KEEMPATBELAS

1045 Kata
XXII. Hari Pertama Kami Berpacaran. Yang berarti kami memulai semua lagi dari awal. Kuputuskan untuk menghabiskam waktu satu jam membaca sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah maupun tentang cinta. Aku membawa beberapa buku filsafat tua yang paling tebal. Aku memilihnya dan pergi ke loteng. Tanganku menyambar beberapa selimut tebal. Jaga-jaga kalau nantinya kedinginan aku tinggal menggunakannya, dan bersembunyi di balik selimut hangat. Loteng di rumah langsung terhubung ke luar dengan sebuah kaca transparan yang besar. Aku menelungkup, mengangkat dan menyilangkan pergelangan kaki , membalik-balik halaman buku filsafat itu dan menentukan bagian cerita yang cocok denganku. Kutarik lengan bajuku setinggi mungkin dan memejamkan mata. Aku menaruh buku filsafat itu di bawah lantai sementara. Kemudian mulai merasakan hangat di ujung kakiku dan rasa dingin di atas kepalaku. Aku mulai menarik selimut itu ke atas dan mulai membungkus diriku dengan rapat. Dingin adalah hal yang paling kubenci, setidaknya aku bisa selamat hingga kini Karena suhu hangat. Aku mulai menghidupkan lampu belajar yang tidak terlalu teang di dalam goa baruku. Goa selimut yang tak memiliki apapun di dalamnya kecuali sebuah buku, lampu penerang dan aku sendiri. Aku mengangkat tenggah selimut ke atas kepalaku. Sekarang goa buatan itu berbentuk gunung bukan goa tak beraturan. Memang benar beberapa filsafat mengungkapkan tentang cinta, jadi aku cari saja beberapa yang tak menyinggung soal cinta. Aku mulai meneliti halaman perhalaman lembar filsafat tua itu, menyerap semua ilmu yang aku bisa. Hingga ia terhenti di halaman ke 20. “seseorang bisa saja jatuh cinta dan patah hati berkali-kali. Yang membedakan adalah cara mereka menghadapi patah hati. Terkadang sama seperti jatuh cinta, patah hati juga punya hak untuk dinikmati. Kesedihan dan kebahagiaan adalah dua perasaan yang sama tidak ada salahnya menikmati kesedihan sama seperti menikmati kebahagiaan. Tidak ada yang lebih superior dari keduanya, lalu mengapa kita harus merayakan kebahagiaan dan mengutuk kesedihan. Kita manusia memang suka membuat taksonomi. Mengelompokkan sesuatu ke dalam baik atau buruk. Tidak semua yang menyenangkan itu baik, sama seperti tidak semua yang menyakitkan itu buruk.” Dan halaman selanjutnya… “begitulah cinta, ketik ia terurai jadi perbuatan. Ukuran integritas cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati. Terkembang dalam hati, terurai dalam perbuatan” Hingga beberapa halaman selanjutnya….. Dan selanjutnya masih tentang cinta. Hampir saja ku lempar buku ini keluar dari jendela akibat kegirangan. Bagaimana bisa buku pun tau aku sedang berbahagia?. Perhatianku mulai merujuk pada kenyamanan Jacob. Sebenarnya lebih ke arah khawatir karena dahulu ia sering mabuk-mabukkan. Aku khawatir kalau ibu tau ia malah makin tidak menyetujui kami.. aku bergegas ke took menanyakan hal aneh yang bisa kusampaikan. Deritan tangga kayu terdengar keras saat kakiku menapakkinya satu persatu. Deritan itu terdengar nyaman sekali, hingga kadang aku melakukan naik dan turun berulang kali. Hanya untuk mendengarkan deritan yang mirip selayaknya rumah nenek. Merindukan sekali mengingat semua hal yang tua dan berjalan beriringan dengan tahun yang terus berlalu. Di toko hanya ada ibu dengan pekerjaanya, tidak ada pembeli sama sekali. Kesempatan yang bagus untuk membicarakan tentang ini. “ma…..” erangku jauh darinya. Habisnya menakutkan kalau harus berbicara tentang ini sambil menatap matanya. Bisa-bisa aku ditelan sebelum selesai berbicara. Eugh tubuhku bergidik gemetaran kalau membayangkannya. “tidak boleh…” jawab ibu sambil mengecek beberapa persediaan di took. “eh? Apanya? Aku bahkan belum mengatakan apapun” aku lumayan terkejut dengan jawabnnya yang frontal. “aku sudah tau apa yang ingin kau katakan” jawab ibu gampang. “apa?? Bagaimana bisa???” bibirku mengatup rapat. Mataku hangat, sepertinya hujan akan turun. Air mata sudah bersiap-siap di kelopak mataku, bersiap-siap hingga meluncur ke bawah dengam deras. “kan sudah kubilang tidak boleh membelinya lagi, bagaimana bisa dalam 1 tahun kau menghabiskan 4 pasang sepatu sekaligus? Memangnya kau ini wonder woman yang bisa menghancurkan barang dengan sekali sentuh?” ibuku mengomel panjang tanpa arah yang jelas. Heh! Apa-apaan ini? Aku kira ini akan menjadi sebuah tayangan yang mengharukan dan menjanjikan. Ternyata semua di luar pemikiranku. “bukan itu!!” aku menggerakan seluruh badanku seperti sedang mengamuk kecil layaknya anak-anak. “lalu apa? Cepatlah! Jangan mengganguku kerja” ibu mengusirku dengan gerakkan tangannya yang melambai. “jadi itu…a..ku…..bo….leh…… pa..ca….” belum selesai aku berbicara ia langsung menyelonong masuk ke pembicaraan. “kencangkan sikit suaramu itu, udah tua aku. Pendengaranku udah tak bagus macam kalian wahai anak muda” gestur ibu saat berbicara mirip seperti pemain drama india yang berseason. Dengan tangannya yang dinaikkan dan kepalanya menggeleng kecil. “AKU BOLEH BER-pa….ca….ran…. MA?” gestur ku tak kalah heboh darinya. Walau kata pacarannya masih kupelankan. “eum.. tidak… pikirkan saja kuliahmu daripada yang lainnya” ia masih sibuk mengecek baran-barang lain. “tapi…” aku masih membela diri, barangkali tiba-tiba ia mengijinkannya. “tidak ada kata tapi lagi, sudah sana pergi ke atas” ie mencoba mengusirku untuk kesekian kalinya. Aku menyerah dan segera naik ke atas. Aku langsung menumbangkan tubuhku ke atas kasur. Lelah untuk mencoba berbicara tentang itu lagi, lagipula kami sudah diam-diam berpacaran. Jadi tidak ada alasan lain lain bukan untuk menjalaninya dalam diam?. Aku langsung memberitahu Jacob tentang apa yang coba kutanyakan pada ibuku. Dan ia hanya menjawab “biarlah waktu yang menjadi saksi, yakin saja ibumu pasti menyetujui kita tapi ntah kapan terjadinya. Sekarang fokus saja pada apa yang bisa kita lakukan oke?” Aku lumayan lega dengan kata-katanya yang berusaha meyakinkanku. Aku juga yakin ia pasti berbeda. Lalu kami memulai komunikasi kami lebih sering. Saat aku punya waktu luang, maka aku bisa membalasnya. Lebih tepatnya aku tetap luang demi dirinya. Bahkan sesibuk apapun, ada ujian atau bagaimanapun. Hal pertama yang ku lakukan adalah tetap berkomunikasi. Setidaknya ini bisa ku lakukan agar dia tidak bosan dan malah mencari perempuan lain. Apalagi ia terkenal dengan humble dan baiknya pada perempuan lain. Sebenarnya bukan sebuah masalah besar, karena ia pun berhak memiliki teman perempuan. Ia juga berhak baik kepada orang lain,kan?. Satu hal yang kumengerti dari dirinya ialah, “sebuah senyuman bukan berarti menyukai, sebaliknya menyukai tidak harus menggunakan senyuman. Selama kau percaya kepadaku, kau hanya perlu yakin. Lagipula aku tak memiliki niat besar untuk memiliki perempuan lain selain dirimu. Secantik apapun perempuan di luar sana itu tidak penting, hanya memilikimu saja aku sudah bahagia” Aku selalu tersanjung saat membaca pesan yang romantic darinya, kesan dewasa dari kata-katanya tidak lepas dan masih melekat di antara spasi yang ia buat. “ia aku percaya kok, Jacob yang kukenal berbeda dengan lelaki lain” emotikon senyum pun menyeruak dari balik pesanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN