XXXI. Bayanganku.
“Aku benar-benar berpikir kami akan terbiasa menjalani kehidupan kami seperti dahulu, ternyata aku agak salah tentang ini.”
Masih sempat-sempatnya aku mengecek smartphoneku saat bangun tidur, mengecek ucapan selamat pagi yang baru dari Jacob.seperti biasanya, ucapan itu masih sama diiringi dengan emotikon cinta.
Kemarin aku melewatkan kuliahku untuk 2 bulan dan sekarang aku harus mengulang 1 semester lagi agar belajarku semakin maksimal, begitulah kata dosen pembimbing. Lalu dari sini aku mulai hidup baru dengan tekad yang lebih kuat dari kemarin.
Hubunganku dengan Jacob baik baik saja setelah 1 tahun yang baru untuk kedekatan kami. Yah, walau ia terkadang sediking melenceng, biasalah lelaki. Sekarang aku juga sudah lebih biasa menegurnya ketimbang memilih jalan putus lagi. Namun kami memang tidak berhak putus, karena ini hanya hubungan tanpa status yang kami jalanin.
Sebenarnya Jacob tak terlalu nakal, apalagi jahat. Dia menceritakan kepadaku, saat ia stress. Maka ia berpikiran untuk setidaknya merokok ataupun meminum minuman keras. Yah aku agak kecewa dengan keputusannya. Setelah kami bicarakan baik-baik, ia pun berpikir merokok dan minuman keras tak terlalu baik untuk tubuhnya.
Yah Jacob bisa dikatakan lumayan menurut, apalagi sekarang ia sudah menjauhi apa yang namnya rokok dan miras. Beberapa hal tentang itu memang sudah tak kami permasalahkan. Dan tidak ada rumor tentang kedekatannya dengan perempuan lain. Benar-benar 1 tahun hubungan tanpa adanya angin topan yang menerpa mendadak.
Aku lumayan bahagia, kadang depresiku kambuh. Tapi setelah berbicara dengannya aku bisa tertidur lelap. Aku merasa sedikit lega, setidaknya ada dia yang menemaniku di saat-saat keterpurukan yang gelap.
Dia agak bangga dengan kelancaran hubungan kami, ibuku mengetahui tentang aku yang berpacaran dengannya. Pertama kali saat ia tau, entah mengapa ia tak terlalu terkejut dan juga tidak melarang. Namun ia juga tidak menyetujuinya. Hingga pada akhirnya Jacob datang lagi ke rumah.
Mungkin ia datang untuk menjelaskannya kepada ibuku. Setelah itu ibuku berpikiran terbuka dan mulai memperbolehkan hubungan kami. Ibuku kira aku hanyalah seorang anak kecil yang bermain-main dengan cinta, atas semua yang dijelaskan Jacob. Ia mulai percaya dan akhirnya kami menjalaninya dengan terbuka.
Kata ‘terbuka’ yang kami pakai dimaksudkan hanya untuk diperbolehkan berkomunikasi. Tidak boleh lebih dari itu, tidak boleh berpacaran juga. Hanya boleh sebatas saling suka. Untuk keluar dengan Jacob saja harus membawa banyak teman baru diperbolehkan.
Agak ribet memang. Tapi aku menyukai kondisi ini, jadi aku juga tidak perlu bersusah payah menyembunyikannya dari ibu. Apalagi kalau ketahuan nanti, semua akan lebih buruk jadinya.
Jacob juga tak terlalu ambil pusing dengan keputusan ibu. Dia lebih santai ketimbang dahulu. Dan juga dia tak memaksakanku untuk selalu jujur dengan ibu tentang apa yang kami lakukan. Intinya aku memang lebih banyak berbohong.
Untuk jujur kadang terlampau sulit, apalagi ibu dengan suara kerasnya mulai berteriak bertanya, “apa yang Jacob lakukan hah?!”. Mendengar itu saja nyaliku sudah ciut, apalagi jujur. Bisa-bisa kartu keluargaku akan berbeda dengan ibuku, istilahnya dicoret dari selembar kertas itu.
Kadang-kadang ibu juga penasaran dengan hubungan kami, dan enth mengapa ia selalu membanggakan Jacob.
“menurut mama yah, Jacob tuh baik, perhatian, tak ada tuh cowok yang mirip seperti dia. Terlebih lagi Jacob tuh sopan banget”
Kau tau bagaimana perasaanku saat ibu malah lebih membanggakan Jacob yang bukan anaknya? Rasanya AH MANTAB.
Hingga kadang ingin kusuruh ibuku saja yang berpacaran dengan Jacob. Tetapi yah kata-kata itu tak betul-betul keluar dari mulutku. Setidaknya itulah yang ingin kuungkapkan, apakah aku perlu mengirimkan sinyal dari kepala ini menuju antenanya yang tidak terlihat? Tidak mungkin! Kami bukan sejenis ataupun sebangsa alien.
XXXII. Jacob yang Kedua.
Untuk mengatakan hubungankami baik-baik saja harus dijabarkan dengan panjang, dengan rumus yang rumit. Bahkan tak mungkin selesai dalam waktu 1 minggu untuk menjabarkannya. Mungkin juga butuh waktu lebih lagi, 1 tahun kurasa.
Aku pernah mengucapkan sesuatu seperti menyelesaikan hubungan kami untuk kesekian kalinya, karena mau bagaimanapun aku bahkan tak bisa menahan diriku untuk tidak menyakiti tangan. Atau katakanlah bertahan untuk segala penderitaan yang masih sama seperti kemarin.
Mau bagaimanapun aku lumayan berhutang budi terhadap Jacob. Walau tak selalu, namun ia sering membelikanku makanan, atau sebatas mengantarkan jus yang tak seberapa itu. Kira-kira harga jus dengan ongkos dia datang kerumah malah lebih mahal ongkos datang ke rumah.
Aku malah semakin merendah mengingatnya. Jujur, bahkan aku tak pernah berharap untuk bisa mendapatkan perhatian lebih semacam ini. Aku merasa agak menjijikkan untuk hal-hal kecil, perhatian yang ia berikan. Aku menemukan beberapa cara menggubah sikap menjijikkannya, namun malah semakin aku yang terlihat jahat dalam hubungan kami.
Kata berhasil sangat jauh dari pandangan mata, kalau bisa dikatakan. Mungkin jaraknya sekitar 1000 km dari mata ini. Jauh sekali sampai tak terlihat lagi, bahkan bayangannya pun sudah di ragukan.
“Jacob, bisa tidak untuk berhenti datang ke rumah?” tanyaku dengan halus namun tampak frontal mungkin.
“kenapa? Mama marah lagi?” Jacob kira ibulah permasalahan utama kami.
“tidak… hanya saja aku agak risih. Aku hanya kurang suka kalau laki-laki datang” tanpa basa-basi aku menjelaskannya begitu. Dan dia memblokir kontakku selama 1 minggu.
Saat kami bertengkar maka itu yang ia lakukan, sifat kekanak-kanakkannya tidak bisa diubah. Menuju ke klimaks dari pertengkaran, maka kata agak kasar yang ia lontarkan. Hampir separuh hewan berkaki 4 ia sebutkan, bahkan kami bisa membuka sebuah kebun binatang. Lebih bermanfaat saat kami membuka kebun binatang ketimbang ia mengucapkannya satu-satu.
Jacob membuatku seperti orang jahat yang merudungnya, kebanyakkan malah kebalikannya. Dia orang jahatnya dan aku hanyalah peliharaan yang tunduk pada majikan. Padahal ia tak mengurusiku, tak merawatku, bahkan setidaknya tak benar-benar menyenangiku. Dia hanya mengikuti hasratnya sendiri.
Aku tak akan bisa menjelaskan gimana rasa jijik yang menjalar saat laki-laki itu terlalu mendalami perannya dengan manja. Bagaimanapun aku memang lebih menyukai lelaki yang dewasa perawakannya, bukannya tak mensyukuri apa yang kudapatkan sekarang. Kalau ditanya cinta tak sama Jacob, aku bahkan bisa menjerit “aku cinta dengan Jacob!”.
Tanpa ragu pun bisa kujawab pertanyaan itu dengan mudah. Kalian bisa menantangku semua tentang Jacob, aku tau segalanya tentang dia mungkin melebihi orang tuanya. Atau apa warna pakaian dalamnya hari ini bahkan aku bisa menjawabnya dengan cepat!. Tapi tidak mungkin kujawab, bisa-bisa aku dibanting.
“kalau saja Jacob seperti dulu, walaupun perubahannya sekarang pun aku tetap mencintainya”
“seandainya saja…” aku bergumam, melihat jarum jam tanpa ragu teus maju. Dan tanpa sadar jarum jam itu mundur menjauhi masa depan. Sepertinya, ia tak menyetujui masa depanku yang sudah bisa diprediksi.
“bodoh…….” Siapa? Yah aku! Siapalagi di dunia ini yang bisa sebodoh diriku? Jawabannya adalah ‘tidak ada’.