XXVII. Perangkap yang Sama.
Di lain pihak aku mulai menyadari, sebuah kesalahan besar memutuskan hubungan kami. Sebulan ini, setiap hari, setiap hari aku hanya memikirkan tentang hal ini. Semakin putus hubungan kami, semakin hancur juga hidup Jacob.
Perempuan itu Lisa namanya, teman sekolah namun berbeda jurusan. Dulunya aku masuk ke dalam jurusan IPA dan dya sebaliknya IPS. Aku pernah mendengar rumor tentang dia yang menyukai Jacob melebihi diriku. Aku juga tak tau pastinya, aku hanya yakin satu hal. Dia hanya ingin menghancurkan hubungan kami.
Aku melihat beberapa foto postingan terbaru, dan tepat sekali. Perempuan itu ikut berfoto dalam kelompok. Dia berdiri di samping Jacob tanpa rasa bersalah telah menyakitiku. Kuurungkan niat besarku untuk bertanya kepada Rey, “kenapa perempuan itu di sana? Tidak! Lebih tepatnya kenapa ia berdiri di samping Jacob padahal masih banyak tempat kosong di sebelah orang lain. Mengapa??? Kenapa???”.
Untuk mengetik itu saja aku tak sanggup, bukan sepenuhnya kesalahan Rey saat berfoto. Namun kesalahan mereka dua. Dan akhirnya aku tau bahwa Jacob memang tidak mencintaiku. Aku hanya berjuang sendiri dari awal hubungan kami yang bahkan tak diketahui oleh orang-orang. Aku merasa bersalah lagi, namun juga merasa menyesal menerimanya kembali setelah kejadian pertama.
Orang-orang di sekelilingku seperti berteriak menyebutku seorang perempuan bodoh. Halusinasiku makin parah akibatnya, kepalaku hampir berdenyut tiap harinya. Mau bagaimanapun aku tetap mencintainya. Perasaanku berbeda saat tidak ada dirinya, katakanlah seperti sebuah pena tanpa adanya tinta. Bukan ingin mendramatiskan sebuah kejadian yang aku buat sendiri.
Di tengah keadaan seperti ini aku malah memburuk, besar harapanku dia akan balik mengatakan,”Val, aku kembali. Kau merindukanku?”. Dengan senang hati aku akan menjadi bodoh lagi dan menerimanya.
Bahkan tak perlu Jacob berkata begitu, apapun bisa kuiyakan asal dia kembali. Biarkanlah aku bodoh, hanya saja aku sedikit yakin kalau dia akan kembali.
Kenapa tanyamu? Tentu saja ‘insting perempuan’ jawabku!. Aku yakin tidak salah kali ini, kemarin saja dia mengelak dengan cepat tanpa kelihatan gugup, walau semua pertengkaran via chat. Tapi aku tau itu pasti akal-akalan perempuan jalang itu.
Di lain pihak aku malah makin yakin dengan hubungan mereka, apalagi Jacob biasanya tidak pernah mengumbar foto. Sekarang malah mengumbar foto perempuan dengan si ‘lisa’ itu. Entah mengapa kekesalan ku makin naik dan meninggi hingga melewati ubun-ubun kepalaku.
“coba berikan alas an apa yang membuatnya lebih baik dari aku? Cantik? Bahkan aku lebih cantik. Pintar? Bahkan aku terlalu pintar. Jiwa seni juga mengalir di darahku. Bahkan aku mirip ibuku, cantik saat muda dan banyak yang mengejar. Ah tapi satu kekuranganku, lebih pendek dan lebih gemuk dari perempuan sialan itu” aku bergumam sendiri seperti orang gila. Kelewat mirip dengan orang gila yang biasa mampir di depan rumahku.
Kacar. Tingkahku sudah kelewatan. Aku terlalu berharap banyak untuk sesuatu hal yang bahkan aku sendiripun tak yakin untuk memperjuangkannya. Aku benar-benar menutup semua akunku sementara. Apalagi saat emosiku sudah labil seperti ini.
Tidak baik memaksakan diri kata ibuku. Ibu tak tau banyak tentang depresiku, aku lumayan bersyukur tentang ini. Orang-orang sering bertanya kenapa depresiku terlalu tenang tidak seperti yang orang lain tampakkan di luar.
Bagaimanapun juga orang tak akan tau seperti apa diriku. Terkoyak-koyak, tercabik-cabik, rasanya ingin menangispun harus ditahan. Selalu cemas dan khawatir berlebihan juga salah satu penyebab utama. Tidak bisa tidur, bahkan aku merasa putus asa seperti dibebani rasa bersalah. Entah mengapa aku nyaman untuk terus menyalahkan diriku di saat sekitarku mulai heboh dengan keberadaan dirinya. Dan aku malah menutup diri, tak ingin mengakui keberadaanku sendiri.
Tidak hanya karena masalah ini, masalah yang sudah lalupun ikut bangkit menyeretku turun dari kehidupan. Harus ku akui tentang ini, bagaimana perasaan yang sesungguhnya. Sampai waktunya tiba….
XXVIII. Dia Datang Kembali.
Secara umum, kuliah adalah keharusanku saat ini. Tapi untuk beberapa hali aku meninggalkan waktu kuliahku. Alasannya sudah pasti, bangkit dari kasur saja sudah sulit. Apalagi harus berjalan ke kampus dan memfokuskan diri pada pembelajaran.
Untuk mengungkapkannya, aku perlu bantuan Rey. Tidak.. tidak aku harus menunggu Jacob yang mengatakannya pertama kali. Tetapi, aku benar-benar tidak yakin hingga aku mencoba memberanikan diri.
Aku mengambil smartphone-ku dari lemari kecil, sudah hampir 2 bulan aku menyembunyikannya di dalam lemari kecil. Bahkan ibuku bertanya-tanya mengapa aku tidak memegangnya sama sekali. Dengan sedikit ragu aku hanya menjawabnya ‘aku lumayan lelah untuk memaksakan hariku melihat smartphone’. Untungnya dia juga percaya pada alasan yang kubuat-buat. Tanpa bertanya lagi ia pun langsung mengiyakan. Setidaknya aku sedikit tenang.
Banyak pesan masuk seperti yang kuduga, tapi karena baterainya sekarat. Setidaknya aku meluangkan waktu untuk mengisinya dan mengecek pesan masuk nanti.
Ada beberapa keributan pagi ini di bawah, sehabis meletakkan smartphoneku kembali. Aku segera bergegas ke bawah, setidaknya aku masih memiliki kekuatan untuk mendengar pertengkaran yang terjadi.
Baru saja melangkahkan kaki di tangga rumah, ibuku langsung menjerit memanggil namaku. Tanpa sebuah kejelasan, aku jadi ragu melangkah keluar.
“Valeriaaa.. temanmu datang. Segera turun sekarang!” jerit ibuku yang bisa menggetarkan dunia.
“siapa??” akupun tak kalah keras menjerit.
“teman dari tempat ibadahmu?” ibuku menjerit lagi.
“HAH?!” aku menjerit histeris, beberapa hal mengusikku sekarang.
Siapa dia? Kenapa? Mengapa harus berhubungan dengan tempat itu lagi?.
Aku bergegas turun dengan decitan tangganya yang makin keras tiap kupijak, aku ingin naik lagi. Takut akan apa yang kuhadapi nanti di bawah. Pemikiranku tak bisa terbuka sekarang. Aku takut menemui Erika ataupun lisa sekarang, bahkan aku takut Jacob yang datang. Tapi mana mungkin Jacob berani datang ke sini. Dia tak tulus denganku, sialan itu tak mungkin datang.
Aku makin dekat dengan toko, mulai terdengar percakapan ibu dengan suara lelaki?. Sekarang aku malah makin takut, entah mengapa kalau Jacob yang beneran datang malah makin menakutkan. Entah apa yang akan dipikirkan ibu tentang kedatangan seorang lelaki tanpa sebuah kejelasan.
Ibuku tak mengatakan apapun dan ia hanya menyuruhku membuat air. Dengan bodohnya aku mengganguk dengan cepat dan segera mengambil segelas air penuh dengan beberapa es.
Jacob benar-benar di sana. Di rumahku sekarang ini. Entah apa maunya, tapi aku tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahku. Tak salah lagi, lelaki berbaju hitam itu pasti Jacob. Aku 100% yakin dengan apa yang kulihat. Dia tampak akrab dengan ibuku, entah apa yang mereka bicarakan.
Walaupun tampak senang sebenarnya aku lebih khawatir bagaimana cara menjelaskannya ke ibu nanti. Apalagi Jacob pasti langsung mengatakan bahwa ia pacarku dan itu akan memperburuk semuanya. Keadaanya malah akan menjadi di luar dugaan kami, tapi semua sudah terlambat.