KELIMABELAS

1081 Kata
XXIII. Pertemuan Ketiga yang Mengharukan. Dengan sembunyi-sembunyi aku selalu bertemu dengannya. Alasan yang kulontarkan ke ibu adalah pergi melakukan kegiatan keagamaan. Tapi itu tidak seluruhnya bohong, karena kenyataannya memang melakukan kegiatan keagaman. Setelah selesai baru pergi makan. Ini pertama kalinya melakukan kegiatan seperti ini, apalagi ini agama wajib di sekolah namun berbeda dengan agamaku di rumah. Setidaknya hanya 2 kali setahun aku mengikutinya. Walau begitu aku sudah menghapal satu buku paritta itu, dan juga di sekolah diharuskan menghapalnya. Awalnya aku ingin mengajak Rey, tau tau ternyata ia harus pergi entah kemana hari itu. Katanya sih harus melakuka photoshoot keluarga, soalnya kakaknya baru saja selesai wisuda. Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri dan pergi sendiri. Setidaknya membawa beberapa semprotan cabai mana tau ada kejadian yang tak menyenangkan. Membekali diri dengan alat setrum juga tidak masalah, namun aku akan malu kalau membawa barang seperti itu. Aku melihat jam menunjuk pukul 08.30, yang artinya hanya tinggal sedikit waktu untuk sampai di sana. Apalahi kegiatan dilakukan sekitar jam 10. Aku segera bergegas ke sana tanpa membawa apapun kecuali uang dan semprotan cabai yang tadi ku katakan. Hari ini cuaca cerah-aku tau. Aku juga terkejut, jadi aku akan keluar dan menyerap vitamin D sebanyak mungkin. Setidaknya vitamin D bisa membuatku tetap cerah sampai waktu makan kami berdua. Di luar beberapa pohon rindang membentuk bayangan menutupi cahaya matahari yang teriknya lumayan menyengat. Beberapa orang sibuk berjalan kemari membawa beberapa tentengan. Entah sudah berapa lama aku tidak keluar sendiri berjalan-jalan menikmati bau pagi yang masih segar. Biasanya aku dengan ibuku pergi ke market dan membeli beberap kebutuhan rumah. Kadang saat melihat beberapa kucing yang ikut melintas membuatku gemas, sehingga aku berhenti untuk beberapa saat. Setidaknya membantu kucing liar itu untuk menggaruk punggung mereka yang lumayan sulit untuk digapai dengan tangan kecilnya. Hingga melupakan waktu untuk berjalan kembali. Ada saatnya setelah membantu mereka menggaruk, maka mereka akan mengikutiku berjalan-jalan. Mengandaikan bahwa mereka adalah penjagaku. Sangat imut kadang mereka mengeong kepada beberapa orang yang melintas dengan jarak yang kelewat dekat denganku. Dan aku tetap lupa waktu, malah mampir ke sebuah market membeli setidaknya 2 atau 3 bungkus sosis. Dan berhenti lagi untuk memberi mereka makan lalu kutinggalkan di sana. Sisi diriku yang lain ingin mengangkatnnya dan memberikannya makan selagi aku berjalan. Namun hari ini pakaianku harus bersih tanpa adanya bulu-bulu kucing yang akan membuatnya bersin. Barangkali ia benar-benar akan bersin? Pikiran yang amat rapi kan?. Kemudian aku melanjutkan perjalananku yang rasanya makin jauh setelah terus-terusan berhenti. Aku melirik ponselku melihat waktu, tepat pukul 9.25 dan ada pesan darinya. “kenapa belum sampai? Aku jemput yah? Udah di mana? Coba beritahu lokasimu dan aku segera ke sana” ia nampak khawatir mungkin?. Aku menyempatkan waktu untuk membalasnya, “ah tidak usah! Aku sudah dekat kok. See you in there…..”. Sekali-sekali aku ingin juga dijemput olehnya. Barangkali bisa melingkarkan tanganku keperutnya seperti di drama yang selalu ku tonton, lalu lagu romantic mulai menyenandung perjalanan kami. Tiba-tiba semua pejalan kaki hilang layaknya figuran di drama. Dan tinggal kami bedua menikmati angi sepoi-sepoi dengan elegan. Atau ia akan membantuku turun dari kereta dan BOOM!. Mimpi itu seketika hilang saat kereta api mengeluarkan suaranya. Perjalanan menuju ke tempatnya, eh bukan! Menuju tempat ibadah maksudku. Harus melewati jalur kereta api kecil yang menghubungkan desa kami dengan kota yang menjadi destinasi wisata para penggila belanja. Untungnya aku tidak menghayal terus dan malah menyebrang tanpa tau palang kereta sudah di turunkan. Aku melempar jauh baying-bayang romantisku. Hal berikut yang kusadari ialah suara kereta api sudah menjauh dan semua orang sudah mulai berjalan lagi. Aku masih berdiam di tempatku berdiri, setidaknya sedang menimang-nimang apa yang harusnya kulakukan? Melangkahkan kaki kanan atau kaki kiri dahulu? Terserah! Berjalan saja. Tanpa waktu yang lama aku sampai di lokasi yang sudah ditentukan dengan napas yang hampir hilang. Aku mengedarkan pandangan, bingung karena perasaan yang muncul tiba-tiba bahwa aku tak lagi sendiri. Aku melompat, merasa gugup dan konyol, mengumpulkan seluruh napasku kembali. Dan mencairkan ketegangan orang yang melirikku dari ujung mata. Setelah selesai melepas alas kakiku dan menandatanganin beberapa absen kehadiran mungkin. Seorang perempuan yang nampaknya senior datang mendekatiku. Ia menanyakan beberapa hal yang tak membuatku risih. Namun tak satupun dari kami menikmatinya. Meski begitu ia kelihatan senang tanpa arti, senyuman lebar menyeruak dari wajahnya. Aku hampir shock dengan cahaya yang tiba-tiba muncul begitu saja saat ia tersenyum, terlalu cerah hingga akupun terdiam untuk beberapa saat. “bagaimana? Susah mencarinya?” tiba-tiba suara itu datang dari belakang, suaranya membiusku. Jacob datang dari belakang tempat ibadah sehabis sarapan paginya bersama anak lain. Dan aku masih tidak menjawab sepatah katapun, masih terdiam. “mana mungkin susah mencarinyaaa” jawab cerita perempuan yang tadi megajakku berbicara. “kalian sudah berkenalan?” Tanya Jacob kepada perempuan ini. “tentu! Kau pikir kakakmu ini tidak sopan dan langsung menculiknya tanpa memberi tau nama? Dasar adik sialan” perempuan bernama Erika ini bukanlah kakak kandung Jacob, aku yakin 100 persen!. “jangan bercanda, aku tak perlu kakak sepertimu” Jacob langsung mengelak kata perempuan itu, anehnya Jacob melirik ke arahku saat berkata begitu. Aku jadi tak begitu yakin tentang hubungan mereka, namun aku benar-benar tidak mempermasalahkan apapun tentang itu. Asal ia tetap mencintaiku tidak apa ada hubungan dengan perempuan lain. Jacob langsung menarikku yang diam saja dari tadi, aku hampir saja pergi menjauh dari pembicaraan mereka yang membuatku iri. Apalagi aku dan Jacob selama ini hanya bertemu lewat online tanpa bertemu muka dengan muka. Telepon pun tidak pernah, padahal aku menyukai suara Jacob yang berat-berat serak. “bagaimana? Sudah bisa berbicara?” ia melambaikan tangannya di depan mataku. “yah…” suaraku agak lemah, malu. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan lebih dekat. Keringatku bercucuran, bahkan telapak tangan dan telapak kakiku kedinginan. Tapi tubuhku merasakan panas. Agak aneh, tapi begitulah cinta. Saat kau bertemu dengan seseorang yang amat kau cintai, maka matamu akan bergerak tidak wajar, dentuman jantung tidak karuan. Bahkan berbicara pun tak bisa menatap matanya secara langsung. Aku agak gugup dan terus-terusan mengaitkan jariku bersamaan. Ia sepertinya tau aku gugup dan mulai mencoba hal lain untuk menurunkan gugupku. “belum makan? Mau minum? Atau atau bagaimanaa??? Apa yang harus kulakukan?” dia kelakaban, seperti khawatir tanpa arah. Ia menaikkan rambutnya, bingung apa yang harus dilakukan saat kondisiku begitu. Aku tertawa keras karena tingkahnya yang lucu, sangat imut kelakuannya hingga aku ingin mencubit pipinya. Namun karena aku lebih pendek sekitar 30 cm darinya, maka kuurungkan niatku. Melihat tertawaanku, dia pun ikut tertawa. Namun wajah kami terlalu dekat saat tertawa, dan aku mulai diam lagi karena dentuman jantungku semakin tidak karuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN