XXXIII. Hubungannya Dengan Erika.
Kemarin aku bercerita tentang diriku yang mulai membatasi diri untuk pergi ke tempat ibadah yang sama dengan Jacob. Namun suatu waktu aku tetap pergi ke sana,setidaknya membantu untuk event besar, seperti perayaan besar dalam agama yang dinanti-nantikan semua orang.
Aku menjelaskan tentang beberapa hal syarat agar aku bisa datang ke sana. Pertama, tidak terlalu malam atau melebihi jam 10 malam. Ini merupakan larangan keluarga apalagi aku anak perempuan satu-satunya.
Yang kedua, aku tak benar-benar ingin dengan anggota mereka. Bukannya sombong, hanya ingin menjaga jarak aman. Hingga tidak ada masalah lagi yang datang seperti hari itu. Setidaknya Jacob mengiyakan semua yang ku katakan dan aku dengan santai bisa mengikuti acara tersebut. Agak lega mendengar Jacob berkata baiklah, apapun yang kau mau bisa kau lakukan.
Tentunya bukan sesuatu yang sulit untuk diterima bukan? Bahkan ia tak perlu menjagaku dalam masa-masa sibuknya. Aku bisa menjaga diri sendiri dan tak ada seorangpun yang boleh mengganguku. Lebih tepatnya, aku tak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan di sana asal tidak mengganguku.
Sebelum hari mulai malam, aku langsung melangkahkan kakiku dengan berani ke sana. Dengan gagah berani tanpa perasaan takut akan diculik atau apalah aku sanggup sampai di sana. Aku selamat dan masih bisa menghirup bau serangga yang lumayan menusuk.
Hari ini semua sepertinya sibuk, tempat ibadah dipenuhi dengan banyak orang. Mereka berlalu-lalang tanpa menyadari kehadiranku. Dan mulailah kehidupanku yang menyenangkan tanpa gangguan. Awalnya itulah apa yang kukira, memang semua harus di luar dugaan. Itulah hidup katanya.
Jadinya aku menyendiri duduk di sebuah gazebo keramik di tenggah-tenggah taman. Beberapa hal mengusikku sedari tadi, “apakah Jacob menyampaikan apa yang ku mau dengan benar? Hawa di sini agak berbeda dari bayanganku”. Aku melepas label kertas di botol air minum yang kubeli saat berjalan ke sini. Dan mengeluarkan beberapa roti manis isi cokelat dari plastic putih.
Aku tak bisa makan malam karena waktunya terlalu cepat dibandingkan kebiasaanku. Sampai ibuku sibuk menyiapkan uang untuk keperluan makanku. Ia kira aku akan berhenti di warung dan melihat ayam-ayam yang di panggang lalu berbelok dan makan sebentar. Ternyata ia salah besar, aku malah lebih sanggup membeli dua bungkus roti.
Harusnya tadi aku membeli jus alpukat, jadi membantu mengenyangkan perut karetku. Dalam gelapnya malam aku terus melahap roti cokelat. Gazebo ini tidak disediakan lampu sama sekali, namun lampu teras ruangan membantu menyinarinya. Penerangan yang redup adalah kondisi yang nikmat untuk menikmati kesendirian.
Beberapa sorak panggilan nama dari dalam mulai terdengar mengerikan. Rasanya seperti namaku ikut terpanggil juga. Kakiku tak ingin melangkah, setidaknya untuk mengecek keadaanpun ia ragu.
Kelihatannya orang-orang mulai risau dan berkeluaran tanpa alasan yang jelas. Nampak Erika keluar sampai ambang pintu dengan raut wajah yang tidak sedap dipandang. Kemudian semua orang tampak sibuk lagi, seakan-akan tak ada yang terjadi. Bergantian dengan Jacob dengan wajah risau keluar. Ia berlari menghampiriku.
Sudut bibirku masih penuh dengan cokelat sembari melihatnya yang hampir kehilangan napas.
“ada apa?” tanyaku yang masih sibuk melahap roti.
“kau tak mendengar orang-orang memanggilmu?” tanyanya dengan raut wajah aneh, aku tak bisa menjabarkannya.
“aku mendengarnya sedikit, tapi tidak yakin” masih dengan jari yang penuh cokelat.
“apa kau tak tau mereka mencarimu?!” suara Jacob meninggi, aku lumayan terkejut. Entah kenapa ekspresiku tetap datar.
“untuk apa? Aku bukan anak kecil yang harus selalu ada dalam pandangan mereka. Sebaliknya, mereka juga bukan orang tua kandung bahkan bukan orang tua asuh. Untuk apa peduli?” aku menjilati jariku yang penuh cokelat lalu menuangkan air untuk mencuci tangan.
“apa-apaan sikapmu ini?” Tanya Jacob dengan suara yang menggelegar.
“apanya yang apa? Awal perjanjian kita, kau lupa?. Apa aku perlu mengingatkannya lagi padamu?” kali ini suaraku ikut meninggi, aku mengibaskan tanganku. Berharap air cuci tangan tadi turun.
Jacob menaikkan rambutnya, mengedarkan pandangannya ke arah lain.
“kau kira kita sedang drama romantis? Hentikan semua ke-lebay-an ini” aku segera turun dari gazebo tempatku duduk dan segera masuk ke dalam. Dinginnya malam sudah cukup menusuk, bahkan pandangan menusuk dari orang-orang di dalam ruangan.
Aku berdiri di sisi belakang, menghindari kerumunan dan pandangan orang. Namun, pandangn itu tetap tidak berkurang sedikitpun. Jacob masuk, ia melangkah dengan cepat dan memberiku botol minum yang tak sengaja kutinggalkan di gazebo.
Kami berdua sama-sama terdiam. Kadang diam seperti ini lebih nyaman buatku. Tak perlu banyak omong tentang “apa yang kau makan?” atau mungkin “bagaimana keadaanmu?”.
“awalnya kukira kau diculik dijalan, hingga menghebohkan satu tempat ibadah” Jacob membuka mulut, suaranya terdengar kecewa.
“ah.. aku hanya ingin menikmati malam, lagipula tak begitu penting tentang keberadaanku ada di sini atau tidak. Lupakan saja” aku bukan kesal karena apa yang dia katakan, aku lebih kesal dengan dinginnya tatapan orang-orang ini.
Erika datang menghampiri Jacob, menjauhi tempatku berdiri.
“Jacob, suruh pacarmu untuk duduk dong!” suaranya terdengar manja dan seperti dibuat-buat. Ia membuat tingkah manis yang menjijikkan. Dan hal yang paling kubenci adalah, ia menggengam tangan Jacob. Anehnya, Jacob pun tak melepaskan genggaman itu. Apa hubungan mereka? Aku merasa dikhianati.
“nanti, kalian duduk saja duluan” jawab Jacob acuh tak acuh. Erika masih bersikeras bisa menggodanya. Perempuan ini tidak tau malu sekali. Hampir saja tanganku bertepuk tangan untuk tingkah memalukannya.
“ayolah, kau juga duduk” Erika mendaratkan tangannya ke d**a Jacob. Aku tak mengerti, saat melihat itu hatiku agak sesak. Awalnya kukira hanya seperti sesak napas, karena memakan roti dengan cepat.
“ayo Jacob…” ia menggaet tangan Jacob lagi dan lagi. Peristiwa it uterus terjadi dan aku sama sekali tidak menatapnya. Namun kejadian itu tertangkap sendiri di mataku. Lebih tepatnya kejadian itu tertangkap dari sudut mataku yang mirip dengan tatapan elang.
“pergilah” aku menjawabnya seperti itu, bahkan tak ada rasa peduliku saat Jacob menjauh. Lagipula mereka teman dekat kan? Untuk apa aku merasa cemburu atau tersaingin oleh temannya sendiri.
“lucu sekali jalang tua itu” aku menggumam, ini benar-benar bibirku bergerak sendiri. Dan aku setuju dengan gerakan bibirku.
Setelah mengantarkan Jacob ke tempat duduk yang seharusnya, ia kembali melintas di depanku dengan tatapan sinisnya. Layaknya ini ajang model, dia berjalan dengan kaki yang bergaya mantap. Dengan wajah dinaikkan mirip pemain antagonis dalam drama atau film.
Tanganku hampir tergelincir dan melemparkan air suci ke wajahnya. Berharap besar ia bisa dijauhkan dari segala macam maksiat jahat, tapi kuurungkan niatku. Akhirnya aku menyerah dan balik pulang ke rumahku yang nyaman, untuk menenangkan diri tentunya.