Bab 1.Naira
Hari ini adalah hari pertamaku memulai tugas sebagai pengacara di sebuah rumah sakit swasta yang ada di Kota Jakarta. Pada hari pertama, aku disuguhkan dengan satu kasus salah satu dari dokter di Rumah Sakit St. Charles Medical yang terlibat kasus pelecehan terhadap seorang model kelas atas.
Oh, iya! Kenalin, namaku Naira Alisa, berusia 25 tahun dan aku adalah seorang pengacara yang baru saja di terima bekerja di sebuah rumah sakit swasta St. Charles Medical sebagai pengacara rumah sakit.
Aku menarik napas panjang dan mengetuk pintu kantor. Sebuah seruan dengan udara berat dari dalam terdengar, “Masuk!”
Aku melangkah masuk ke ruangan kepala divisi. Mataku mendapati seorang pria paruh baya tersenyum menyambut kedatanganku.
“Nona Naira Alisa?” Pria paruh baya itu mengulurkan tangannya untuk mengajak aku berjabat tangan.
“Iya, benar saya, Pak,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya dengan senyum ramah.
Pria itu menunjuk kursi engan isyarat matanya. "Silakan duduk, Nona ...?"
“Panggil saja saya dengan Naira, Pak.” Aku memotong cepat ucapan pria paruh baya itu dan lantas melabuhkan bokongku pada kursi di hadapannya.
“Perkenalkan, nama saya Rustam, dan di kantor ini hanya ada saya, kamu, dan satu lagi bernama Belly. Kalian bisa berkenalan nanti saja karena Belly sedang ada urusan di luar,” ucapnya padaku dan aku hanya mengangguk patuh.
Pak Rustam mengambil satu map di atas meja dan mengulurkannya padaku tanpa berkata apa pun, aku menerimanya dan lantas membuka untuk melihat isi di dalamnya.
Tersangka kasus kali ini adalah seorang dokter muda terbaik yang ada di rumah sakit ini dan beliau adalah seorang dokter spesialis yang sekarang ini sedang ditangguhkan dari pekerjaannya, sehingga tidak bisa membuka praktik untuk sementara. Sampai kasus ini menemui kata selesai, ia akan dibebaskan, tergantung dengan hasilnya juga.
“Pak, bisa saya ketemu sama Dokter Adam Collin secara langsung?” pintaku pada kepala divisiku itu dan beliau menatapku dalam sebelum mengangguk kecil.
“Dokter Adam Collin berada di ruangannya, kamu bisa menemuinya," ucap Pak Rustam.
Aku bisa melihat sedikit keraguan dari tatapan matanya dan aku tidak menanggapinya. Yang terpenting saat ini adalah aku harus segera membantu dokter muda ini keluar dari masalah yang sedang menjeratnya.
Setelah pamit, aku lantas keluar dari ruangan dan menuju bagian resepsionis untuk menanyakan letak ruangan Dokter Adam.
“Maaf, Mbak, ruangan kerja Dokter Adam Collin di mana, ya?” tanyaku.
“Tunggu sebentar, mari saya antarkan.” Salah satu dari gadis resepsionis itu menawarkan diri untuk mengantarkan aku secara langsung menuju ruangan praktik Dokter Adam Collin.
Setelah tiba pada ruangan yang ditunjuk oleh gadis resepsionis tadi, aku mengetuk pintu beberapa kali sehingga satu suara bariton memberikan arahan.
“Come in!”
Aku membuka daun pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan dingin itu. Aku terkejut karena suhu ruangan sedingin wajah sang pemilik ruangannya. Tidak ada senyuman yang tercetak pada wajah tampannya saat aku masuk.
“Dokter Adam, perkenalkan, saya Naira dari divisi hukum.”
“Apakah kamu juga kemari menemuiku hanya untuk membujukku agar mau meminta maaf pada wanita itu, hm?” Pria tampan nan jangkung itu bangkit dari duduk dan menatapku tajam.
Namun, aku tidak merasa terintimidasi sama sekali. Bagiku ini adalah sebuah tantangan baru dari awal karirku sebagai seorang penegak hukum.
“Kenapa saya harus meminta Anda meminta maaf?” balikku bertanya padanya.
“Lalu kenapa kau menemuiku?”
“Ceritakan padaku dari awal permasalahan ini terjadi agar kita bisa menemui jalan keluarnya," pintaku kemudian melabuhkan pantatku di atas sofa di tengah ruangan.
Aku melihat dokter tampan itu melangkah pelan menghampiri sofa yang saat ini aku duduki dan memilih untuk duduk di hadapanku.
“Jika aku mengatakan, 'aku tidak tahu apa yang sedang terjadi', apakah kamu percaya?”
Seketika, aku mengerutkan dahi menatapnya, mencoba menelisik dan mencari celah kebohongan. Namun, aku tidak bisa menemukannya dari wajah datar itu.
“Apakah Dokter mengenal Nona Miranda?” Sekali lagi aku melemparkan pertanyaan padanya.
“Aku hanya mengenalnya sebagai juniorku dulu di universitas, hanya itu saja.”
Aku memaksa otakku bekerja keras untuk menghubungkan semua ini. Dan sepertinya satu-satu solusi adalah kita harus ketemu langsung dengan Nona Miranda ini. Karena itu aku juga harus sekalian mengajak Dokter Adam.
Nona Miranda adalah seorang publik figur dan untuk bertemu dengan wanita itu, aku sepertinya harus menghubungi asistennya untuk membuat janji temu.
Aku mencari kontak asistennya di salah satu laman sosial medianya, dan lantas segera menghubunginya. Setelah percobaan yang ketiga, akhirnya panggilanku dijawab.
“Halo, saya Santi, di sini sebagai asisten dari Nona Miranda Zendaya. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Aku bisa mendengarkan nada ketus dari ujung sana, tetapi apa peduliku. “Saya Naira Alisa, pengacara Rumah Sakit St. Charles Medical, ingin membuat satu janji temu bersama Nona Miranda Zendaya,” ucapku lugas
“Maaf, Nona Miranda orang sibuk dan tidak punya waktu untuk ketemu dengan Anda!”
Aku mengusap pelan dadaku, “Apakah nona Miranda juga tidak punya waktu walau sekedar makan siang?”
“Apa maksud Anda?!” Aku mendengar suara asisten Miranda melengking di ujung sana.
“Kami akan menunggu kedatangan Nona Miranda di Cafe Melati, tepat jam 12.00 siang, karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan langsung pada Nona Miranda."
Aku melanjutkan, “Ingat, Dokter Adam juga tidak punya waktu untuk berleha-leha karena masih banyak pasien yang harus beliau tangani. Saya harap Nona Santi bijak dan mengerti maksud saya," ucapku lantas mematikan panggilan sepihak.
“Jangan memintaku untuk meminta maaf atas kesalahan yang aku tidak merasa melakukannya, jika kamu mengajak aku bertemu Miranda hanya untuk itu,” ucap Dokter Adam. “Maaf, kamu harus bertemu Miranda sendirian karena aku tidak akan mau melakukannya.”
Penolakan tegas itu Dokter Adam gaungkan di depanku
“Sudah aku katakan, aku tidak akan memintamu meminta maaf jika dirimu berada di pihak yang benar." Aku lantas menyela ucapannya.
“Tapi aku tidak sudi untuk ketemu wanita itu,” tolak Dokter Adam lagi.
Aku yakin di antara mereka pasti pernah terjadi sesuatu sehingga dokter Adam menolak sekali untuk tidak bertemu dengan Miranda. Aku harus mencari tahu itu, karena kunci dari permasalahan ini pasti ada di sana.
“Apakah Dokter Adam ingin menjadi seorang pecundang dan membiarkan Nona Miranda merusak nama baik Anda?” Netraku membidik tepat pada wajahnya yang sudah merah padam menahan luapan emosi.
“Apakah di matamu aku adalah seorang pecundang?” Dokter tampan itu membelalak, pupil matanya membulat dengan kelopak yang melebar sempurna, tidak bisa menerima aku mengatakan dirinya adalah seorang pecundang.
“Buktikan omonganku salah dan sekarang juga kita berangkat menuju Cafe Melati untuk menemui Nona Miranda!” tantangku.
Tidak banyak bicara, aku melihat Dokter Adam lantas mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja kerja dan menarik pergelangan tanganku untuk segera keluar dari ruangan praktiknya.
Sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman kemenangan. Aku berharap sekali kasus ini bisa diselesaikan dengan cara perdamaian. Namun, jika kejadiannya adalah sebaliknya maka ini adalah PR berat buatku. Ini semua karena kejadiannya di salah satu klub malam yang eksklusif dan mau atau tidak aku harus mendatangi tempat itu demi sebuah informasi.