran mereka lumayan mengocok perut, apalagi membawa aib para perempuan yang tak bisa dibantah. Terkadang pertengkaran mereka serius yang berujung tragedi tertawaan. Aku menyempatkan diri mengecek beberapa pesan baru, barangkali Rey atau siapapun itu menghubungi. Sekilas menanyakan kabar atau apalah yang membuatku nyaman di dunia maya. Harapan ku besar sampai aku melihat benar-benar ada pesan masuk. Nomor orang yang mengirim pesan bukanlah seseorang yang kukenal, bukan juga nomor yang pernah mengirim pesan sebelumnya. Mataku berbinar-binar saat berpikir ini adalah orang baru. Berkenalan dengan orang baru membuatku lumayan tertantang. Memiliki topic chatting yang mengalir layaknya air adalah yang kuinginkan. Ketika itu aku akhirnya mengambil sebuah keputusan untuk membalas dengan sebuah pesan singkat. Agar tak terlalu nampak aku yang tertarik, setidaknya kita harus jual mahal,kan?. Anggukkan saja kepalamu! Wanita harus jual mahal!. Aku melihat isi pesannya, dan menimbang kata apa yang akan kugunakan untuk melemparkan kembali surat kembali ke laut. Ia hanya mengirimkan pesan “hai”, aku jadi ragu ia seseorang yang asik untuk diajak berkomunikasi secara daring ini. Secara keseluruhan makhluk ini lumayan misterius, tidak memajang foto profil atau menuliskan status. Yah lagipula aku juga sudah mengirimkan pesan berisikan “hai juga”. Tak terlalu tampak tertarik namun cukup sopan dan baik, balasan yang bagus bukan?. Lumayan menarik, dia sejenis tipe manusia dingin yang kuidam-idamkan. Bukan berarti aku ingin dia menjadi pasanganku, yah aku juga sudah malas dengan lelaki. S ebagaimana yang diucapkan diriku dahulu “lelaki hanyalah serigala yang haus akan mangsa, kalau kau masih terperangkap dalam perangkap mereka. Itu artinya kau perempuan bodoh” motto yang sedikit kasar namun membantuku melewati hidup dalam kesendirian. Bahkan aku memiliki motto tentang pertemanan juga, semua dimulai dari hal kecil yang harus dijaga. Mungkin begitu anggapannya, anggaplah saja benar kalau laki-laki itu serigala. Memangnya di hidup ini kita perlu laki-laki? Sebagian orang mengatakan iya dan lainnya mengatakan tidak. Aku, Valeria Sutanto masuk dalam orang yang mengatakan tidak!. Orang-orang tak akan mengerti tentang apa yang kita pikirkan. Semakin kita memperkeruh pandangan kita kepada orang lain, yang terjadi adalah sebuah perdebatan tanpa ujung. Karena kita mengerti diri kita sendiri, tak perlu apa pandangan orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN