Bab 7. Naira

1427 Kata
Langkah kuayun mengikuti setiap jengkal langkah Belly, kami berdua memasuki ruangan dan aku lantas menuju ke meja atasanku, Pak Rustam, yang sepertinya sedang menanti kedatanganku. “Pak!” sapaku pada Pak Rustam. “Duduk, Naira,” perintah pria paruh baya itu padaku. “Pak Rustam, bagaimana dengan Dokter Adam? Apa kita membiarkan beliau begitu saja tanpa adanya pembelaan?” Aku lantas bertanya karena melihat Pak Rustam yang sepertinya hanya berdiam diri dan seolah membenarkan terjadinya kasus itu. “Naira, Dokter Adam sudah dipecat dan beliau sudah bukan urusan kita lagi,” ucap Pak Rustam tanpa mau menatap ke arahku. “Pak!” bujukku tanpa menyerah. “Naira, Nona Miranda adalah putri dari Dokter Wijaya Zendaya yang notabenenya adalah presedir rumah sakit ini.” Belly dengan cepat memotong ucapanku. Aku sukses dibuat melongo dari kenyataan yang baru saja terbit dari bibir Belly. Sekarang aku mengerti kenapa posisi Adam dipersulit, bahkan Dokter Adam langsung tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya. “Oh! Jadi, hanya gara-gara Nona Miranda adalah putri dari petinggi rumah sakit maka beliau bisa seenaknya menyudutkan orang lain begitu? Dan papanya, selaku presdir, bisa memecat karyawan kapan saja?” Aku mengutarakan ketidakpuasan hatiku. Aku melanjutkan gerutuanku, “Ternyata menyelamatkan nyawa pasien juga salah! Aturan dari mana ini?!” Aku melihat Pak Rustam menundukkan wajahnya, Belly juga memiilih untuk bungkam. “Naira ... hanya dengan satu cara kita bisa membela nasib dokter Adam.” Pak Rustam akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatapku. “Tolong katakan padaku!” “Kamu bujuk Dokter Adam untuk melantik firma hukum di luar sana untuk membelanya,” usul Pak Rustam. Ingatanku kembali pada percakapan antara aku bersama Papa via telepon malam tadi. Lantas, aku bangkit dari duduk dan beranjak ke meja kerja untuk mengambil ponsel. Aku langsung saja masuk ke room chat yang berisi aku dan Papa. “Sepertinya saya sudah menemukan siapa yang bisa membantu dokter Adam,” ucapku dengan gembira. “Pergilah, Naira,” ucap Pak Rustam dengan senyuman mengambang di sudut bibirnya. “Tapi sekarang masih waktu kantor, Pak. Saya akan pergi setelah bekerja saja,” tolakku. “Aku akan beralasan memintamu mengerjakan tugas di luar sana, tenang saja,” kata Pak Rustam mendukungku. Mendengarkan itu, aku tanpa ragu lagi segera meninggalkan rumah sakit menuju satu alamat yang telah dikirim oleh Papa lewat chatnya kemarin setelah meneleponku. Aku memesan taksi via daring untuk sampai ketempat yang ada di dalam alamat itu. Setelah membayar ongkos taksi, aku lantas melangkah menuju sebuah bangunan yang tinggi dan megah di hadapanku. ‘Besar segini, apakah Papa sedang mengerjai aku?’ batinku. Setahuku, Papa tidak memiliki teman yang kaya-raya hingga memiliki gedung seperti yang ada di depanku. Rata-rata teman Papa itu pemilik restoran dan juga warung makan. “Dicoba aja. Siapa tau benar, kan?” ucapku menyakinkan diri sendiri. Dan dengan perasaan sedikit gugup, aku menuju konter resepsionis. “Permisi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” ramah sekali wanita itu menyapaku. “Em, maaf, Mbak, apa benar ini firma hukum milik Pak Wibowo Airlangga?” tanyaku pada wanita itu. “Iya, betul, Mbak.” Aku bernapas lega saat mendengarnya. “Apa Pak Wibowonya ada?” tanyaku lagi. “Saya ingin ketemu dengan beliau” ucapku ragu. “Apa sudah ada janji temu, Mbak?” Wanita itu bertanya dan aku hanya menjawab dengan gelengan kecil. “Namanya siapa ya, Mbak? Biar saya izin dulu sama Tuan,” ucapnya lagi, membuat aku menarik napas lega. “Nama saya Naira Alisa Haris,” ucapku menyebutkan nama penuh dan mencantumkannya dengan nama Papa di belakangnya. Wanita itu mengangguk dan langsung melaporkan kepada atasannya lewat telpon. Sementara itu, aku mengambil kesempatan ini untuk memindai ruangan lobi kantor yang terlihat mewah sekali. Terdapat patung dewi keadilan berdiri megah di tengah-tengah lobi yang sempat membuat aku merinding kagum melihatnya. “Mari, Mbak, saya antarkan ke ruangan Pak Wibowo.” Aku terlonjak kaget dan lantas mengangguk kecil. “Mari, Mbak,” ucap wanita itu lagi. Kami memasuki kubikel lift dan melangkah keluar setelah tiba di lantai sepuluh. Wanita itu terus menuntun aku hingga menuju salah satu ruangan. “Silakan masuk, Mbak, sudah ditunggu sama Pak Wibowo di dalam.” Ada seorang wanita cantik lagi yang kini menyambut kedatanganku dengan senyum ramah. ‘Ternyata semua karyawannya ramah dan tidak sombong,’ batinku takjub. “Selamat siang, Pak Wibowo,” ucapku setelah masuk ke ruangan yang didominasi oleh warna abu-abu itu. Pria paruh baya yang aku yakini pemilik ruangan ini, Wibowo Airlangga, bangkit dari kursi dan mengulurkan tangannya dengan senyuman mengambang di sudut bibir. “Naira. Benar, kan?” ujarnya antusias. “Benar, Pak” jawabku penuh percaya diri. “Panggil Om saja. Ayo duduk dulu.” Beliau mengajakku untuk duduk pada sofa yang terletak di tengah ruangan. “Ternyata si Haris benar, putrinya secantik bidadari!” Ah! Berlebihan sekali Om Wibowo memujiku dan aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum kikuk. Baper? Jawabannya adalah NO besar! “Apakah kamu sudah memikirkan dan siap bergabung di perusahaan Om, Naira?” Pria paruh baya yang masih lagi tampan itu tidak ada basa basinya. Namun, itulah kelebihan seorang penegak hukum. Tidak ada yang namanya basa basi. “Om, aku ke sini sebenarnya mau minta tolong sama, Om.” Sedikit ragu aku menyatakannya. Namun, apa aku punya pilihan lain? “Apa yang bisa Om bantu untuk kamu, Naira?" “Begini. Om ....” Aku menceritakan dari awal kasus Dokter Adam sampai berakhirnya cerita pada pemecatan Dokter Adam pada Om Wibowo. Beliau mendengarkannya dengan fokus yang tinggi. “Naira, sepertinya ada satu lagi cara yang bisa membatalkan pemecatan dokter Adam dari St. Charles Medical tanpa harus membawa kasus ini ke meja hijau sekaligus membongkar siapa saja yang sudah menjebak dokter Adam.” Om Wibowo terlihat begitu serius sekali. “Loh, kok, Om bisa tau kalau dokter Adam dijebak?” Aku heran karena aku tidak pernah mengatakan ada yang menjebak dokter Adam Om Wibowo menggeleng kecil sambil tertawa lucu “Naira… Naira! Kamu itu pengacara polos, Nak. Dari cerita kamu saja Om bisa tebak kalau Dokter Adam dijebak, dan pelakunya mungkin saja petinggi dari rumah sakit tersebut,” ucapnya. “ Karena setahu, Om, Nona Miranda Zendaya yang kamu ceritakan itu adalah putri dari Presdir St. Charles Medical.” Aku mendadak malu saat Om Wibowo mengatakan jika aku adalah pengacara polos, tapi tidak apa-apa. Hari ini aku mendapatkan satu pelajaran penting sekali. Dengan menganalisis circle pada kasus itu sepertinya akan menghasilkan satu petunjuk kecil yang dapat dijadikan sebagai bukti kasus. Ternyata begitu cara kerjanya. “Maaf, Om” ucapku. “Ini baru awalnya saja, Naira. Om yakin kamu pasti sama hebat seperti papamu.” Tubuhku secara spontan menegang dan menatap aneh pada Om Wibowo. Apa coba maksudnya dengan mengatakan jika aku sama hebatnya dengan Papa? Emangnya Papa siapanya dia? Padahal papaku cuma seorang pemilik restoran biasa. “Om beneran kenal sama papaku?” Naira! Ini pertanyaan konyol, dari mana kamu ambil ini? Dasar Naira! Om Wibowo meledakkan tawanya. “Siapa yang tidak mengenal Haris Rizman. Om rasa hanya anak muda seperti kamu saja yang tidak mengenal nama Haris Rizman,” ujar pria paruh baya itu lagi. ‘Ah! Paling mereka mengenal Papa karena sering datang ke restonya Papa,’ batinku dalam diam dan coba mengalihkan arah perbicaraan kami. “Om, cara yang Om katakan itu apa? Agar pemecatan Dokter Adam bisa batal dan beliau diberi izin untuk kembali praktik.” Perbicaraan kami kembali lagi ke asalnya setelah melebar ke mana-mana dengan membicarakan yang tidak jelas. “Cuma ada satu orang yang bisa membuat Wijaya Zendaya bertekuk lutut. Itu adalah Abraham Miller! Beliau adalah pemegang saham dominan di St.Charles Medical dan sekarang sedang menikmati liburan panjangnya di luar kota.” “Abraham Miller? Lalu, apakah aku bisa membujuknya, Om?” “Om yakin tidak mudah untuk membujuk tua bangka itu, tapi Om percaya kamu pasti bisa melakukannya.” Pernyataan Om Wibowo membuatku ngeri-ngeri sedap saat mendengarnya. “Sebentar.” Pria paruh baya itu bangkit dari duduk dan menggapai sebuah catatan kecil. Lalu, menuliskan sesuatu di sana dan menyerahkan padaku. “Ini alamatnya, kamu bisa samperin beliau di sana.” Aku menyambut uluran kertas itu dari Om Wibowo dan membaca apa yang tertulis di sana. Aku membatin, 'Ternyata ini dekat sekali dengan rumah Papa.' “Terima kasih karena telah membantu saya dan, Om. Sekali lagi, maaf karena saya telah menyita waktu berharga, Om,” ucapku merasa serba salah karena telah mengambil terlalu banyak menit-menit beliau. “Ini tidak ada apa-apanya, Nak. Kapan saja kamu butuh bantuan Om, silakan datang saja, tidak perlu sungkan.” Setelah pamit pada Om Wibowo, aku melangkah keluar dari ruangannya dan lantas menuju kubikel lift. Selanjutnya, aku akan segera kembali ke rumah sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN