Usai belanja isi kulkas dan kepentingan lainnya, aku mengundang Naira ke unit-ku dan rencananya aku akan memasak makan malam untuk kami berdua.
Kalau ditanya kenapa aku bisa dengan cepat sedekat ini dengan Naira? Jawabanku adalah karena aku sebenarnya juga tidak tahu kenapa! Karena aku juga masih meraba jawaban dari apa yang aku rasa saat ini. Yang terpenting adalah aku merasa nyaman sekali saat Naira berada dekat denganku. Aneh sekali, bukan? Padahal saat di dekat Miranda, aku selalu merasa risih.
“Adam, kamu mau masak apa? Perlu aku bantu kamu, gak?” Naira tiba-tiba saja muncul dan mendekat. Dengan kehadirannya, jantungku jadi berdebar tak keruan.
Setelah meletakkan belanjaan di atas kitchen island, aku menuntun gadis cantik itu dan mendudukkannya pada kursi meja makan. Wajahnya yang bingung membuatku menahan tawa.
“Kamu duduk saja di sini. Mana ada yang namanya tamu bantuin tuan rumah masak?” jawabku membuatnya terkekeh lucu.
“Wah... aku jadi gak enak, nih. By the way, itu masalah hunian yang aku pakai, aku harus bayar berapa untuk sewanya, ya?”
“Kamu tidak usah membayarnya,” balasku yang sudah mulai mengeluarkan bahan yang akan diolah untuk makan malam kami.
“Loh?! Nggak boleh gitu, Adam! Aku gak enak kalo harus menempatinya secara gratis, lagian aku-”
“Kamu teman aku, Nai! Dan aku rasa itu sudah cukup sebagai alasan kenapa aku mengizinkan kamu menempati penthouseku itu secara gratis, Nona Naira.” Dengan cepat aku memotong ucapannya.
“Ya sudah, kita bicarakan lagi di lain waktu aja.” Naira pilih mengalah, tetapi aku yakin pasti gadis ini tidak akan berhenti sampai di sini saja dan ke depannya aku harus menyiapkan satu lagi alasan lain agar membuatnya betah menempati unit penthouse ini tanpa harus bayar sewanya.
Aku melemparkan senyuman padanya dan mulai memakai celemek cokelat yang aku gantung. “Nai, bantu aku ikat talinya, dong!” pintaku sembari berjalan mendekatinya berbalik memunggungi Naira, menunjukkan tali celemek yang belum diikat.
Naira sedikit ragu, tetapi untungnya dia tetap bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang bersemu merah, menggemaskan sekali. Aku jadi diam-diam menahan tawa.
Aku menggeser tubuhku. “Kamu malu?” Aku berbisik di telinganya membuat pergerakan tangannya yang mengikat tali celemek terhenti seketika dalam kondisi sedang memeluk tubuhku.
“Apaan, sih! Siapa juga yang malu!” balasnya. Namun, aku tau jika Naira sedang berbohong padaku. lihat saja wajahnya yang memerah. Mana mungkin dia tidak merasa malu?
Melihat itu, aku jadi berdebar-debar. naira terlalu lucu dan cantik, dan itu membuat aku tidak tahan melihatnya.
Cup!
“Thanks!”
Sumpah! Tanpa sadar aku melakukannya! Salahkan saja Naira yang begitu menggemaskan sehingga aku lepas kendali seperti ini dan mendadak mendaratkan ciuman pada pipi kanannya yang terlihat semakin memerah saja.
“Kamu!” seruan Naira dengan matanya yang melebar.
Naira tidak jadi meneruskan kalimatnya di saat ponselku berbunyi. Ia kembali menatapku.
“Dasar kamu!" seru Naira lagi setelah ia membantu aku untuk mengambil ponsel. Aku senang sekali karena Naira sepertinya tidak marah, tetapi lebih ke arah menahan malunya.
“Ini Dokter Randy yang nelpon!” pekik Naira dari ruang tengah, tempat hapeku berbunyi.
“Kamu jawab aja, terus pencet loudspeakernya, bawa kemari” perintahku seenaknya, merasa kalau kami sudah kenal lama padahal baru berapa hari, Naira menuruti dan aku melihat gadis cantik itu sedang berlari bersama ponselku di tangan kanannya.
“Halo, Ran! Ada apa kamu nelpon aku?” sapaku setelah Naira mennyodorkan ponsel di depan wajahku.
“Dok!” panggil Randy di ujung sana dan membuat aku menghela napas berat.
“Ran! Panggil aku Adam saja,” pintaku. "Apa kamu lupa jika aku baru saja dipecat?"
“Ya sudah, Dam! Gini, aku pengen konsul sama kamu, tadi kami menerima pasien stroke setelah kami evaluasi awal dengan menggunakan MRI, ternyata terdapat tumor di atas sebelah kanan di kepalanya,” cerita Doker Randy.
“Apa sudah kamu pastiin sama ahli tumornya?” aku menyela cepat karena takut dokter Randy salah mengevaluasi pasien karena biasanya aku yang akan menemaninya.
“Aku sudah konsul sama ahli tumor dan mereka juga setelah meneliti hasil MRI mengesahkan itu adalah tumor. Dikarenakan kerabat pasien berada di luar negeri, pembantunya meminta pihak kami untuk menunggu kerabatnya datang baru bisa menjalankan operasi.”
“Kalian bisa menghubungi keluarganya dan meminta izin untuk melakukan operasi tanpa harus menunggu mereka. Pasien tidak bisa menunggu. Jika kondisinya sudah drop seperti itu maka kalian harus usahakan pasiennya segera di operasi, bukan menunggu!” Aku kesal mendengar penjelasan dari Dokter Randy barusan. Aku juga kesal karena sebagai seorang dokter, mereka tidak harus konsul ke aku soal masalah yang bisa dianggap sepele ini.
“Baik, Dok!” Randy akhirnya memutuskan panggilan dan mood-ku untuk memasak jadi rusak, bahkan Randy pun lupa dan memanggilku 'dokter' lagi.
Naira menghampiri dan mengelus lembut punggungku, menyalurkan rasa nyaman dan hangat sehingga membuatku tidak terlalu memikirkan apa yang baru saja terjadi.
“Sabar, aku akan usahakan agar kamu bisa praktik lagi seperti dulu,” ucapnya terdengar begitu menjanjikan.
“Nai, jujur saja, sebenarnya aku sedih karena aku tidak bisa praktik lagi seperti dulu, tapi aku tidak mau egois sehingga memaksa kamu untuk melakukan sesuatu yang nantinya akan menyusahkan dirimu hanya untukku,” ucapku.
Aku yakin jika Naira nekat meneruskan penyelidikannya, meski dengan keterampilan yang dimilikinya, Naira mungkin memang bisa memecahkan kasus ini. Namun, jika ia melakukannya, maka akan sangat berbahaya buat wanita cantik itu.
“Tidak ada yang perlu kita takuti selama kita berada di pihak yang benar,” balas Naira lagi. Dia menatapku dengan percaya diri dan tanpa keraguan, seolah mengerti dengan apa yang sedang bermain di benakku.
Kurangkul pinggang ramping Naira dan lantas aku sambar bibir merekah itu menggunakan bibirku dan menghisapnya lembut. Sepertinya Naira terperanjat saat mendapat serangan mendadak dariku, tetapi wanita itu tidak menolaknya dan aku juga tidak ingin menolaknya. Apakah dia juga sama seperti aku yang penasaran dengan gelenyar aneh yang sedang menjalar di sekujur tubuh ini?
Setelah merasakan napas Naira yang tersengal, aku akhirnya melepaskan pagutan kami. Seolah baru sadar dari mimpi, Naira melepas tanganku yang melingkar pada pinggangnya dengan paksa dan kabur begitu saja tanpa sepatah kata.
Aku tidak berusaha mencegahnya keluar dari unitku karena aku yakin sekali dia pasti sangat malu saat ini. Dan sebenanrya aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku juga merasa sangat senang setelah melakukannya.
“Bibirnya manis sekali dan sepertinya akan bikin aku kecanduan” gumamku dengan menahan tawa girang.
Aku membatalkan rencanaku untuk memasak dan memilih untuk membanting tubuhku pada sofa ruangan tamu. Ingatanku kembali mengingat kejadian tadi yang pastinya setelah ini membuat Naira berasa canggung ketemu denganku nanti.
Ponsel di atas meja kopi bergetar dan aku melihat nama ‘Papa’ yang tertera pada layar yang menyala. Lantas aku menggeser tombol hijau ke samping dan menjawab panggilan itu.
“Halo, Pa” ucapku.
“Ck! Adam Collin! Kalau papa tidak menelpon, apakah kamu akan membiarkan orang tua ini kesepian tanpa kabar dari putranya, hah?!” teriakan itu membuatku sedikit menjauhkan telepon dari telinga.
Aku terkekeh geli mendengar ucapan Papa barusan yang begitu menggelitik hati. Namun, benar seperti apa yang Papa bilang. Sudah semingguan aku tidak menelpon pria paruh baya itu karena aku sibuk dengan kasus yang sedang menjeratku dan sepertinya masih belum menemui kata selesai. Ya, setidaknya untuk saat ini.
“Maafkan Adam, Pa, Adam sibuk sekali sehingga Adam melupakan Papa. Apa Papa sehat?” Aku tidak sepenuhnya berbohong dengan pernyataan yang mengatakan jika aku sibuk.
“Apa benar yang diberitakan media, jika kamu terlibat pelecehan, Nak?”
“Papa mengenalku, kan? Apakah Papa percaya kalau Adam melakukan itu semua?” balik aku bertanya pada Papa.
“Papa percaya sama kamu. Seandainya kamu butuh bantuan Papa, bilang saja. Papa pasti akan membantumu,” hibur Papa.
“Adam bisa menangani ini sementara, kok, Pa,” ujarku lagi.
“Kamu masih praktik di sana, kan? Apa pihak rumah sakit menyusahkanmu?”
“Mereka tidak menyusahkan Adam, Pa. Papa tenang saja. Semuanya masih terkendali. Ya sudah, Pa. Kapan-kapan Adam yang akan telepon Papa. Sekarang Adam mau siap-siap dulu.”
Aku terpaksa berbohong agar Papa tidak menaruh curiga dan membuat pria tua itu khawatir sehingga mengganggu kesehatannya. Ini semua demi kebaikan Papa sendiri.
“Ya sudah, Papa matikan teleponnya, ya! Ingat, cari mantu secepatnya buat Papa. Biar Papa lega kamu tinggal sendirian karena ada yang ngurus!” ucap papa kemudian mematikan panggilan.
“Ada-ada saja, Papa. Dia juga sendirian dan tidak ada yang mengurusnya.” Aku menggeleng pelan dengan permintaan Papa yang satu ini.