Mala menggeleng tidak setuju. Agung bukan bad boy seperti Pak Damian. Agung tidak pernah memiliki kebiasaan berhubungan badan dengan banyak perempuan. Walau pada akhirnya Agung mengkhianatinya, Agung tetap yang terbaik di hati Mala.
______
Sudah menjadi rahasia umum di kantor perusahaan keuangan keluarga Rubiantara yang dikelola Damian, bahwa Damian yang tampan itu memiliki kebiasaan buruk berhubungan badan dengan perempuan yang berbeda-beda hampir di setiap malamnya. Dari perempuan PSK kelas atas, hingga perempuan-perempuan pengusaha kesepian, juga istri-istri bos. Sejak ditinggal istri tercinta, Damian tidak tertarik menjalin hubungan khusus dengan perempuan manapun. Dia menganggap tidak ada lagi perempuan sesempurna Kathleen di dunia ini, seorang perempuan keturunan Inggris yang sederhana dan bersikap baik, yang Damian temui ketika sama-sama mengenyam pendidikan di universitas McGill, Montreal, Canada. Mereka menikah setelah sama-sama menyelesaikan kuliah dengan baik.
Meski keluarga besar sudah berusaha mencoba menjodohkannya dengan perempuan-perempuan yang dianggap memiliki kriteria yang 'sama' dengan Kathleen bahkan melebihi, Damian sama sekali tidak tertarik. Putus asa dan kecewa karena kehilangan sosok Kathleen, Damian tumpahkan kekesalannya dengan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang dia maui, di hampir malam-malamnya. Terutama ketika pikirannya suntuk karena beban pekerjaan yang semakin hari semakin berat.
"My lovely son..., apa kabar, Nak?"
Seorang perempuan tua menyapa ramah Damian di sebuah acara makan malam. Damian menyambut pelukan hangat perempuan tua yang tidak lain adalah Mathilda, mama kandungnya.
"Baik, Ma. Kapan tiba dari Woodlands?" Damian balas bertanya.
"Baru semalam. Papa nggak bisa datang. Dia masih di Jurong. Ada kesibukan..., you knowlah..."
Damian terkekeh. Papanya, Hanz Rafendi Rubiantara, yang sudah lama menetap di Singapore jarang tertarik dengan acara-acara makan malam perusahaan Damian. Hubungan keduanya memburuk setelah Damian menolak dijodohkan perempuan pilihan papanya setahun lalu. Perempuan itu adalah anak dari mitra bisnis utama papanya.
"Sukses terus ya, Nak. Mama pasti selalu mendoakan kamu yang terbaik. I don't care what people say about you," ucap Mathilda dengan wajah penuh harap. Dia usap-usap punggung Damian penuh rasa sayang.
Tiba-tiba ada seorang perempuan berpenampilan glamour muncul di tengah-tengah mereka berdua yang masih melepas rindu.
"Nellaa..., oh, Look at you..., wow..." Mathilda bergegas memeluk perempuan yang bernama Nella. Tampak Nella sumringah memandang Damian. Sementara Damian hanya tersenyum kaku, karena rasanya baru saja bertemu.
"Kenalkan, Damian. Ini Tante Nella, salah satu sahabat Mama. Dia ini mamanya Anne. Teman SMA Dave dulu. Yang sering main ke rumah..., di Kebayoran Lama..." Mathilda berusaha mengingatkan Damian yang masih merasa asing dengan perempuan yang seumuran mamanya yang tengah senyum-senyum memandangnya. Dave adalah kakak Damian yang tinggal di Utah.
"Oh..., Anne Pujiwati. Iya. Aku masih ingat, Tante. Apa kabar, Tante?" Damian akhirnya mengingat Anne yang dimaksud Mathilda.
Nella langsung membalas teguran Damian dengan pelukan hangat.
"Baik, Damian. Wah. Tambah sukses ya? ini perusahaan yang ke berapa?"
Damian tergelak.
"Aku malah lupa, Tante. Tanya CEO perusahaanku saja..."
"Duh. Saking banyaknya ya? Eh, kapan lepas lajang? Menduda lama-lama nggak baik..."
Mathilda menghela napas berat. Satu pertanyaan yang sama sekali tidak disukai putra keduanya itu.
Damian menggeleng tanpa berucap sepatah katapun.
"Anne juga belum menemukan pria yang cocok. Dia masih mengajar Busines dan Management di Australia. Kamu hampir sama seperti Anne, belum bisa move on dari bayang-bayang masa lalu..."
Damian mengangguk tersenyum.
Baru saja Nella ingin mengucapkan sesuatu, ponsel yang ada di tas kecilnya berbunyi cukup keras.
"Duh..., Om Krisna. Maaf, eh, kartu nama kamu? Boleh?"
Damian benar-benar tidak tahan dengan sikap Nella.
"Maaf, Tante. Saya sedang tidak membawanya..." ucap Damian. Dia tidak mau sembarangan memberi kartu namanya.
"Hm..., bentar ya?" decak Nella seraya menjauhkan diri dari Damian dan mamanya.
"Mama mengundangnya?" tanya Damian. Dia terlihat tidak menyukai sikap yang ditunjukkan teman mamanya itu.
"Iya. Dia yang dekat sama Mama. Suaminya juga sahabat papamu. Kamu aja yang lupa dengan Anne."
"Ingat, Ma. Tapi aku dan Anne nggak begitu dekat, dia kan teman Dave," gumam Damian. Dave adalah kakak sulungnya yang kini tinggal di Utah, bekerja sebagai dosen di sebuah college dan sudah menikah dan memiliki tiga putri.
Mathilda tersenyum kecut sambil mengangkat bahu. Baginya memang lebih baik tidak lagi mengumbar-umbar kesuksesan anaknya yang kedua ini kepada siapapun. Pasti akan mengecewakan bagi yang tahu siapa sebenarnya Damian. Mengenai Nella, Mathilda memang sering bercerita mengenai hal-hal yang baik dari kehidupan Damian, karena Nella adalah sahabat dekatnya. Dan Nella memang pernah menyinggung hidup Anne yang sudah menjanda dua tahun. Dia pun pernah pula mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Anne dengan Damian, karena Mathilda pernah menceritakan tentang kesuksesan Damian dalam mengelola perusahaan keluarganya. Menurut Nella, Anne pasti cocok dengan Damian. Sebagai dosen pengajar bidang Ekonomi dan bisnis, tentu banyak ide dan pemikiran Anne untuk mengembangkan perusahaan yang dimiliki Damian sekarang.
Damian sedikir kaget ketika merasakan getaran lewat saku celananya.
"Ya..., malam ini nggak. Minggu depan saja. Awal bulanlah, baru kamu sediakan..."
***
Awal bulan yang menyenangkan bagi Mala. Dia bisa membelikan anak-anaknya makanan mewah. Meski tidak di restoran mewah, tapi dia senang melihat kedua anaknya makan lahap malam ini.
"Duh, Ma. Biasanya hampir setiap malam bisa makan ramen dan sushi. Sekarang kok bisanya sebulan sekali sih..." gumam Wenny setelah kekenyangan makan makanan khas Jepang.
"Yah. Sabar, Sayang. Mama usahakan cari uang sebanyak-banyaknya. Biar kalian bisa makan enak lagi..."
"Sampai kapan, Ma? Mama sudah jual-jualin barang berharga Mama. Itu artinya kita minus..., uang nggak nambah-nambah." Wenny menggeram kecewa. "Aku kangen Papa..."
Mala menghela kecewa. Bukannya senang dia berusaha memberikan makanan terbaik malam ini, Wenny malah menumpahkan kekesalannya.
"Sabar, Sayang. Hanya ini yang bisa Mama lakukan..." gumam Mala lirih.
"Coba Mama hubungi Papa. Kan kata Mama dulu Papa janji kasih duit lima juta buat aku dan Jeanny. Ke mana uang itu, Ma?"
Duh, Mala benar-benar bingung menjawab. Mau menjawab bahwa sebenarnya uang itu tidak pernah ada, Wenny pasti tidak mempercayainya. Wenny adalah anak yang kritis dan memang sangat menyayangi papanya. Mala memang pernah menceritakan kepada Wenny perihal uang nafkah dari Agung untuk Wenny dan Jeanny. Mala melakukannya agar kedua anaknya tenang bahwa hidup mereka masih terjamin.
"Mama kemanakan?" ulang Wenny bertanya.
Mala cepat berpikir keras.
"Masih di bank, Wenny..., bulan depan baru cair..." dusta Mala akhirnya.
"Berarti ada tiga puluh juta uangku dan Jeanny kan, Ma?"
Mala mengangguk ragu. "Iya..."
Senyum Wenny perlahan mengembang.
Meskipun usianya baru sepuluh tahun, Wenny adalah gadis yang cerdas dan sangat kritis. Mala sering kewalahan dengan sikap kritis anak sulungnya ini. Sementara dirinya tidak tega menceritakan sikap Papa mereka yang sebenarnya sudah tidak mengacuhkan mereka lagi. Mala tidak ingin menghasud anak-anaknya agar memusuhi papanya. Ini baru enam bulan, pikirnya, mungkin Mas Agung benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Dan Mala masih berharap ada itikad baik dari mantan suaminya itu untuk memberikan nafkah yang dia janjikan beberapa bulan yang lalu itu.
______
Dan firasat Mala benar adanya. Keesokan harinya Wenny setengah menjerit karena papanya menghubunginya lewat ponselnya. Papa Agung ingin bertemu Wenny dan adiknya di sebuah mall mewah di Jakarta Selatan.
______