XXIX. Ungkapannya.
Jacob tengah duduk di dalam rumah, di ruang tamu tepatnya. Dia duduk di sofa depan jendela besar, karena tirainya dibuka. Rasanya seperti melihat malaikat sedang duduk di rumah. Cahaya itu menyinari punggungnya, terlalu silau hingga aku menutup mataku samar-samar.
Aku mengira Jacob tiba-tiba bangun menghampiriku yang lusuh ini dengan membawa sebuah cahaya dan membaginya kepadaku. Masih itu bayanganku awalnya, aku juga tidak mengira ilusiku akan makin memburuk. Setidaknya aku senang dengan penampakkan yang sementara itu. Kini aku harus fokus dengan sosok Jacob yang nyata di depan mataku.
Kami berdua diam, bahkan suara jam terdengar kuat di telingaku. Jacob menatapku lekat-lekat, dan aku mengalihkan pandanganku. Sekali-kali aku meliriknya, tidak sering namun cukup intens. Gerakan mataku terlihat gugup mungkin, hingga ia pun menyadarinya.
Namun kami tetap diam, enggan memulai sebuah percakapan yang bahkan tak tau ke mana larinya. Pada akhirnya aku sengaja menatapnya. Bukan karena ingin, lebih ke arah penasaran saja. Ternyata ia sudah mengedarkan pandangannya melihat ke luar melalui jendela besar di belakangnya. Dan aku merasa jiwa malaikatnya makin menyeruak keluar.
Aku dengan cepat menghapus bayanganku dan dengan berani bertanya,
“ada apa?” tanyaku tanpa basa basi pembuka seperti hi dan kawan-kawannya.
“eum tidak….” Jawabannya, Ia tampak sedikit terkejut. Namun rasa terkejut itu ia tutupi dengan sikap dinginnya.
“pulanglah” jujur aku agak risih saat lelaki datang ke rumah, menurutku agak sedikit menjijikkan. Rey saja tidak pernah datang karena tau phobiaku ini. Menurutku lumayan kurang ajar saat laki-laki datang tanpa adanya pemberitahuan.
“aku tidak suka ada laki-laki yang datang ke rumah, terlebih lagi tidak ada pemberitahuan sejak awal atau janji” kataku frontal.
Ia nampak agak heran. “kenapa? Kau tak suka aku datang?”.
Pertanyaan yang aneh. “bukan begitu, aku memang tak suka ada laki-laki yang menginjakkan kaki ke sini” bahkan jawabanku sama sekali tak memberinya ampun, sementara hatiku meronta-ronta karena jawaban yang kasar itu. Tidak ada kata memohon untuk kembali, yang ditunjukkan wajahku hanyalah kebencian yang mendalam.
“aku kira kau merindukanku Val….” Raut wajahnya agak bersalah, hanya agak tidak banyak. Namun ujung bibirnya agak menurun. Apa artinya? Dia kecewa?? Harusnya akulah yang kecewa dengan semua ini.
“tak perlu banyak basa-basi untukku, apa maumu?” aku tak memberinya ampun. Itulah yang kulakukan sekarang, jual mahal dengan hati yang mengemis.
“kau tak ingin kembali seperti dulu? Aku tau tentang Lisa itu hanyalah sebuah kesalahan” Jacob memelas sekarang. Asal dia tau, hatiku ingin menjawab iya tapi mulutku menolak semua kebodohanku. Sekarang mulutkulah yang mengetuai kepintaran ini.
“lalu?” jawaban yang agak pahit.
Jacob nampak sedikit kesal. “yah mari kita kembali seperti dulu, tapi aku janji tak akan mengulanginya”. Bohong! Itu semua hanyalah kebohongan. Mana mungkin aku percaya dengan kebohongan yang akan diulangi lagi?.
“baiklah” mulut sialan ini malah mengiyakannya.
“tapi, aku tak ingin berpacaran lagi! Aku hanya ingin dekat tanpa sebuah status” lanjutku. Bagus! Setidaknya aku tetap jual mahal meski mengiyakannya.
“tidak apa, asal kita bisa kembali seperti dahulu maka apapun sanggup kulakukan”
Tolong jangan kau keluarkan lagi kata-kata buaian mu itu, aku sudah penat mendengar semuanya. Kau tak lelah mengatakannya terus menerus? Bahkan tak henti mengatakan ‘apapun untukmu aku sanggup’. Kelewat menjijikkan saat kata-kata itu masuk ke telingaku. Bahkan gendang telingaku saja menolaknya.
“yah” lidahku keluh, aku sudah malas. Tapi masih mencintainya, apa mauku? Entah. Aku sendiripun tak mengerti banyak soal diriku sendiri.
“baiklah aku pergi” aku tidak menyangka kepamitan diapun masih terselip jual mahal padahal dia yang bersalah.
Aku tak mengatarnya kedepan, bahkan tak melihat punggungnya saat ia pergi. Sepertinya dia agak kesal dengan tingkah lakuku yang berubah.
XXX. Sepulangnya dia.
Ibuku tak bertanya banyak tentang apa yang dia lakukan sampai datang ke rumah kami ini. Ibuku hanya bergumam tentang lelaki itu sangat tampan, sangat sopan. Aku hanya melirik ibuku tanpa mengatakan sepatah katapun. Karena Jacob memang tak pantas untuk dipuji.
Baru kali ini aku menyesali keputusanku setelah hampir 19 tahun diriku berhati-hati terhadap sebuah pilihan. Mungkin tidak juga, tapi ini memang penyesalanku yang paling dalam.
Aku menyesal mengiyakan kembalinya hubungan kami. Kalau pada akhirnya malah seperti ini maka aku tak akan pernah mengiyakannya kemarin. Tentang bagaimana perempuan itu yakin dengan pilihannya, aku cukup yakin. Tapi ia membuatku tidak yakin untuk terakhir kalinya.
Bagaimanapun aku juga yang tetap bodoh di sini, tetapi dia juga yang tetap menang. Lalu setiap hari aku mulai tersiksa, hubungan kami bukan hubungan sehat layaknya orang lain. Lebih kea rah hewan peliharaan dengan majikannya yang jahat. Yah, dia hanya menganggapku hewan peliharaannya.
“surat dariku untukmu yang sudah berjuang hari itu. Melihat kembali hidupku ulang malah membuatku meneteskan air mata yang banyaknya tak terhitung. Perjuangan tak terkira semasa hidup malah di sia-siakan seperti ini. Apakah ini yang disebut sebuah penyesalan?,
Mungkin aku tak punya hak untuk menyesal apalagi menggunakan katamenyesal. Karena kalau dipikrikan lagi, akulah yang membuat semua ini rumit. Semakin rumit sampai diri sendiri yang tersakiti. Pernahkah kau merasa senang dengan kehidupan yang seperti itu? Bahkan aku tak bisa mengatakan keluar masa menyenangkan apa saja yang sudah pernah ku alami.
Bibirku keluh saat mengatakan aku bahagia dengan dia. Bahkan otakku bekerja keras mengingat momen yang setidaknya bisa membuatku terharu atau barangkali membuatku bersyukur sudah hidup. Tapi mau dicari bagaimanapun, tidak ada titik terang tentang itu semua.
Saat tidur sudah bukan pelarian lagi, dan pilihan sudah bukan cara menyelesaikan masalah lagi. Aku pun runtuh bersamaan dengan bunga lily yang berguguran karena sudah tua. Kata semangat sudah terhapus, kata bahagia sudah diubah, kata bersyukur hilang seiring berjalannya waktu. Lalu tertinggal semua kebalikannya dari kata yang musnah itu.
Mereka bilang, “kau bahkan tak pantas untuk mendapatkan semua kebahagiaan”. Sat semua itu terjadi, maka orang lainlah yang menyetel kehidupanmu. Lalu semua sirna hilang, dan jalan untukmupun ikut menghilang. Ia bahkan tak sanggup membantumu keluar dari sisi gelap.
Kemudian kau mengira bahwa menyakiti diri adalah satu-satunya cara untuk membangun kembali rasa percaya diri, perihnya luka itu membantumu melupakan rasa sakit. Membantumu melupakan semua beban pikiranmu. Sesaat kemudian luka itu mengeras, dank au menggoreskan kembali luka baru untuk membantumu.
Mirip seperti kecanduan obat-obatan terlarang, kau sekarang tak bisa keluar tanpa melukai diri sendiri. Setidaknya melihat darah mengalir dari sisi dalam tanganmu membuat ketenangan yang tak bisa kau cari lagi.
Sehingga semua akan hancur… tubuhmu ikut hancur…. Dan kau menjadi aku yang sekarang. Jatuh ke dalam sebuah pilihan yang salah.
- Valeria Sutanto, untuk diriku yang dulu”