Bab 10. Naira

1484 Kata
Pagi menyapa dengan indahnya saat aku terbangun tadi. Setelah sarapan, aku mengambil kembali ponselku dan melihat history chat aku bersama Om Wibowo, membaca kembali alamat rumah yang diberikan kepadaku kemarin. Lantas aku segera memesan taksi daring karena setelah ini aku akan menuju ke rumah Om Wibowo. Menurut Om Wibowo, Tuan Abraham Miller akan datang nanti malam. Aku, mah, masa bodoh. Mending aku berangkat pagi saja karena malas mau ketemu Adam setelah kejadian kemarin. Lebih baik aku menunggu kedatangan Tuan Miller disana dengan tenang dan menikmati kedamaian tanpa adanya kehadiran Adam. “Dasar Naira! Mau-maunya disosor sama dia gitu aja kemarin!” Aku kesal dan malu. Kenapa juga aku membalas ciumannya tadi malam? Aaa…!! sekarang aku mau taruh dimana mukaku ini? Masa mau ditaruh dalam kantong? Duh! Sebelum Adam keluar dan mengetuk pintu depan, mending aku cabut saja dulu karena taksinya sudah sampai. Aku berharap agar tidak bertemu dengan dia nanti. Klek! Aku menekan pelan tuas pintu dan mulai mengintip kalau-kalau Adam berada di luar dan syukur ternyata pria itu masih berada di dalam huniannya. Aku dengan cepat menutup pintu penthouse-ku dan berlari ke arah lift dengan cepat. Aku sudah seperti maling yang takut ketahuan aja. “Astaga!” seruku tidak percaya. Mataku membelalak melihat siapa saja yang baru saja melangkah keluar dari dalam kubikel lift. Dari kerumunan itu, keluar sosok yang tidak asing. ‘Kenapa sih aku harus seapes ini! Kenapa harus dia coba,’ batinku menjerit. Aku terkejut melihat seorang pria yang berdiri di sana. Dari cara cara berpakaiannya yang hanya mengenakan singlet dengan celana pendek serta rambutnya yang sedikit basah, juga wajahnya yang kemerahan, aku bisa menebak jika pria ini habis nge-gym. Adam melangkah keluar dari kubikel lift sambil mengulum senyum. Dan aku? Jangan tanyakan apa yang aku rasakan saat ini. Jantungku hampir saja meloncat keluar dari tempatnya saat tidak sengaja aku ketahuan menatapnya. Padahal berusaha agar sebisa mungkin menghindari dari bertemu tatap dengannya. Apes banget aku hari ini! “Morning sweet! Mau ke mana pagi-pagi ini, hm?” tanyanya dengan lantang sambil berjalan ke arahku. Padahal aku berharap agar bisa menghilang saja, atau setidaknya Adam pura-pura tidak melihatku aja. ‘Duh! Gak bisa apa kalo pura-pura tidak ngeliat aku!’ Lagi-lagi aku membatin kesal. “Hai! Aku mau ke rumah Omku, nih!” kilahku dan semenjak kapan juga Om Wibowo jadi omku? Sudahlah, itu tidak penting! “Sepagi ini? Kamu udah sarapan belum? Kalau belum, sarapan dulu bareng aku, yuk. Setelah itu, aku bisa anterin kamu ke rumah Om kamu itu,” tawarnya. “Ng–nggak usah! Aku sudah pesan taksi dan taksinya sudah nyampe di bawah,” jawabku. Lama-lama di sini aku bisa pingsan karena harus menahan napas melihat dan mendengarnya. "Aku nanti mau makan di sana aja." “Oh! Sayang sekali, kalo begitu hati-hati di jalan, ya. Sampai ketemu nanti,” ucapnya dengan senyum yang merekah Aku tanpa berkata panjang lagi lantas berlari masuk ke dalam kubikel lift yang akan mengantarkan aku langsung ke lobi. “Duh, aman!” Kalau bukan karena ciuman tadi malam mungkin aku tidak akan sekikuk ini. Entah apa yang Adam pikir tentang aku. Apakah dia merasa jika aku adalah w************n karena begitu gampang sekali membalas ciumannya? “Tapi kenapa bibirnya terasa manis sekali!” lirihku dan akhirnya membuat sudut bibirku terangkat dan flashdisk di dalam kepalaku mulai memutar kembali kejadian memalukan tadi malam sehingga bunyi ‘ting!’ dari pintu lift menyadarkan aku kembali. “Astaga! Otakku jangan travelling ke mana-mana!” * Setelah mengucapkan terima kasih pada supir taksinya, aku melangkah menuju pos satpam yang ada di rumah Om Wibowo. “Mas! Apa benar ini rumahnya Tuan Wibowo Airlangga?” Aku bertanya pada satpam yang bertugas. “Benar, Mbak, kalau boleh saya tau, Mbak ini siapa ya?” “Kenalin, nama saya Naira dan saya datang untuk memenuhi undangan Tuan Wibowo yang telah mengundang saya kemari,” jawabku tanpa menjelaskan undangan yang sebenarnya masih nanti malam. “Sebentar, Mbak, saya harus lapor dulu,” ujar satpam itu dengan sopan dan aku hanya mengangguk dan melihat satpam tadi berbalik badan dan melangkah masuk kembali ke posnya. Setelah sekian detik, akhirnya satpam tadi kembali lagi, “Silahkan masuk, Non,” ucapnya. Aku mengerutkan dahi. Kok, tumben satpam itu tiba-tiba saja memanggilku dengan embel-embel 'non'? Namun, aku tidak mau ambil pusing dan hanya membuntuti langkahnya yang mengantarkan aku masuk ke rumah. Ternyata rumah Om Wibowo cantik sekali dan di dalamnya terlihat begitu asri sekali dengan berbagai tanaman pokok-pokok hijau menghiasi taman yang begitu luas. “Silahkan masuk, Non. Sudah di tunggu Tuan di dalam." Sopan sekali satpam itu mempersilahkan aku masuk ke rumah dan disambut pembantu yang ada di ambang pintu. “Makasih, Mas,” ucapku kemudian melangkah masuk semakin dalam ke rumah. “Naira, ayo sini!" Aku melihat Om Wibowo bangkit menyambut kedatanganku dan di sana terlihat seorang lagi pria paruh baya sedang duduk di atas sofa sambil menyeruput kopinya. “Om baru saja mau menelponmu dan ternyata kamu sudah di sini saja. Jangan-jangan kalian memiliki telepati, ya?” goda Om Wibowo. Dari nada bicaranya aku tebak kalau pria paruh baya yang sedang menikmati kopi di sana adalah Tuan Miller. Om Wibowo akrab sekali dengannya. “Jadi, gadis cantik ini yang kamu maksudkan? Katanya mau ketemu aku." Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu melemparkan pertanyaan pada Om Wibowo setelah aku melabuhkan bokongku pada sofa berhadapan yang dengan beliau. Om Wibowo mengangguk mantap. “Benar dan dia adalah putri kepada sahabatku, Haris Rizman.” Pria paruh baya itu mengernyitkan dahinya dan balik menatapku, “Perkenalkan, namaku Abraham Miller dan katanya Nona ingin menemuiku karena ada yang mau dibicarakan denganku.” Akhirnya beliau memperkenalkan dirinya padaku. “Silakan diminum tehnya.” Seorang wanita paruh baya yang kelihatan begitu awet dan cantik sekali membawakan aku secangkir teh panas dan meletakkannya di hadapanku. Kemudian, melabuhkan pantatnya di samping Om Wibowo. 'Itu pasti istrinya!’ batinku Balik lagi pada pertanyaan Tuan Miller tadi, aku menegakkan dudukku dan menatapnya intens sebelum aku memulai bicara. “Perkenalkan, nama saya Naira Alisa Haris, saya adalah penasehat hukum di St. Charles Medical dan ingin meminta bantuan Tuan Miller atas satu hal," ucapku dengan lugas. “Sila katakan, Nona.” Abraham Miller mendengarkan-ku. Aku menceritakan masalahku dan memperkenalkan singkat Dokter Adam pada Abraham Miller, juga tentang kronologis yang menimpa Dokter Adam sehingga dokter tampan itu dipecat. “Saya akui kesalahan saya karena tidak bisa mencegah Dokter Adam dari melakukan pelanggaran karena pada masa itu pasien benar-benar membutuhkan penanganan yang segera.” Aku mengakui kesalahan yang tidak pernah membuat aku menyesal telah mengambil keputusan seperti itu “Jadi, apa yang bisa saya lakukan, Nona?” “Tolong kembalikan jabatan Dokter Adam karena St. Charles butuh dokter seperti beliau. Saya juga yakin dokter Adam tidak bersalah dan saya akan berusaha mencari bukti yang akan memihak dokter Adam.? janjiku “Nona datang kepada saya sebagai apa?” Pertanyaan itu terkesan ambigu sekali sehingga aku mengerutkan dahi. “Maksud Tuan apa?” balik aku bertanya. “Apakah Nona datang kemari dan merayu saya sebagai penasehat hukum atau sebagai pacarnya Dokter Adam Collin?” Menohok sekali pertanyaan itu. Bisa-bisanya pria paruh baya itu kepikiran kalau aku memiliki hubungan dengan Dokter Adam. “Seandainya di tempat Dokter Adam saat ini adalah Dokter Randy, Dokter Bagas, ataupun Dokter Melia sekalipun, saya akan tetap melakukan apa yang saya lakukan saat ini, yaitu membujuk Anda,” jawabku dengan mengatakan semua dokter yang kukenal. Aku bisa melihat pria paruh baya itu tersenyum tipis dan kemudian dengan cepat menetralkan kembali wajahnya. “Andainya saya bisa mengembalikan posisi dokter Adam, apakah Nona akan setuju dengan satu permintaan saya?” “Katakan, selagi persyaratannya tidak mengharuskan saya melakukan pekerjaan kotor pasti akan saya pertimbangkan,” jawab aku, sebenarnya dengan sedikit ragu. Seketika, tawa pria paruh baya itu menggelegar di udara dan aku melihat Om Wibowo beserta istrinya juga tersenyum menatapku. “Bukan sekarang, Nona. Ingat, Nona punya utang sama saya dan akan saya tagih kapan-kapan," ujarnya kemudian menyudahi tawanya. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa untuk saat ini, karena sepertinya aku telah jatuh ke dalam perangkap pria paruh baya itu. ‘Amit-amit dah! Semoga aja pria paruh baya itu tidak meminta yang aneh-aneh nantinya!' Kemudian, obrolan kami kembali santai dan Tante Melisa sangat ramah sehingga membuat aku lupa waktu. Bersama beliau, aku merasakan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya “Om, Tante, Tuan, saya pamit dulu, ya! Sepertinya sudah lama sekali saya di sini,” ucapku dan aku melihat wajah ceria Tante Mellisa berubah mendung. “Padahal Tante masih betah ngobrol sama kamu, Sayang.” Beliau sepertinya tidak rela melepaskan aku pergi. “Nanti kapan-kapan Naira main ke sini lagi, Tante.” Aku membujuk wanita paruh baya itu dan sepertinya berhasil karena wajahnya kembali ceria. “Kamu janji dong sering main ke sini, ya?” “Iya, Tante, kalau gitu Naira permisi, ya!” Setelah usai pamit, aku melangkah keluar dan menuju taksi yang sudah menunggu di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN