XIX. Si Domba Dengan Si Serigala.
Mungkin itu yang ingin ia katakan kepadaku, sebuah kata-kata yang penuh dengan gula hampir memenuhi layar teleponku. Namun ini semua hanyalah di dalam bayanganku. Tak perlu ia katakana, aku sudah mengerti secara keseluruhan tingkah laku dia. Tidak ada yang salah dari perkiraanku terhadapnya, manusia busuk. Tapi… aku masih mencintainya selayaknya baru kemarin kami bertemu.
Mulai muncul dua hal di dalam otakku, 1 ialah menghindarinya namun sisi lain malah menyuruhku menerimanya. Aku memang membuat sebuah motto, mungkin bukan sebuah tapi banyak. Walaupun ada motto, belum tentu ucapanku sendiri bisa kugenggam. Kau tau, ucapan yang dilontarkan hanya mengikuti angin pergi, terbang dan menghilang layaknya tidak pernah ada. Kenapa di saat seperti ini aku malah melupakan hal yang penting? Sialan! Mungkin tubuh dan pikiranku mendukung untuk menerima kehadirannya lagi.
Dengan berani aku membalasnya “apa kabar?” basa-basi ini malah menurunkan derajat dan martabatku sebagai wanita yang harusnya terhormat. Haruskah aku meminta maaf pada leluhur perempuan lainnya? Maafkan aku yang terlalu bodoh nenek. Tapi nenek juga mengerti-kan posisiku saat ini?. Menolaknya malah membuat cucumu jatuh makin dalam ke lubang hitam yang aneh.
Lalu aku dicap gila karena berbicara dengan mereka yang sudah tiada. Biarkanlah, aku sedang mencari jalan yang benar untuk hidupku yang sudah salah dari awal. Memohon pada sesuatu yang gila adalah solusiku.
Usai beberapa percakapan yang tak penting, aku baru mengingat suatu hal. Dari mana ia mendapat nomorku? Lumayan gila untuk menyebutnya sebagai stalker tanpa bukti yang pasti. Aku mulai menaruh curiga terhadap kata maaf Rey. Ada kumungkinan besar kata “maaf” itu merujuk pada kata “aku memberikan nomormu kepada serigala”. 4 kata penuh makna yang bisa dipecah menjadi 1 kalimat utuh yang ngena artinya.
Aku mengirimkan pesan lainnya sebelum ia menunggu, “dari mana kakak dapat nomorku?” frontal namun berani. Dalam satu kali kedipan mata pesan baru sudah muncul ke permukaan “dari teman lelakimu”. Ah sudah kuduga, kali ini pun pernyataanku tak salah. Persetan dengan Rey, harusnya ia tau bagaimana menolak memberikan nomorku ke lelaki sialan ini.
“ah begitu…. “
Sekejap kemudian aku beralih ke ruang komunikasi dengan Rey, “jujurlah kau”. Tanpa basa basi aku mengirimkan kata itu, setidaknya walau ia salah tapi jujur. Aku masih bisa memaafkannya.
“dia sudah menghubungimu? Lumayan lama juga semenjak aku mengirimkan kontakmu kepadanya” Rey terlihat santai mengetik kata penuh makna itu. Aku bisa megetahui ekspresi tidak bersalahnya, atau mungkin ekspresi mengejeknya.
“ceritakan yang sebenarnya, atau wajan di rumahlah yang melayang ke sana”
“begini, kau masih ingat saat pingsan di ospek kemarin? Kau tau siapa yang menggendongmu?. Dia, dia orangnya. Dialah yang seperti vampire datang ke sampingmu dan menggendongmu tanpa ragu. Kemarin mirip seperti scene di drama korea.
Lalu dia meminta nomormu, yah aku awalnya sudah menolaknya! Tapi ia memberiku alasan kuat mengapa ia meminta nomormu itu. Katanya “setidaknya aku harus meminta maaf bukan?” tidak mungkin aku menolaknya!. Orang-orang bisa mengira aku iblis jahat yang berkeliaran di sebelahmu.
Sesaat setelah itu dia pergi dari ruang kesehatan, aku langsung saja mengirimkan nomor mu ke dirinya. Jangan Tanya padaku kenapa aku bisa mendapatkan kontaknya. Dari lama kami memang sudah saling kenal.
Dan aku meminta maaf emang karena rasa bersalah, setidaknya aku harus membela diri, kan?. Kau masih mencintainya kan Val? Sudah jangan mengelak!. Aku itu paling mengerti posisimu sekarang loh!
Udah udah ceritakan perjalanan cinta kalian lagi yah, nanti baru hubungi aku lagi”
Selepas mengirimkan pesan panjang yang pada akhirnya hanyalah menggali infomasi, Rey langsung off. Ia melewati sesi maki-an yang harusnya kulontarkan. Tidak kusangka Rey akan setidak berguna ini, aku mengerutkan dahi saat Jacob mengirimkan pesan lagi dan lagi.
“kemarin aku melihatmu dari kejauhan, kukira aku salah lihat. Tak kusangka ternyata itu benar-benar dirimu. Kau ingat? saat pingsan kemarin aku membopongmu masuk ke ruang kesehatan”
“sepertinya bukan ini maksudmu mengirimkan pesan kepadaku lagi setelah hari itu” mustahil. Ia mengirimku pesan hanya untuk kesenangannya lagi, aku pastikan itu.
“yah maksud pertamaku untuk meminta maaf, tapi sekarang sepertinya aku punya sesuatu lain yang harus kukerjakan bersamamu?”
Wuah lelaki ini benar-benar gila! Bahkan ia sudah menyusun rencana kedua untuk menghancurkanku?. Atau aku saja yang salahpaham sekarang? Posisiku kini sangat tidak menguntungkan. Dan harusnya ia tidak menggunakan kesempatan bagus ini untuk menjahatiku lagi.
Dia bukan Rey yang suka menggali informasi ataupun guru fisika ku yang suka memberikan kejutan mendadak. Aku mengharapkan yang lebih darinya, namun seandainya benar. Aku akan tersakiti lagi, bukankah aku harus pergi ketimbang berharap lagi?.
Aku memang bimbang sekarang dengan keadaanku, tapi aku juga masih menyempatkan beberapa menit untuk mengetik pesan baru yang bertuliskan “terima kasih”. Walau benci, sopan santunku tetap diukur oleh tuhan.
Mungkin sekarang ia sedang tersenyum lebar sambil menyerukan “ANAK DOMBAKU SUDAH KEMBALI! KINI AKU BISA MENYAKITINYA LAGI”. Pikiran jahat melayang-layang layaknya burung kecilm terus berusaha mendekati kepalaku dan hinggap di sana layaknya sebuah rumah baru untuknya.
Aku melihat ibuku bolak-balik keluar kamar, aku memandangin punggungnya. Kembali teringat punggung Jacob saat pertemuan pertama kami kala itu.
Berpikir sejenak, dan mulai mengirimi pesa lagi, “untuk apa meminta maaf? Kak Jacob tidak punya salah kok”. Aku mengetiknya dengan lancar, bahkan senyum pun merekah dari balik ujung bibirku. Ia seperti tertarik naik untuk tersenyum. Bukan paksaan, lebih ke arah bahagia.
“tidak… aku yang menyia-nyiakanmu kemarin, aku salah tidak menjelaskan posisiku yang sudah memiliki pasangan. Kini aku sudah tidak bersamanya. Satu hari setelah kita tidak berkomunikasi, aku memutusinya. Hatiku memilih untuk bersamamu. Yah agak sedikit menjijikkan namun itulah kenyataannya.
Yah mau bagaimanapun yang dulu tetaplah menjadi dulu. Dan sekarang adalah cerita baru kan?”
Menjengkelkan! Dia mengetik semua kata-kata menjijikkan itu seakan-akan dia tidak bersalah. Aku dengan terpaksa memaafkannya yang bahkan tak merasa bersalah itu.
“yah aku tau itu bukan salahmu, melainkan salahku yang terlalu frontal mendekatimu” air mataku menetes, aku tidak kuat menghadapi rangkaian hal seperti ini. Pada dasarnya aku hanyalah perempuan lemah yang berpura-pura kuat di depan orang yang kucintai.
“tidak! Ini bukan salahmu. Well, kalau saja kemarin aku tidak mendekatimu….” Titik-titik di kolom komunikasi itu penuh dengan banyak arti. Mataku berbinar-binar, aku tak begitu kuat untuk menahan banjir yang akan meledak di tanggul sekitar mataku. Dan akhirnya aku menangis deras bersamaan dengan suara hujan. Beberapa suara kodok membuat alunan irama yang menyenangkan. Aku menangis, aku senang dia kembali sekarang. Aku…. Tetaplah bodoh. Tapi biarlah, aku cuman butuh dia sekarang. Cintaku….. Jacob sayang……
Kemudian aku terlelap dalam tidurku dan bermimpi indah. Membayangkan kedepannya bagaimana kami memiliki hubungan rumah tangga, bahkan terbayang akan anak kembar yang menjadi putra dan putri kami. Melihat mereka dewasa, dan menghabiskan kegiatan tua kami dalam satu waktu hingga kematian yang menjemput selanjutnya.