Dari kantor Om Wibowo, aku kembali ke rumah sakit karena masih ada berkas yang harus aku rampungkan. Itu dikarenakan aku gagal membuktikan Dokter Adam tidak bersalah maka job desk ku berubah dan dimutasi sebagai penasehat hukum.
Aku juga harus membantu pekerjaan Pak Rustam dan mengerjakan semua yang Pak Rustam minta. Ini berlaku selama 3 bulan pertama dan job desk ini baru saja aku terima pasca pemecatan dokter Adam.
Terlihat sekali jika Tuan Zendaya akan menunjukkan kuasa vetonya sebagai presiden direktur, dan ini juga berupa ancaman buatku agar jangan pernah bermimpi untuk melawannya. Namun, aku tidak peduli. Penegakan harus dilakukan.
Setelah semua beres, aku melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan. Jarumnya sudah menunjukkan angka 05.30 PM, pantas saja si Belly sudah tidak kelihatan lagi dan meja kerjanya juga sudah beres dengan bersih. tasnya juga sudah tidak ada di kursi. Aku bangkit menuju meja Pak Rustam dan menyerahkan berkas-berkas yang tadinya diminta oleh beliau.
“Pak Rustam, ini berkasnya sudah saya siapkan dan setelah ini saya pulang dulu ya, Pak,” ucap ku.
Pak Rustam menyambut berkas yang aku ulurkan sambil melemparkan senyum. “Terima kasih, Naira. Kamu pulang saja duluan. Hati-hati, ya!” ucapnya dan kembali meneruskan pekerjaan.
Setelah menyambar tas yang yang sudah aku siapkan di atas meja kerja, aku dengan langkah lebar mulai melangkah keluar dan bergerak menuju kubikel lift. Setibanya aku di lobi, ternyata Dokter Adam benar-benar sedang menungguku di depan konter pertanyaan.
“Loh, kamu beneran jemput aku?” tanyaku sedikit tidak percaya dengan keberadaannya.
Adam mengulas senyum tipis. Astaga, kenapa dia tampan sekali? Kalau si doi perhatian terus sama aku seperti ini, bisa-bisanya aku jadi salah paham nantinya. Jatuh cinta dan menjalankan cinta sepihak itu akan terasa sakit sekali… dan aku sendiri juga tidak mau terjebak oleh perasaan dan rasa sakit itu.
“Kamu capek?” tanya Adam dengan penuh perhatian.
Aku sekedar menggeleng sebagai jawaban pada pertanyaannya. “Nggak, kok. Memangnya kenapa?” balik aku bertanya padanya.
“Belanja isi kulkas, yuk! Aslinya aku bisa pergi sendiri, sih. Cuma lebih asik kalo ada temannya. Kamu juga mikir gitu, kan?” ucap Adam dan aku bisa merasakan wajahku memanas. Duh, dasar Naira! Begini saja baper lu!
“Ya udah, yuk!” Aku menerima ajakannya dengan mudah.
“Adam! Tunggu!”
Kami sontak melihat ke depan dan ternyata Nona Miranda bersama pembantunya si Santi yang memanggil Adam dengan keras. Kulihat Miranda melangkah dengan tergesa-gesa, dan tidak butuh waktu yang lama akhirnya wanita cantik itu berdiri tepat di depan kami dengan berkacak pinggang dengan mengibaskan rambut panjangnya.
Aku bisa mencium aroma parfum yang menyerbak, tetapi itu terlalu tajam dan membuat hidung aku terganggu. Kulihat Adam juga melakukan hal yang sama. Wajah Adam terlihat sangat terganggu dengan keberadaan Nona Miranda.
“Kamu kenapa bisa bersama si cupu ini, Adam?” Jelas sekali jika 'si cupu' yang dimaksud adalah aku. Hal itu membuat aku memutar bola mata jengah melihat sikapnya yang sok ngatur, sok cantik, dan sok segalanya lah pokoknya.
“Aku bebas mau bersama siapa saja! Terus, apa hubungannya sama kamu?” Adam balik bertanya dan menatap tidak suka pada Miranda.
“Ya jelaslah ada hubungan denganku! Apa kamu tidak mau praktik lagi? Kalo kamu minta maaf sama aku sekarang dan terima persyaratannya. Aku bisa bujuk Papa agar mengizinkan kamu praktik lagi,” ucapnya.
Miranda sudah mulai unjuk gigi aslinya yang selama ini hanya separuh saja diperlihatkan ke publik. Pernyataan itu membuat aku dan Dokter Adam mengernyit tidak suka.
“Maaf, saya lebih baik jadi pengangguran daripada menikahi wanita tidak jelas seperti Anda,” sindir Dokter Adam lantas menarik pergelangan tangan kananku untuk segera pergi dari sana menuju mobilnya terparkir.
Belum jauh melangkah, Miranda menarik pergelangan tangan kiriku dan membuat aku hampir saja hilang keseimbangan badan. Untung saja Dokter Adam dengan sigap membantuku.
“Eh, denger, ya! Kamu jangan sok belagu, deh. Sok-sokan mau ngerebut Adam dari aku! Mana mungkin kamu bisa? Mungkin sekarang kamu bisa, tapi aku mau lihat apakah kamu berhasil merebut perhatiannya lagi setelah pacar Dokter Adam yang bernama Cinta itu kembali dari luar negeri dan mulai praktik di sini!”
Aku mengernyit tidak paham. Siapa lagi Cinta yang dimaksud olehnya? Apa dia benar pacar Dokter Adam?
“Lepasin dia, Miranda!” Adam berseru kencang dan berusaha melepaskan cengkraman Miranda pada pergelangan tanganku. Hal itu membuat aku meringis menahan sakit karena cekalan Miranda yang kuat.
“Kamu nggak apa-apa, Nai?” Adam memeriksa pergelangan tanganku, dengan cepat aku tarik tanganku dari genggamannya.
“Aku gapapa, kok, cuma sakit sedikit aja,” kilah ku dan senyuman aku ulas agar terlihat lebih meyakinkan. Padahal aku yang sedang mengelus pergelangan tanganku yang memerah itu dengan menahan rasa sakit.
“Ayo!” Adam sekali lagi menarik tanganku dan membuat Miranda mendengkus kasar.
Duh! Belum apa-apa aku sudah terjerat permasalahan yang selama ini aku hindari.
**
Setelah mengambil keranjang belanjaan, aku membuntuti Adam masuk ke pusat perbelanjaan dan mulai mencari apa saja yang aku butuhkan.
“Nai- Em... aku bisa panggil Nai saja. kan?” ucap Dokter Adam tiba-tiba.
Aku kaget saat Dokter Adam sudah berdiri di belakangku saja, rasanya jantungku hampir saja copot. Apalagi saat dia memanggilku seperti itu.
“Bisa, kok. Senyaman Dokter Adam saja,” balasku yang masih mencoba untuk menetralkan detak jantungku.
“panggil aku Adam saja. Ngomong-ngomong, besok hari Sabtu, kan? Kamu punya rencana ke mana saja?” tanya Adam.
Aku terdiam sejenak. Sabtu dan Minggu. Aku punya waktu libur dua hari, gimana kalo aku pulang aja ke rumah Papa dan ....
“Nai!” Sekali lagi Adam sukses membuat aku kaget, pria jangkung itu menggoyangkan telapak tangannya di hadapanku.
“Kamu kenapa bengong, ada masalah?” Dia masih menatapku intens dan berhasil membuat aku semakin salah tingkah.
“Ng-nggak kok, aku cuma kepikiran sama Papa aku." Aku tidak sepenuhnya berbohong karena jujur, aku sudah kangen sama Papa dan ingin sekali bertemu dengannya.
“Oh iya? Papa kamu di mana?”
“Bogor! Sepertinya aku akan pulang kampung sebentar, deh. Hehe,” ucapku kemudian tertawa kecil.
“Mau aku anterin?” Pria itu menawarkan jasanya. Namun, sekali lagi aku harus mengingatkan diriku sendiri agar tetap menjaga jarak dari pria ini.
“Gak usah, kamu ...”
Tiba-tiba ponselku berbunyi membuat aku tidak bisa meneruskan kalimatku, “Sebentar ya aku jawab dulu.”
Adam lantas mengambil keranjang belanjaan dari tanganku. “Aku ke sana dulu, ya. Kamu angkat aja telponnya,” ucapnya kemudian mengacak poniku.
Aku mengangguk lantas menggeser tombol hijau di layar ponsel itu ke samping. Awalnya aku sedikit ragu karena nomornya bukan nomor yang aku simpan di dalam kontak telepon.
“Halo, ini siapa, ya?” tanyaku.
“Naira! Ini Om Wibowo. Maaf Om nelpon kamu. Oh iya, Om dapat nomor kamu dari papa kamu.”
“Oh iya, Om. Ada apa Om nelpon aku? Maaf sebelumnya, bukan maksud aku melarang Om cuma... hehe.”
“Ga papa, Om ngerti, kok. Ini Om mau mengundangmu untuk datang ke rumah karena Om sudah ngundang si tua Abraham Miller ini datang ke rumah Om,” jelas Om Wibowo.
“Beneran, Om?! Kapan?”
“Besok malam. Nanti Om kirim kamu alamat rumahnya Om, ya!”
“Boleh, Om! Makasih banget sebelumnya, Om!”
“Makasih saja setelah kamu berhasil membujuk si tua Miller itu!” kekeh Om Wibowo.
“Hehe, iya, Om!” jawabku girang.
Setelah obrolan pendek bersama Om Wibowo, aku memutuskan panggilan dan mengembalikan ponsel ke dalam tas.
“Adam ke mana, ya?” Aku celingak-celinguk mencari keberadaan pria tampan itu.
“Sudah?”
“Astaga!” Aku memutar tubuhku dan melihat Adam berdiri tepat di belakangku. Jika begini caranya lama-lama aku beneran harus periksa jantungku ke dokter karena keseringan dibuat kaget olehnya.
“Ih! Kamu ngagetin aku terus!” sewot-ku.
Adam malah tertawa lucu. “Kamu kenapa gampang sekali kaget coba?” balik dia bertanya padaku. ia sendiri masih belum memberhentikan tawanya.
Ya Tuhan... pria ini tampan sekali. Senyumannya itu bisa bikin aku diabetes lama-lama. Mana orangnya baik banget lagi! Beruntung wanita yang bisa mendapatkan hatinya.
“Em... apa kamu dah selesai?” Sekali lagi dia bertanya padaku dengan lembut.
“Sudah, ayo ke kasir!” Aku mengambil keranjang belanjaanku dari tangannya dan kami mengantri untuk membayar belanjaan.